Joki skripsi hasilnya nggak main-main. Tapi, dosa tanggung sendiri.
Perkara skripsi memang sangat sensitif bagi mahasiswa. Ada banyak alasan mengenai kenapa skripsi nggak selesai-selesai, mulai dari udah sibuk kerja, merasa salah jurusan kuliah dan nggak mudeng ngerjain skripsi, sampai pada alasan paling klasik yaitu malas. Saat ini, saya punya satu teman yang skripsinya belum juga kelar meski saya yakin dia sangat mampu menuntaskan skripsinya dengan cepat. Urusan nulis, teman saya ini jago banget, terbukti dari jumlah tulisannya di Terminal Mojok sudah melebihi angka dua ratus. Sebut saja nama teman saya ini Gusti Aditya—bukan nama sesungguhnya.
Saya pernah ngobrol lumayan panjang dengan dia soal dunia tulis menulis. Saya tanya, setelah menguasai Terminal Mojok, media mana lagi yang ingin dia sasar. Dengan gembelengan, dia menjawab pengin tulisannya tayang di Jurnal Kampus, alias skripsinya kelar. Walhasil dari pembicaraan itu saya mengingat masa lalu kelam ketika bergelut di dunia hitam yang mencederai nilai-nilai akademisi, yakni perjokian skripsi. Iya, dulu saya adalah seorang joki skripsi yang lumayan andal.
Dulu saya nggak ada maksud menjadi joki skripsi sama sekali. Kebetulan saya lumayan jago di jurusan kuliah saya yaitu Sistem Informasi. Saat semester lima, saya pernah setulus hati membantu kakak angkatan buat mengerjakan skripsi secara cuma-cuma. Imbalan yang saya dapatkan paling ya ditraktir makan di kantin kampus. Nah, setelah saya sukses meluluskan kakak tingkat itu, tetiba banyak yang minta bantuan juga. Ternyata kakak tingkat tadi menyebarkan informasi kalau saya hobi bantuin ngerjain skripsi dengan cuma-cuma. Ya sudah, wong ada orang minta tolong, ya saya bantuin.
Setelah sekian lama bantuin orang skripsi, tetiba ada salah satu kakak tingkat yang menyarankan supaya saya minta dibayar. Kebetulan kakak tingkat saya juga seorang joki skripsi dan dia bantu saya nentuin tarif-tarifnya. Semenjak saat itu, saya secara resmi terjun ke dunia gelap perjokian skripsi.
Jadi gini, ada tiga tipe mahasiswa jurusan Sistem Informasi yang sering saya bantu skripsinya. Pertama, yang jago ngoding tapi males ngerjain laporan. Kedua, yang jago bikin laporan tapi skill ngoding ambyar. Ketiga, nggak jago dua-duanya. Tipe pertama adalah yang paling murah bayarannya, karena saya hanya ngerjain laporannya saja dari bab satu sampai selesai, plus revisi sana revisi sininya. Harga yang saya kasih ke tipe pertama itu hanya sejutaan, toh saya juga ngerjainnya bisa sambil merem ibaratnya.
Jenis yang kedua itu lebih mahal lagi, karena jelas saja bikin program lebih ribet daripada bikin laporan. Tetapi ya, seribet-ribetnya program anak skripsi jurusan Sistem Informasi, mentok ya bikin Sistem Kasir, Sistem Penggajian, Sistem Jual Beli Online, Sistem Stok Barang, dan semacamnya, yang notabennya saya sudah punya semua file programnya dan tinggal edit sana edit sini. Waktu itu, untuk satu program ala anak skripsian, saya kasih harga dua jutaan.
Jenis yang ketiga adalah sumber panen duit bagi saya. Ngurusin orang yang nggak bisa ngoding dan males bikin laporan, meskipun repotnya dobel, tetapi duitnya seger banget. Biasanya mahasiswa-mahasiswa jenis ini nggak mau repot, mau langsung jadi, berani bayar berapa saja. Saya sih matok harga sekitar tiga juta sampai empat jutaan untuk paket lengkapnya. Saya seumur-umur belum pernah matok harga lima jutaan ke atas, soalnya ya kadang saya nggak tega sama mas-mas atau mbak-mbak yang sangat putus asa nggak bisa ngerjain skripsi itu.
Nah, musim skripsi adalah surga bagi saya. Saya bisa nerima beberapa job sekaligus dari beberapa jenis mahasiswa yang saya sebutkan tadi. Saya sih masih bisa ngurusin semua itu sendiri dan nggak sebegitunya keteteran. Tetapi teman saya, yang berani nerima juaaauuuh lebih banyak job dari saya, sampai bikin tim untuk misi panen duit itu. Satu tim yang dia bentuk ada sekitar empat orang dan tugasnya macem-macem dan sampai detik ini, tim tersebut masih aktif nerima job. Saya sempat diajak bergabung, tetapi mengingat saya kurang bisa kerja kelompok dan memiliki idealisme sendiri—padahal alasan utamanya nggak mau duitnya kebagi-bagi—senantiasa menolak ajakan mereka. Bolehlah mereka dapet lebih banyak job dari saya, tetapi penghasilan saya tetep lebih banyak daripada masing-masing dari mereka.
Saya berani ngambil lima job dalam sekali waktu dan dibayar begitu job saya kelar yang artinya skripsi klien saya sudah ditandatangani dosen pembimbing. Bayangkan saja, dalam enam bulan, saya bisa mendapatkan sekitar dua belas juta. Itu, per bulannya berarti dua juta, padahal UMR Jogja pada waktu itu masih sejuta tujuh ratusan. Bisa dibayangkan betapa gembelengan saya pada masa itu, dan merasa bahwa dunia perjokian skripsi adalah ladang uang yang sangat subur. Itu, kalau saya serakah dan mau hasil lebih banyak lagi, saya bisa saja naikin harga atau nambah slot klien yang saya urusi. Akan tetapi, demi menjaga rivalitas antar joki skripsi, saya tetap menjaga porsi saya dan nggak babat habis semua job.
Dan sungguh, arus informasi antar mahasiswa yang kesusahan skripsi itu cepet banget. Saya nggak perlu repot-repot nyari klien. Klien yang bakal menghubungi saya lebih dulu. Biasanya tiba-tiba ada yang ngechat, “Ini Mas Riyanto, anak Sistem Informasi angkatan 2013, ya? Saya dapet saran dari si A kalau Mas Riyanto bisa bantuin skripsi.” Kalau udah dapet chat kayak gitu, senyum saya langsung melebar dan mengeluarkan tawa jahat di dalam hati.
Pernah juga saya diminta buat ngerjain skripsi dari jurusan lain yang nggak ada hubungannya dengan IT. Setelah saya pelajari baik-baik, akhirnya saya tolak karena merasa nggak mampu sama sekali. Ya iya, wong itu adalah skripsinya anak Teknik Industri yang saya benar-benar nggak mudeng sama sekali segala istilahnya. Jadi ya, impian untuk melebarkan sayap dengan mengerjakan skripsi segala jurusan seperti selebaran yang sering nemplok di tiang listrik itu pupus seketika itu juga.
Pada akhirnya saya memutuskan berhenti dari dunia hitam itu karena capek bukan main. Ya gimana, meski saya mendaku sebagai seorang Demigod yang kemampuannya di atas rata-rata manusia normal, tetapi ngerjain banyak hal dengan masalah yang berbeda-beda dalam sekali waktu itu ternyata bikin saya misuh, sambat, kurang pergaulan, jidat melebar, kantung mata tebal, susah tidur, dan masih banyak kondisi negatif lainnya.
Lagian gimana-gimana apa yang saya lakukan itu, kan, nggak pantes. Meskipun uang melimpah, buat apa kalau akhirnya nggak berkah?
BACA JUGA Skripsi Itu Jangan ‘yang Penting Jadi’, Begini Alasannya dan tulisan Riyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.