Menikah adalah saat yang paling sentimentil. Tidak hanya hari H pernikahan, pasca dan pra menikah itu juga tak kalah sentimentilnya. Seiring berjalannya waktu, pernikahan banyak mengandung beberapa aspek di luar dari ranah sentimentil tersebut.
Zaman dahulu, kita paham bahwa pernikahan itu wujudnya meleburkan sebuah persekutuan kerajaan satu dengan kerajaan lainnya. Namun, kini lebih menyedihkan dari itu. Dari kalangan figur publik, pernikahan menjadi tameng dari wujud panjat sosial belaka.
Cinta, perselisihan, dan drama adalah wujud kompleks dari hal yang menyenangkan. Dan sebuah pernikahan yang berbalut drama, adalah contoh nyata dari ini semua. Ya, memang, tidak semua pasangan selebritas mengambil jalan pintas seperti ini untuk terkenal. Namun, nggak sedikit hal seperti ini terjadi di sekitar kita.
Pernikahan adalah hal yang indah, bukan hanya untuk para selebritas yang ingin panjat sosial. Masyarakat biasa, terlebih yang menggunakan Twitter pun bisa merasakan sumringahnya suasana pernikahan, melalui rangkaian kata yang mereka cuitkan.
Namun, melalui riset kecil-kecilan yang saya lakukan, ada ciri tersendiri bagi seseorang yang mau menikah dengan polisi, tentara, atau PNS. Kawan saya hingga saudara saya, tipikal mereka menunjukkan ciri-ciri yang sama. Mulai dari yang cringe hingga basic, ini dia ciri-cirinya.
Pertama, tweet yang penuh pertanyaan aneh. Contohnya seperti ini, “Kemarin si mas mau beliin cincin. Duh doi mau ngapain, yhaaa?” Padahal ya jawabannya sudah jelas, antara si Mas ini mau jualan emas guna menyongsong hari tua atau membeli mahar untuk perkawinannya. Sangat basic.
Jenis seperti ini, biasanya akan dijawab dengan sumringah oleh circle-nya. Jawabannya pun penuh dengan pertanyaan yang nambah mbingungi. Begini, “Duhhh, ngapain tuh? Kok bisa sampai beliin cincin segalaaa.” Ingat, biasanya huruf akhirannya kelipatan ganjil, misal segalaaa, segalaaaaa, dan seterusnya.
Sebenarnya nggak ada yang salah dengan tweet jenis ini. Namun, sebagian orang termasuk saya, pasti bakal ngomel apa salahnya mengutarakan apa yang ia pikirkan ketimbang melemparkan sebuah pertanyaan. Bukannya apa-apa, saya jadi gemes balas tweet-nya. Nggak dibalas ada yang kurang, dibalas malah kelihatan kurang gawean.
Kedua, tweet yang memberikan kegiatan sehari-harinya dengan penuh misteri padahal nggak misteri-misteri amat. Kalau nggak dicontohkan bakal susah dijelaskan. Untungnya, contohnya banyak. Banyak banget. Banyak sekali. Misalnya gini, “Hari ini mau cek lokasi di Gedung Wanitatama, besok GSP, besoknya ke kantor si mas ketemu sama bawahan-bawahannya.” Ada? Ini saya copy paste langsung!
Ciri-ciri yang menonjol itu diakhiri dengan sebuah kata yang bikin gemes. Bukan gemes karena lucu, tapi karena bikin penasaran. Padahal ya nggak bikin penasaran-penasaran amat, sih. Kalau tujuannya ke Gedung Wanitatama dan GSP itu mau cari tempat untuk nikahan. Nggak ada kegiatan yang lain. Yo, masak mau cari tempat sparing futsal?
Contoh lainnya begini, “Si mas kemarin datang ke rumah, ikut cuci mobil sama Ayah. Ih, gemes banget, mungkin persiapan…” Padahal tinggal bilang aja persiapan nikah. Ini kenapa lho selalu dikasih titik-titik. Saya baca tweet malah berasa ngerjain soal esai.
Ketiga, tweet yang memberikan kesan ambiguitas. Contoh terdekatnya adalah orang yang nge-tweet seperti ini, “Beberapa bulan lagi, samping kasur bakal ada yang nempatin, nih”. Atau begini, “Beberapa bulan lagi, malem-malem gini, setelah si mas pulang kerja, pasti ada yang meluk sambil ngelusin punggung aku”. Nggak cuma peluk dan ngelus punggung, sih, Mas dan Mbak, bahkan mau main karambol bareng saja bisa.
Ada pula yang begini, “Ya ampun, nggak kerasa beberapa bulan lagi mobil di garasi bukan cuma diisi mobilnya papa doang yang platnya hitam”. Saya jadi overthinking lho gara-gara tweet ini. Bukan karena iri, saya jadi penasaran apa di garasinya, nggak ada motor atau sepeda, gitu? Garasi saya selain motor itu ada perkakas, onthel, skuter bekas SD, sama jangan lupa kandang kucing.
Kapan-kapan saya harus mampir ke rumahnya, ngecek satu-satu perlengkapan garasi rumahnya. Mbel kalau cuma mobil doang.
Keempat, no offense ya bagi siapa pun yang merasa, tapi hal ini beneran saya alami. Yakni orang yang mengirimkan foto ke Twitter, isinya seragam bhayangkari dengan tulisan, “Sebentar lagi jadi ibu negara.” Salah? Nggak dong. Itu adalah perwujudan rasa syukur yang lumayan unik.
Kelima, ini yang paling saya suka, yakni tweet yang penuh dengan kejutan. Kawan saya, selepas lulus, ada yang nge-tweet seperti ini, “Puji Tuhan”. Besoknya menikah. Weladalah. Ini rasa bersyukur bisa digunakan untuk apa saja, lho. Habis makan, habis berkegiatan, atau apa pun itu. Ternyata, kata yang menunjukkan wujud untuk bersyukur, bisa juga digunakan “tanda-tanda akan menikah” dan nggak kalah elegan dari keempat tipe sebelumnya.
Perkara mau menikah dengan siapa pun, saya rasa setiap orang punya jalannya. Siapa yang nyana bahwa orang yang ndembik menengan seperti Hina bisa menikah dengan seorang Hokage, kan? Setiap orang itu bebas berekspresi, hanya kadar noraknya saja yang bisa mengukur.
Sebagai akhir, bagi kalian yang merasa selalu sendiri, ada kutipan dari saya untuk kalian, “Cinta itu bisa ditemukan di mana saja, bahkan di tempat yang acap kali orang-orang sebut dengan sampah. DM-DM-an via Twitter misalnya.”
BACA JUGA Telat Menikah Itu Bukanlah Sebuah Masalah, dan Ini Serius dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.