Menjadi masyarakat kota adalah sebuah cita-cita yang mulia dari orang-orang desa, tidak terkecuali saya di pelosok Wakatobi puluhan tahun silam. Gambaran mengenai kehidupan kota yang harmonis dan serba bagus itu tergambar melalui tontonan setiap harinya. Melalui sinetron-sinetron dan film yang digambarkan begitu sempurna. Pun dengan acara-acara di TV, di reality show misalnya. Namun, dari sekian hal yang mereka lihat sebagai kesia-siaan yang ditayangkan TV adalah acara mancing.
Begini, masyarakat di kampung saya bisa dibilang 100% nelayan. Semua orang memiliki akses menjadi nelayan atau akses yang membuat simpul mereka berada di jaring-jaring nelayan. Entah siapa saja, dalam sebuah keluarga, pasti ada orang yang 100% nelayan. Atau sekadar menjadi bagian dari nelayan. Menjadi penjual ikan, misalnya. Atau membantu orang lain membakar ikan hasil tangkapan nelayan. Menjadi penjual roti dan semacamnya dengan sasaran nelayan. Atau gambaran lain mengenai keterkaitan dengan nelayan.
Ada lagi anak-anak lelaki yang tidak dianggap sebagai “anak kampung sini” jika belum pernah melaut (bersama siapa saja) sepanjang hidupnya. Dan itu menjadi beban, momok, juga pelecut semangat dalam satu wadah. Semua anak lelaki di keluarga besar saya pernah mengalaminya. Bahkan kedua kakak saya yang saat ini sudah jadi “spesialis” nelayan.
Keterkaitan dengan kehidupan nelayan inilah yang membuat saya, dan juga orang-orang kampung saya seperti dipermainkan tayangan “mancing” yang ditayangkan di TV. Ada banyak sekali perdebatan yang muncul. Dari orang-orang yang memang benar-benar nelayan, menyaksikan orang yang entah nelayan benar atau sekadar “hobi mancing”.
Kebanyakan acara mancing di TV mempertontonkan mereka yang memancing dengan cara paling konvensional, menggunakan tali pancing/senar, kail dan umpan. Untuk alat tambahan berupa joran, pelampung dan lain sebagainya adalah tambahan. Kadang mancing di laut memang tidak memperhitungkan hal tersebut, atau malah memang tidak dibutuhkan.
Permasalahan sebenarnya bukan pada peralatan dan jenis alat pancing yang mereka gunakan, melainkan cara mereka melepas kembali ikan yang mereka tangkap. Ikan yang kadang mencapai berat 30 kilogram bahkan bisa lebih sekali strike itu bisa dibilang hal yang penuh dengan kesia-siaan. Ngapain dipancing kalau sekadar untuk dilepas lagi? Mau olahraga? Masih banyak olahraga yang lebih masuk akal dilakukan di darat ketimbang di laut.
Menangkap lalu melepaskan lagi ikan adalah salah satu hal yang menyakiti orang-orang di kampung saya yang mancing benar-benar untuk kebutuhan hidup. Hal ini sekaligus mengubah persepsi nelayan di kampung saya bahwa orang-orang kota bukanlah manusia yang makan ikan laut. Artinya, mau sebanyak apa Bu Susi yang mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu koar-koar soal makan dan yang tidak makan akan DITENGGELAMKAN!, tidak akan mempan. Lha wong sudah dapat ikan, kok malah dilepas lagi?
Masih perkara tayangan mancing-memancing ini, nelayan di kampung saya juga tidak terima satu hal. Ternyata di kota, ada orang-orang yang mancing di empang. Pada bagian ini, saya sangat yakin, semua yang nelayan tulen akan garuk-garuk mata. Rasa-rasanya itu profesi paling goblok sepanjang hidup mereka melaut.
Oke, mari kita telaah. Ada satu tempat, dijadikan tempat memelihara ikan, sehari-hari dikasih makan, lalu pada suatu waktu datang orang-orang untuk memancingnya. Dan mereka dengan bangganya berteriak “strike!” tiap kali bisa menangkap satu (si sial) di antara sekian banyak ikan di empang itu. Sebuah hal yang menyebabkan nelayan di kampung saya merasa menjadi tolol sepanjang hayat.
Di lain sisi, mereka juga menganggap tolol kepada yang datang mancing di empang itu sambil teriak-teriak tiap kali dapat satu ikan. Yaiyalah pasti dapat. Orang-orang yang mancing di empang itu ibaratnya memelihara kijang dalam sangkar, setelah besar, si kijang tadi diburu orang, di dalam sangkarnya. Setelah berhasil melumpuhkan si kijang, si pemburu teriak-teriak “strike!” Picek matane!
Saya kira, ada hal yang ingin disampaikan oleh orang-orang yang menayangkan acara mancing di TV. Sayangnya, justru banyak dari tayangan itu yang membuat nelayan tulen merasa jadi orang paling ndableg sepanjang hidupnya. Saya takutnya, mereka mulai berpikir untuk menjadi tempe saja, agar mereka tidak tahu.
BACA JUGA Mengenali Tipe-Tipe Orang Ketika Memancing dan Menebak Jalan Percintaan Mereka dan tulisan Taufik lainnya.