Sebagai mantan Menteri Pendidikan, dan sekarang menduduki kursi penting di ibu kota, Anies Baswedan memang punya spesifikasi paling utama untuk digugu dan ditiru. Cekat, gesit, puitis, dan kadang ribet sama omongannya sendiri, menjadikan Anies menjadi sosok yang pantas dijadikan way of life warga Jakarta.
Pun Anies sadar kedudukannya. Melalui keseharian, apalagi media sosial, Anies menunjukkan bagaimana menghabiskan hari dengan baik dan benar. Hari Minggu ini, Anies bercuit di akun Twitter pribadinya. “Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi.” Begitu tulisnya, sungguh mencerminkan pemimpin tauladan yang muncul dari kesepakatan para warganya.
Bukan warganet namanya jika nggak geger. Bukan perkara cuitan, melainkan gambar yang dibubuhkan. Dengan menggunakan kemeja putih rapih khas Pakdhe Jokowi, pun sarung merah marun motif lurik yang menarik, Anies tengah membaca buku bersampul hitam dengan judul “How Democracies Die”.
Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi. pic.twitter.com/sBhF8k0UW0
— Anies Baswedan | Sudah #VaksinDulu (@aniesbaswedan) November 22, 2020
Buku yang ditulis secara duet oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt ini, dilansir dari Tempo, menceritakan kematian demokrasi dengan terpilihnya banyak pemimpin otoriter. Kepemimpinan otoriter dinilai akan menyalahgunakan kekuasaan pemerintahan, dan penindasan total atas oposisi.
Masih dari Tempo, lebih jelas lagi, resensi buku itu menyebutkan demokrasi bisa mati karena kudeta atau mati pelan-pelan. Kematian itu bisa tak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi. Ketiga langkah itu sedang terjadi di seluruh dunia dan kita semua mesti mengerti bagaimana cara menghentikannya.
Setelah warganet giduh, lantas yang ribut ya media. Banyak yang mengatakan bahwa tindakan Anies ini merupakan sentilan yang amat nyata bagi pihak atas. Lha wong Anies sudah atas je, lantas siapa yang lebih atas? Baca buku dan upload saja ruwet. Kasihan betul Anies ini. Selalu salah walau punya maksud baik, mengasah literasi.
Saya punya beberapa rekomendasi buku yang pantas dibaca atau diunggah ke media sosial Bapak di minggu-minggu khusyuk Anda ke depannya. Tenang, Pak, saran saya ini serius dan isinya nggak kalah mbois dari yang Bapak baca. Mari kita gulung sarung dan diskusikan.
#1 Statism and Anarchy oleh Mikhail Bakunin
Mungkin saat kontestasi Pilkada di Jakarta, kita sering dengar sebutan “pribumi” dan “aseng”. Pembagian kelas atas “pribumi” dengan tanda petik ini amat menohok sekali. Apalagi yang disebut sebagai non-pribumi. Bias nggak terkira, pemahaman nenek lu juga nggak bakal bisa menakar silogisme unik khas “pribumi”. Inilah mengapa bacaan Statism and Anarchy menjadi wajib hukumnya, nggak bisa diganggu gugat.
Bakunin setidaknya melihat masyarakat bukan dari “pribumi” dan segala tetek bengeknya, melainkan kelas tertindas dan kelas penindas. Jurang pemisah dua kelas ini bukan pilihan paslon. Pun bukan perihal demo di Monas dan nggak demo di Monas. Melainkan, dilansir dari Kolektif Anarkis, ada hirarki strata sosial yang dapat ditakar berdasarkan derajat apakah sebuah kelompok mengeksploitasi satu sama lain atau malahan dieksploitasi.
Jika belakangan ini kita sering dengar revolusi akhlak, maka dalam buku hadir dengan kental konsep “revolusi sosial”. Revolusi ini nggak bergerak dari pengajian ke pengajian. Apalagi dari acara pernikahan ke acara pernikahan yang lain. Revolusi ini memiliki titik tekan kepada segmen masyarakat yang paling terasing dari tatanan yang mapan. Jadi, yah, begitulah, nggak bakal ada Pajero Sport atau pernikahan mewah dalam “revolusi sosial” ini.
#2 Mangir oleh Pramoedya Ananta Toer
Secara ringkas, buku ini menceritakan konflik politik dua kerjaan, Mangir dan Mataram. Raja Mataram hampir saja kalah melawan Wanabaya, Raja Kerajaan Mangir. Sakit hati, lantas Raja Mataram mengutus puterinya yang jelita, Puteri Pembayun, untuk menggoncang Wanabaya atas pertahanan kokohnya dengan menyamar sebagai penari keliling. Setelah kian melemah, Wanabaya diundang ke istana dan di sanalah ia dihabisi oleh Raja Mataram.
Buku ini amat direkomendasikan lantaran politik itu amat licin. Besok bisa saja kawan, lusa bisa menjadi lawan. Pun sebaliknya. Dengan membaca ini, setidaknya Anies bisa mawas dan sedikit berhati-hati akan langkah politiknya. Yah, bagaimana pun kuasa akan runtuh jika harta, takhta, dan agama, eh, maksud saya wanita, sudah menjadi kelemahan sebagaimana yang dialami Wanabaya.
Untungnya nggak ada demo berjilid-jilid di novel drama ini. Ya, untungnya.
#3 Sebuah Seni untuk Memahami Kekasih oleh Agus Mulyadi
Buku ini amat penting bagi kehidupan saya karena 38 kisah cinta Agus dan Kalis mengajarkan saya perihal kebijaksanaan yang sesekali disisipi humor biar nggak bosan. Isinya juga ada tanggung jawab dan bukti sahih sebuah janji. Dengan sebuah kemasan janji suci ala Agus dan Kalis tentunya, bukan Raffi dan Gigi.
Kenapa Anies harus ikut membaca buku ini? Buku ini mengajarkan tentang cara tanggung jawab dan menepati janji sama kekasih. Lha wong sama kekasih saja harus tanggung jawab dan tepat janji, apalagi sama masyarakat yang memberi mandat atas dasar rasa percaya.
Sambil menyelam minum air jadi peribahasa yang cocok. Sambil baca buku, bercuit di Twitter, dan kontemplasi akan janji-janji suci yang belum kontan terpenuhi.
BACA JUGA 6 Celetukan yang Sering Keluar Saat Nonton Film Horor dan tulisan Gusti Aditya lainnya.