Kita semua tahu bahwa kebanyakan cowok nggak suka film cinta-cintaan, saya salah satunya. Cewek-cewek jangan buru-buru menganggap bahwa saya dan kebanyakan cowok nggak peka atau nggak mengerti perasaan kalian. Saya peka, kok, saya ngerti. Saya tahu kalau aktor yang main di film cinta-cintaan seperti drakor itu cakep-cakep, sedap dipandang mata. Sekujur dada saya juga ikut menghangat ketika ada adegan romantis yang so sweet itu. Bahkan lambe saya yang lamis juga ikut tertawa ketika ada adegan yang jenaka. Saya merasakan juga apa yang cewek-cewek rasakan. Tapi, justru karena hal-hal itulah saya nggak suka film cinta-cintaan.
Gimana ya, terlalu banyak adegan romantis di film, tapi di kehidupan nyata ternyata nggak romantis-romantis amat. Nggak perlu saya ambil contoh adegan-adegan mewah seperti menyewa restoran atau memborong koleksi baju di swalayan. Jelas itu didramatisir dan saya nggak mampu untuk menirunya. Cukup amati adegan yang biasa saja, adegan-adegan yang sering kita alami sehari-hari. Banyak, kok, yang nggak sesuai dengan realita. Beikut saya uraikan 3 di antaranya:
Boncengan sepeda
Setiap kali ada adegan boncengan sepeda di antara sepasang kekasih, saya selalu teringat film Galih dan Ratna. Maaf kalau referensi film saya agak jadul-jadul gimana, saya tahunya cuma film itu je. Di film itu, pas Galih boncengin Ratna, suasananya sungguh so sweet. Sepeda dikayuh pelan, sambil ada soundtrack lagu romantis mengiringi perjalanan mereka. Angin bertiup lembut, rambut Ratna bergerak-gerak karenanya. Raut kegembiraan terpancar, mereka berdua ngguya-ngguyu sambil ngonthel sepeda. Kurang lebih begitu, kan, penggambaran suasananya?
Tapi, itu kan di film, gimana kalau di dunia nyata? Pernahkah kalian mencoba lakukan apa yang Galih lakukan? Boncengin yhangmu dengan naik sepeda? Pernah?
Seperti yang kita tahu, Ratna itu masih SMA. Ke mana-mana ia selalu pakai rok sebagai seragam sekolahnya. Sementara, boncengin cewek yang pakai rok itu sudah tentu ribet. Soalnya dia mboncengnya nggak mungkin mbegagah, tapi nyemplo. Ibarat layangan, boncengin dengan posisi nyemplo itu sudah seperti mengoperasikan layangan sinthing, berat sebelah. Keseimbangan oleng sedikit saja, mereka berdua bisa nggemblung di jalan. Dan ini tentu bukan adegan yang romantis.
Belum lagi ketika ketemu tanjakan, cobaan bagi Galih bertambah. Ratna gitu masih bisa ketawa-tawa, lha wong dia tinggal mbonceng. Lha Galih? Sudah jaga keseimbangan, masih harus ketemu tanjakan.
Meski demikian, apakah kira-kira Galih meminta Ratna turun? Atau paling nggak meminta Ratna untuk membantu mengayuh? Tentu nggak. Galih tetap mengayuh sepedanya seorang diri. Sekalipun mengayuhnya sambil berdiri, napasnya kembang kempis, keringet sejagung-jagung dleweran di pipi, tapi pantang bagi Galih membiarkan Ratna jalan kaki. Kemudian ketika Ratna bertanya, “Ora opo-opo, Mas?” Nggak mungkin bagi Galih untuk menjawab, “Ora opo-opo gundulmu kono!” dengan napas tersengal-sengal
Tidur berbantalkan lengan
Adegan tak kalah romantis yang sering kali kita lihat di film cinta-cintaan berikutnya adalah tidur berbantal lengan. Biasanya, akan ada sebuah momen ketika si cewek mengantuk dan sedang berada dalam kendaraan umum seperti bus atau kereta. Si cowok memperhatikan kepala si cewek beberapa kali membentur kaca. Demi membuat si cewek bisa tidur dengan nyaman, langsung sat-set tanpa diminta, si cowok mengulurkan lengan atau pundaknya untuk sandaran. Berjam-jam kemudian setelah kendaraan sampai tujuan, posisi cowok tak berubah. Si cewek masih tertidur dan tangan si cowok masih menahan kepala sang pujaan hati. Ia tak tega membangunkannya. Uluh-uluhhhh… Gumuzzz bingitz… Kita yang nonton hanya senyum-senyum mengamati keromantisan mereka.
Sementara di dunia nyata? Kisah seperti ini sulit sekali terjadi. Saya pernah mencoba mempraktikkannya. Lagaknya, saya ingin ikut-ikutan membuat istri saya bisa tidur di pundak. Tapi nahas, nggak berjalan sukses. Saya malah merasa nggak ada nuansa romantisnya blas. Jangankan bisa tahan sampai berjam-jam, baru lima menit dipakai sandaran saja, pundak rasanya sudah linu-linu.
Saya sebenarnya sudah mencoba mengurangi linu dengan membaca doa-doa, tapi ternyata nggak ngefek. Linunya malah menjadi-jadi. Saya baru sadar kalau saya sedang ketindihan istri, bukan ketindihan kunti. Tentu dibacakan doa-doa linunya ya nggak bakalan reda. Tapi yang namanya usaha, tentu nggak ada salahnya dicoba. Barangkali manjur, kan, siapa tahu. Ya to?
Akhirnya setelah kurang lebih 15 menit, saya tak tahan lagi. Pundak rasanya kesemutan. Istri saya langsung tak jawil tangannya. Yang dijawil kemudian menoleh. Saya beri isyarat supaya kepalanya menjauh dari pundak dan dia menurut. Tangan saya lalu meraih bantal, “Nyoh turu nganggo iki wae. Wis enek bantal kok ndadak repot-repot tidur beralaskan pundak,” kata saya ngomyang. Inisiatif sendiri, dilakukan sendiri, dan pada akhirnya ngomyang sendiri.
Semangat ya, Sayang
Reaksi apa yang kalian berikan ketika mendapatkan ucapan, “Semangat ya, Sayang,” dari pasangan? Maksud saya, tanpa perlu menggunakan referensi film cinta-cintaan, apa yang kalian lakukan ketika mendapat ucapan tersebut sesaat bangun dari tidur? Apakah mata yang awalnya riyip-riyip itu kemudian langsung njenggirat bangun? Apakah bibir yang penuh iler kering itu tiba-tiba menyunggingkan seulas senyum? Apakah hari-hari menjadi cerah, orang-orang di sekitar tampak lebih ramah, dan kalian jadi bersemangat menjalai hari karena ucapan tersebut?
Kalau di film, meskipun nggak sama persis, saya rasa sih iya. Si cowok langsung semangat. Entah sebelum-sebelumnya dia cowok busuknya kayak apa, begitu dapat ucapan, “Semangat ya, Sayang,” dari orang yang tepat, hidupnya berubah 180 derajat. Dia jadi orang yang berbeda dan kita mendadak menyukainya.
Tapi sayangnya, di kehidupan nyata yang kita alami, ucapan tersebut sering kali nggak ada pengaruhnya. Kita nggak tiba-tiba jadi orang yang berbeda karena ucapan tersebut. Nggak banyak yang berubah dari cowok yang baru saja bangun tidur. Mendapat ucapan semangat atau nggak, para cowok tetap menjalankan aktivitas mereka seperti biasa. Bangun tidur ya klogat-kloget di kasur, klemar-klemer nge-scroll HP, dan glundang-glundung seperti hari-hari lainnya.
Kalau sudah menjelang waktu beraktivitas baru kemudian mereka mandi, gosok gigi, boker, dilanjut dengan ngopi. Ya gitulah rutinitasnya, nggak ada yang spesial. Lagi pula, dapat ucapan, “Semangat ya, Sayang,” kok senang? Harusnya tuh senang kalau dapat ucapan, “Selamat, artikel Anda telah diterbitkan di Terminal Mojok!” Nah, itu kalau senang nggak masalah.
Ngomong-ngomong, pilihan kata yang saya gunakan kelihatan banget ya kalau saya sedang menjilat? Ya maaf~
BACA JUGA ‘Gerhana’, Sinetron Paling Supranatural pada Masanya dan tulisan Riyan Putra Setiyawan lainnya.