Saya sebagai orang yang lahir dan besar di pedesaan yang masih sangat memegang teguh tradisi dan kebudayaan tentu saja menganggap bahwa kuburan atau makam merupakan tempat yang sakral. Sejak kecil, anak-anak di desa saya itu sudah diajarkan bagaimana bersikap jika berkunjung atau melewati sebuah kuburan. Secara garis besar, kami itu merasa takut bila menyangkut tentang kuburan.
Takut yang saya maksud di sini itu bukan takut dalam artian kita takluk dengan yang namanya hantu atau dedemit gitu yah. Namun takut yang saya maksud itu semacam takutnya anak sekolah dengan guru BP gitulah. Antara segan, hormat, dan juga nyeremin sih. Eh, tapi guru BP zaman sekarang itu nggak sehoror zaman dulu sih ya.
Dulu kami itu jika tak sengaja menunjuk arah kuburan memakai jari telunjuk saja, kami buru-buru menggigit jari telunjuk kami. Kata para orang tua itu, nggak baik menunjuk-nunjuk kuburan dengan jari telunjuk. Sampai sekarang pun, saya belum paham kenapa ada larangan semacam itu. Saat kami berkunjung ke kuburan kami pun diajarkan adab-adab yang baik. Seperti saat masuk gerbang kuburan kami harus memberi salam dan mengucapkan kata permisi. Kami dilarang berkata kasar, jorok, dan tidak senonoh. Selain itu kami juga harus menjaga sikap kami, tidak boleh melangkahi makam, tidak boleh lari-lari, kami juga diharuskan melepas alas kaki saat masuk area kuburan, dan tentunya kami juga tidak diizinkan untuk teriak-teriak.
Kami para orang desa ini sangat percaya bahwa menghormati orang tua itu tak hanya di dunia. Bahkan setelah mereka terbaring di dalam tanah pun, kami masih harus menghormatinya. Meski sekarang-sekarang ini banyak orang yang bilang, bahwa yang terpenting itu doa, tapi bagi saya merawat makam leluhur itu juga merupakan sebuah tanda bakti seorang anak pada tetua.
Pernah nonton film tentang tema hantu-hantu gitu nggak sih? Sering adakan film tentang seseorang yang telah mati, lalu arwahnya gentayangan gitu jadi hantu. Dalam film tersebut menggambarkan bagaimana suasana si hantu yang tengah bersedih sekali saat mendapati makamnya yang tidak dirawat dan tak pernah dikunjungi oleh sanak saudara. Meski itu hanya sekadar film, tapi saya ikut bersimpati pada hantu tersebut. Duh, sudah jadi hantu saja masih juga kesepian dan merana kayak gitu sih.
Setelah dewasa dan pergi merantau saya dibuat terkaget-kaget dengan kelakuan orang-orang kota menyangkut tentang kuburan ini. Semua hal-hal mistis yang selalu membayangi imajinasi saya sejak kecil seolah dipukul mundur oleh hal-hal yang tidak lazim tentang kuburan orang kota. Nggak semua sih, tapi ada beberapa yang sering saya lihat seperti itu dan nggak semua juga orang kota berperilaku semacam ini terhadap kuburan, ingat ya, ini hanya oknum saja sih. Tapi oknumnya banyak! Hehe
Pertama, saya bergidik ngeri saat mendapati beberapa makam itu ada tepat di samping atau depan rumah warga. Kebayang nggak sih, buka pintu atau jendela rumah gitu terus pemandanganya bukannya taman atau kolma ikan, eh tapi malah makam yang berjejer-jejer. Saya aja dulu kalau habis dari makam gitu, malamnya suka sampai kebawa mimpi dan paginya sudah ngos-ngosan serta keringat dingin. Lah ini?
Kedua, kuburan di sini itu sering ada di pinggir jalan dan tanpa ada pembatas gitu. Jadi dari jalan kita bisa langsung melihat kuburan secara gamblang. Kalau di desa itu biasanya makam ada di ujung desa yang agak jauh dari pemukiman warga. Letaknya menyepi dan ada ruang tersendiri, jadi tidak terjamah oleh manusia setiap harinya. Mungkin karena di kota sudah padat penduduk kali ya. Jadi nggak ada lahan lagi untuk membuat kuburan yang agak jauh dari pemukiman warga, mau gak mau yah jadi satu gitu.
Ketiga, anak-anak di sini itu nggak ada takutnya sama kuburan. Di kota itu entah kekurangan lahan bermain atau memang nyali anak-anaknya itu begitu besar. Masak anak-anak itu berlarian, duduk –duduk di nisan, dan bermain layangan di kuburan coba. Coba kalau itu di desa, behhh, sudah kena sawan itu bocah berani bermain di area kuburan.
Keempat, kuburan di sini itu sebagian ada yang tak terawatt sehingga banyak rumput liar yang tumbuh di area kuburan. Lalu tahu apa yang terjadi? Kuburan yang tadinya menyeramkan dan sakral malah jadi tempat menggembala kambing. Hmm~ Kambing mah nggak tahu apa-apa, ia tahunya makan, makan, makan, lalu dijual atau disembelih gitu aja sih.
Kelima, bila rumah yang bersampingan dengan area kuburan tengah mengadakan hajatan. Maka tak sungkan-sungkan para tamu tersebut disambut di area kuburan untuk duduk di kursi dan makan. Duh, kasian sekali mereka yang sudah terbaring di alam kubur. Sudah gelap gulita, masih diberisiki dengan suara dangdutan coba. Terlalu~
Orang mati di kota itu kok ya nggak ada harganya yah. Miris aja lihat nisan diinjak-injak dan diduduki. Meski benar manusianya sudah mati dan mungkin sudah menjadi tulang ataupun sudah menyatu dengan tanah, tapi saya rasa kurang etis saja perilaku semacam itu.
Secara sederhananya, yang tadinya hidup nanti juga akan mati lalu dikuburkan. Ingat hukum semesta, saat kita menghormati orang lain nanti kita juga akan dihormati. Saat kita berbuat baik, maka kebaikan akan kembali lagi pada kita di kemudian hari. Jika kelak kuburan itu pada akhirnya akan menjadi tempat peristirahatan kita nantinya, maka bersikaplah layaknya itu kelak akan menjadi rumah pribadi kita sendiri. Tentu kita tak mau rumah yang bising, kotor, dan orang luar yang bersikap seenaknya sendiri tanpa sopan santun dan permisi. Sampai sini sudah jelaskan ya? (*)
BACA JUGA Lagu Lingsir Wengi dan Kaitannya Terhadap Kemunculan Kuntilanak di Penginapan atau tulisan Reni Soengkunie lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.