Mantan murid SMP tiba-tiba ngechat, biasanya dia konsultasi perbucinan. Tapi nyatanya kali ini berbeda, ada yang hal lain yang bikin hatinya tersiksa. Sesuatu yang berhubungan dengan Boruto Chapter 51. Sepertinya keadaan demikian darurat sampai-sampai dia merasa perlu menghadap senseinya.
“Nggak rela sekali saya rasa”, begitu berulang kali dia bilang.
Saya tebak ngasal, “Naruto mati?” Jawaban dia ngambang, tapi sepertinya memang begitu. Jadilah saya menunggu besoknya sampai nemu chapternya rilis. Sambil menahan bosan dengan scrolling dialog Ishiki dan Boruto yang ternyata tidak jauh-jauh dari topik Kaguya di ending perang yang menyingkap sejarah dunia per-chakra-an, akhirnya nemu juga cliffhangernya di bagian akhir. Naruto belum benar-benar mati sih, hanya baru merencanakan mati bersama Kurama dengan merapal jurus pamungkas karena buntu tidak tahu apa mau dibikin melawan alien Isshiki Ootsutsuki.
Hmmm, parah betul kalau sampai beneran Naruto dimatiin. Kesurupan apa ini Kodachi kepikiran ide matiin char loveable begitu. Meskipun banyak penggemar Naruto yang sebel waktu sekuel Boruto beneran dirilis, nyatanya sesekali tetep gatel juga buat ngintip. Benci tapi rindu. Ada rasa yang tak jelas dan sukar digambarkan. Bayangin, ini tokoh udah nemenin masa kecil, tumbuh bareng dengan impian yang sama muluknya dan rasa solidaritas pertemanan yang sama gregetnya, dia ujian chunin kita ujian semester, dia bela-belain temennya kita bela-belain nunda-nunda mandi nyelesein kartunnya, dan terutama Naruto ini kita banget dalam bab fallin’ in love with people we can’t have.
Makanya, ikatan ini terlalu erat untuk diurai begitu saja. Apalagi setelah klimaks yang agak sedikit dipaksakan di arc penutup perang dunia shinobi yang temponya begitu cepat. Meski tetep mewek juga ngeliat rematch Naruto vs Sasuke yang happy ending, dan sepintas diberi gambaran imutnya anak-anak mereka menikmati masa kecil yang damai di Konoha. Inginku sampai di situ saja, stop. Biarkan rasa pungkasan itu membekas selamanya, seperti rasa asam kopi sruputan terakhir, untuk kemudian imajinasi bebas bermain mereka-reka seperti apa masa depan mereka. Kurang lebih sama lah sensasinya seperti ending Harry Potter ketika disajikan gambaran Mr dan Mrs Potter mengantar Albus Severus Potter naik Hogwarts Express pertama kalinya di kehidupan yang aman tentram setelah penjahat utamanya dikalahkan.
Mungkin cuma kebetulan jika penggemar Harry Potter dan Naruto kadang suka kecampur ketika mengenang kembali bagian akhir keduanya. Keduanya sama-sama hidup bahagia, menikahi sahabat yang mengisi pelarian dari cinta pertamanya yang kejebak friendzone. Sama-sama anak terkutuk yang ditakdirkan mengalahkan villain utama. Lalu punya anak cewe dan cowo yang mirip bapak ibunya. Siapa meniru siapa? Ah tidak, inspirasi tidak muncul dari ruang hampa. Bisa jadi keduanya punya konstruksi kenangan yang mirip. Tapi, sebagaimana JK Rowling yang menganggap Harry seperti anaknya sendiri, Masashi Kishimoto pun demikian mencintai Naruto dan Sasuke, keduanya tidak sampai hati membunuh char kecintaannya. Fans mencintai cara author ini melestarikan tokoh kesayangannya dan menikmati kenangan bersamanya, lalu tiba-tiba seseorang yang bukan siapa-siapa berniat membunuhnya di serial spin off? Kewanen wis kewanen.
Makanya saya berani bertaruh pada muridku itu, Naruto nggak bakalan mati. Efek geopolitiknya terlalu besar, seandainya dia paham. Meskipun ya, peduli amat. Boruto: Naruto Next Generation dari awal memang cupu sih. Mau naruh ekspektasi apa sama mainan penerus-penerusan begitu.
Sebenernya saya ini tim One Piece. Tapi, dengan Naruto pun suka. Tidak mau terbawa polaritas fans die hard dan malas juga repot masuk ke kontestasi perdebatan di fanspage-fanspage mengenai mana yang lebih hebat dan pantas menyandang manga terbaik. Segala ada yang nyocok-nyocokin Hokage konoha sama presiden-presiden RI lah, ga ikut-ikutan. Walaupun Luffy lebih jujur pada ambisinya dan egonya lewat dunia hitam meski harus mengkhianati trah militer yang sekuat tenaga dibangun kakeknya, tapi impian Naruto untuk menjadi Hokage meskipun dirinya hanyalah anak biasa yang diragukan asal-usulnya lama-lama bikin simpati juga.
Lepas dari itu, karena sudah dari awal main dua kaki dengan menyukai kedua manga itu, kritik yang dilontarkan bisa adil dan lepas saja. Pun, saya jadi merasa pantas untuk kembali menegaskan sikap bahwa Manga Boruto belum punya ruang di hati Narutolovers senior. Catet tuh.
Kenapa?
Membuat sekuel itu berisiko. Apalagi bentuknya spin off begini, lain pengarang, karakter utama sudah beda tapi masih menginduk di konstruksi semesta serial sebelumnya. Pengembangan konflik bisa jadi justru menghasilkan plot hole baru jika dikaitkan dengan serial induknya. Belum lagi menyiapkan batin untuk tega merombak bangunan karakter-karakter utama yang sudah dibentuk dan punya kesan yang melekat kuat bagi penggemarnya.
Misalnya, Boruto ini di awal kemunculannya dibuat sama persis seperti Naruto, bocah nakal yang kurang perhatian sehingga capernya kelewatan. Tapi, berbeda dengan Naruto yang sebatang kara, Boruto ini lengkap masih hidup semua keluarganya. Bapaknya Hokage, ibu dari klan ningrat bangsawan, punya adik perempuan yang nurut pula. Di sekolah pun Boruto termasuk shinobi yang paling berbakat. Lagian masalah apa pun yang dibikin, pasti langsung ada solusinya. Bapaknya kepala desa kok. Mau bicara impian, masa iya mau sama-sama jadi Hokage kaya bapaknya? Nggak greget lah. Atau bisa jadi dalam hati minat juga, tapi masa iya mau terang-terangan. Malu lah dikira melestarikan dinasti politik shinobi, apa kata Om Shikamaru nanti. Meskipun di Konoha sudah biasa seperti itu sih.
Sebenarnya pola berulang garis nasab untuk melestarikan trah ini dimunculkan sendiri oleh Masashi Kishimoto, Boruto ini cuma meneruskan saja. Naiknya Tsunade jadi Hokage dianggap hanya karena ia cucu Hokage pertama dan satu-satunya garis keturunan Senju yang eksis. Dari segi kemampuan, masih ada yang lebih mumpuni seperti Jiraiya, Danzo, atau bahkan Kakashi. Tapi, apa mau dikata, trah itu pengaruhnya besar juga. Kalau saja Tsunade punya keturunan mungkin juga bakal ngincer jabatan Dewan Penasehat Desa kali ya.
Naruto sendiri semakin menegaskan pola trah Hokage tersebut setelah terungkap bahwa bapaknya ternyata Hokage keempat. Tak apa, toh Naruto sudah menderita sejak kecil membuatnya jadi sosok merakyat dan dekat dengan keseharian masyarakat bawah. Lalu impiannya menjadi pelindung desa jadi pantas untuk mewakili harapan warga desa yang mengharapkan sosok pengayom yang nampak dekat dengan mereka. Tapi ya sudah, klimaksnya cukup sampai di situ saja biar epik. Memperpanjang cerita bisa jadi malah membosankan atau malah antiklimaks karena semakin panjang cerita berarti semakin banyak kesempatan bagi munculnya jawaban atas ekspektasi-ekspektasi yang bisa saja menyakitkan.
Build up karakter Boruto yang terlalu sempurna dan baik-baik saja itu membuat ruang untuk kemungkinan-kemungkinan konflik yang greget jadi minim. Jadinya biar seru Naruto kena nerf, Sasuke juga, lalu bocil-bocil seperti Boruto, Sarada, Momoshiki, dan Kawaki di-buff dengan berbagai macam cara. Muncullah segel karma yang benang merahnya mengarah ke Villain utama bernama Isshiki Ootsutsuki yang selama ini entah ke mana rimbanya padahal pasangannya, Kaguya, sukses beranak pinak dan memberi chakra yang menjadi sebab musabab perang dunia berjilid-jilid. Villain utama itu kemudian dibikin imba agar memungkinkan untuk memunculkan jurus-jurus epik terbaru. Dengan karakter antagonis yang itu-itu saja dan konflik yang berkembang dengan pola yang sama ini semakin berpotensi merusak momen klimaks pada ending Naruto yang tersimpan rapi di memori penggemarnya dulu.
Agaknya Boruto ini diharap sebagai sarana nostalgia tipis-tipis, tapi beberapa kali justru mengecewakan. Sempat ngarep Kashin Koji itu benar-benar Jiraiya eh ternyata kloningan, harapan nostalgia gagal. Belum lagi konsep kloning yang bikin cerita jadi membosankan seperti kelakuan Zetsu dan sel Hashirama. Padahal, konsep edo tensei yang menghidupkan tokoh masa lalu saja sudah menunjukkan kalau cerita ini gagal move on dan terjebak dalam euforia heroisme kelamaan. Kesulitan membangun alur dan tokoh progresif ini bikin tidak menarik jika diulang-ulang terus. Sejak chapter pertama Boruto, sudah terlihat kesan itu saat muncul tokoh bermata Sharingan padahal katanya klan Uchiha sisa Sasuke seorang, dan Uchiha Roy yang ga masuk hitungan karena sukanya ngeprank.
Ternyata bener, Shin ini kloningan, mana banyak banget lagi. Kebiasaan ngulang lawan, ngulang pola konflik, dan keterikatan tokoh dengan orang tuanya ini membuat seakan-akan manga Boruto: Naruto Next Generation tidak mampu lepas dari bayang-bayang manga bapaknya.
Ada titik jenuh yang pada akhirnya membuat seorang penggemar sejati pun bisa beralih ke manga yang lain. Lagian, kita sudah kebanyakan referensi kisah-kisah anak yang meng-copy carbon orangtuanya, jadinya bosen. Atau yang masih sukar lepas dari euforia heroisme leluhurnya dan ditenteng kemana-mana. Tapi bagi yang masih punya selera untuk menikmati, ya bebas aja sih. Cuma mau ngasih tau aja, takutnya nanti pas udah nyadar di ending-endingnya malah ada yang ngatain: mamam tuh next generation.
Sumber gambar: Viz.com
BACA JUGA Tidak Merokok dan Tidak Minum Kopi Bukanlah Aib