Entah memang stasiun TV-nya yang nggak peduli atau Ruangguru yang egois.
Di tengah hiruk pikuk dan segala keruwetan yang terjadi di Indonesia, masih dihajar pandemi yang kurvanya masih tinggi pula, kita perlu menaruh perhatian pada satu masalah: Omnibus Law yang dikebut DPR RI untuk segera disahkan.
Kali ini kita kesampingkan dulu sejenak isu pandemi. Bukan berarti isu itu tak penting. Isu tersebut tetap patut kita kawal, tapi kita tak perlu mengemis pada pemerintah untuk serius menangani pandemi. Jika itu kita lakukan, sama saja seperti menyuruh Raffi Ahmad menutup channel YouTube-nya.
Omnibus Law yang dikebut DPR RI sebetulnya sarat akan kepentingan di dalamnya. Mulai dari ketenagakerjaan, bisnis, pemerintah daerah, pendidikan, sampai sertifikasi halal bernaung di bawah panji-panji Omnibus Law. Gelombang penolakannya pun terus digaungkan.
Nyaris semua elemen menolak Omnibus Law. Dan kamu tahu sendirilah siapa yang tidak. Aksi pun akhirnya aksi menolak Omnibus Law RUU Cilaka, sekaligus RUU HIP, mencuat kembali pada Kamis (16/7). Media sosial pun ramainya bukan main, didominasi tagar #GagalkanOmnibusLaw.
Sayangnya informasi mengenai aksi menolak Omnibus Law hanya bergelora hebat di media sosial, tidak dengan media massa nasional. Bukan nggak memberitakan, hanya saja porsinya sangat sedikit. Berita yang tersuguhkan ke masyarakat pun sekadar informasi luar.
Terutama di televisi. Berita-berita demo paling-paling cuma “Massa Demo Tolak Omnibus Law Datangi Gedung DPR”, atau “Massa Mulai Berdatangan”. Alih-alih memberikan edukasi soal kenapa Omnibus Law ditolak dan poin-poin mana saja yang krusial, si pembaca berita malah menjelaskan apa yang disorot kamera.
Kejelekan Omnibus Law seolah ditutupi rapat-rapat oleh televisi kita. Orang-orang yang mendapatkan informasi lewat televisi doang, mungkin justru nggak bakalan tahu ada demo. Apalagi demonya itu kan berlangsung dari siang menjelang sore.
Okelah, televisi menayangkan informasi aksi pada siang atau sorenya, tapi berapa persen yang bakal nonton? Rata-rata para penonton televisi sedang bekerja saat itu. Padahal aksi juga berlangsung hingga malam.
Teman saya membagikan tangkapan layar live Instagram dari LPM Progress, salah satu lembaga pers mahasiswa yang ada di Jakarta. Dalam live Instagram tersebut tampak demo sedang berlangsung. Saya yang baru saja merampungkan salat Isya sekitar pukul 19.30 WIB langsung mengecek akun Instagram tersebut dan menontonnya.
Beruntungnya ada yang live Instagram. Saya jadi bisa menyaksikan perkembangan aksi menolak Omnibus Law. Lah gimana, bukannya menyiarkan perkembangan demo, televisi justru dibombardir oleh tayangan promosi Ruangguru. Hadeh, hadeh….
Sejujurnya saya menanti tayangan berita semacam “Headline News” atau “Breaking News” yang hadir di tengah-tengah iklan atau tayangan sinetron kalau pas ada fenomena atau kejadian mendadak. Tapi hari itu tidak.
Acara Ruangguru itu durasinya lama, disiarkan di sembilan stasiun televisi pula. Terus TV-TV-nya ngasih sedikit saja durasi buat informasi perkembangan demo tolak Omnibus Law ke publik oun ogah. Masyarakat malah dicekoki acara ulang tahun ke-6 besar-besaran Ruangguru.
Keren sih, produk anak bangsa. Mau promosi nggak masalah. Tapi mbok ya nggak usah ditayangkan di hampir semua stasiun televisi juga kek. Apalagi di stasiun televisi yang potensial meraup penonton. Sebutlah SCTV, Trans7, MNC Group.
Itu namanya menjarah frekuensi publik. Saya yakin Mas-mas Harvard dan temannya itu paham fungsi televisi sesuai amanat UU Penyiaran. Mustahil nggak tahu kalau setiap siaran televisi harus berorientasi melayani warga.
Mustahil juga seorang yang berpendidikan tinggi memanfaatkan peluang di tengah UU Penyiaran yang sedang ingin dirombak DPR. Sehingga mindik-mindik mencari celah merampas frekuensi publik. Tidak begitu kan, ya?
Namun begini, unjuk rasa menolak Omnibus Law itu melibatkan publik, sedangkan acara Ruangguru melibatkan Ruben Onsu. Karena televisi itu meminjam frekuensi publik, siaran harus melibatkan dan menyangkut publik. Publik mana yang butuh adegan Ruben Onsu memuji Bertrand Peto yang pinter berkat Ruangguru dalam konteks promosi?
Sementara di luar sana ada demonstrasi yang pesertanya itu bagian dari publik. Terus yang menjadi tuntutan juga akan berdampak besar pada publik. Dengan demikian publik perlu tahu itu dong. Hal ini seolah membenarkan riset Remotivi bahwa untuk soal Omnibus Law, media berlabuh di pelabuhan pemerintah.
BACA JUGA A-Z Omnibus Law: Panduan Memahami Omnibus Law Secara Sederhana dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.