Aerox 155, motor yang dianggap naik kelas
Satu yang paling menarik menurut saya dari fenomena Aerox 155 bukan mesin atau desainnya, melainkan pencitraan sosial di sekelilingnya. Di TikTok misalnya, ada banyak video yang memperlihatkan seseorang naik motor Yamaha satu ini sambil pakai jaket distro, helm Arai, dan caption “akhirnya bisa beli motor sendiri dari hasil kerja keras”.
Kita lalu terjebak pada persepsi bahwa motor ini adalah simbol pencapaian. Bahwa memiliki Aerox 155 sama dengan punya kehidupan yang sudah enak. Padahal ini hanya bias.
Motor Yamaha satu ini jadi keren bukan karena ia benar-benar lebih baik. Tetapi karena ia muncul di saat yang tepat. Visualnya cocok dengan keinginan pasar muda dan didukung narasi media sosial yang gencar mengatakan: kamu keren kalau pakai Aerox.
Kita lupa kalau motor ini ya… motor biasa. Mau beli motor baru, bekas, kredit, atau cash, kalau motor ini rusak ya mahal juga servisnya. Tapi narasi sosialnya sudah telanjur membumbung tinggi. Siapa yang berani bilang motor ini jelek bakal dikatain nggak ngerti motor, atau orang gagal.
Kalau mau objektif, masih banyak motor yang lebih rasional dari Yamaha Aerox 155
Kalau kita lepaskan semua bias sosial, Aerox 155 bukan motor yang sangat masuk akal. Konsumsi bensinnya cukup boros untuk ukuran skutik. Joknya keras, suspensinya kaku, dan spionnya entah kenapa sering diprotes pengguna karena posisi yang kurang ergonomis.
Bandingkan dengan skutik lain yang lebih murah, lebih nyaman, atau lebih hemat BBM. Misalnya Suzuki Burgman Street atau bahkan Vario 125 bekas. Semuanya bisa jadi pilihan rasional, tapi nggak akan pernah sekeren Aerox di mata warganet. Itulah bukti bahwa motor ini hidup dalam narasi yang dibentuk, bukan berdasarkan kualitas yang murni.
Kesimpulannya…
Membeli Aerox 155 mungkin bukan soal kebutuhan, tapi soal pengakuan. Dan itu sah-sah saja. Manusia memang butuh validasi. Tapi sebagai yang pernah “tersadar”, saya merasa penting untuk menyampaikan bahwa gimmick sosial bisa sangat kuat mempengaruhi pilihan kita.
Aerox bukan motor jelek, tapi juga bukan motor luar biasa. Ia hanya berhasil menjadi “ikon” karena momentum, desain, dan narasi yang dibentuk masyarakat.
Dan di saat orang-orang masih ramai pamer Yamaha Aerox 155 dengan caption penuh semangat, saya memilih jalan sunyi: naik motor lama, hemat bensin, dan tak perlu repot memoles citra. Karena hidup tak harus keren untuk tetap nyaman.
Penulis: Budi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Yamaha Aerox 155: Motor Nirfungsi yang Mahal dan Nggak Kencang-kencang Amat.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















