Mempunyai gelar sarjana matematika adalah kebanggaan bagi saya dan keluarga. Walaupun sebenarnya dari lulus SMA cita-cita saya sangat jauh berbeda dari apa yang saya kerjakan sekarang. Dulu saya bercita-cita jadi direktur bank. Tapi, sebab saya sempat bergaul dengan teman-teman yang rutin mengikuti kajian-kajian Islam, akhirnya saya diceramahi tentang bahaya Riba. Saya merinding. Akhirnya saya mengubur dalam-dalam cita-cita saya tersebut.
Ternyata Tuhan menunjukkan kuasa-Nya. Cita-cita yang dulu sempat menggebu berubah 180 derajat. Saya menjadi seorang sarjana matematika. Dan akhirnya saya menjadi seorang guru. Iya, guru matematika. Mempunyai gelar sarjana matematika ternyata tidak mudah. Ada banyak stigma masyarakat bahwa sarjana matematika itu pasti jenius. Sarjana matematika itu pasti bisa menghitung perkalian 4 digit hanya dengan memejamkan mata. Memang ada sarjana matematika yang seperti itu. Tapi hanya beberapa orang saja. Sisanya? Rata-rata. Sama seperti sarjana-sarjana lainnya. Tergantung nasib.
Menurut pengalaman saya, menjadi sarjana matematika itu tidak mudah. Ada beban yang akan dipikul seumur hidup. Anggapan masyarakat yang “mewajibkan” kami harus sempurna dalam urusan angka sangatlah tidak menyenangkan. Berikut ini saya akan jabarkan alasan sarjana matematika sebaiknya menyembunyikan gelarnya dalam kehidupan masyarakat.
#1 Sudah pasti dianggap pintar
Ini adalah alasan utama yang pasti ada di benak orang-orang pada umumnya. Saat kita terlibat dalam suatu perbincangan dengan orang baru, kemudian tibalah saatnya topik pembahasan tentang pendidikan. Pasti nantinya akan timbul pertanyaan, “Eh, kamu lulusan mana tho? Ambil jurusan apa?” Mau jawab bohong juga nambah-nambah dosa kan? Setelah menjawab jujur, pasti orang tersebut langsung kagum seketika berucap, “Wah, keren nih. Otaknya encer pasti pintar.”
Anggapan sarjana matematika pasti orangnya itu pintar sebenarnya segera dihapuskan saja dari benak masyarakat. Toh, kalau ditanya lebih jauh dan mendalam tentang perjalanannya sampai mendapat gelar, pasti orang-orang akan beranggapan bahwa orang itu bejo. Ya iyalah. Bejo kenal dosennya. Bejo teman-temannya tidak pelit. Bejo urusan administrasinya lancar.
#2 Mendapat pekerjaan yang tidak jauh dari angka
Sejak TK sampai kuliah selalu berdampingan dengan angka. Di dalam dunia kerja juga akhirnya mendapat bagian atau tugas dengan pengolahan angka. Ingin menolak tapi malu dengan gelar. Kadang kesal juga sih. Mungkin sebagian orang beranggapan kalau sarjana matematika ya pantasnya bekerja tidak jauh dari dunia angka. Tapi, dalam hati yang paling dalam pasti banyak di luar sana orang yang bergelar sarjana matematika ingin sekali keluar dari zona nyaman.
Lebih parahnya lagi, kalau atasan sudah percaya sepenuhnya dengan hasil pekerjaan kita yang katanya pintar dalam mengolah angka. Pasrah dan sabar adalah tindakan kita selanjutnya. Sembari belajar bersyukur bahwa kita sudah diberi amanah yang mulia dan juga berdoa semoga ada tantangan-tantangan baru selain angka yang bisa membuat kita lebih maju. Amin.
#3 Memperoleh predikat sebagai kalkulator berjalan
Nah, ini. Predikat aneh yang diemban oleh saya dan teman-teman sejawat. Tidak lain adalah menjadi kalkulator berjalan. Baik di dunia pekerjaan, di rumah, atau tempat nongkrong. Kalau mereka sudah tahu kita lulusan apa, hitung-hitungan langsung diserahkan kepada kita yang dianggap master of mathematics. Bangga juga sih kalau jawaban kita tepat. Itu artinya otak kita masih sejalan dengan jurusan. Beda lagi kalau jawaban kita salah. Alhasil cemooh dari orang-oranglah yang akan kita terima. Masa sarjana matematika tidak bisa hitung-hitungan? Masa ngitung begitu saja salah? Hadeh. Dikira IQ semua sarjana matematika setara Albert Einstein kali ya. Heran.
#4 Dianggap kuper alias kurang pergaulan
Ternyata perbedaan stigma mengambil jurusan IPA dengan yang jurusan IPS berlaku juga untuk mahasiswa dan lulusan S-1. Jurusan IPA yang dikenal anak baik-baik, pendiam, dan hobi belajar sangat identik dengan sarjana matematika. Tapi, sedihnya lagi kalau dianggap kuper alias kurang pergaulan mentang-mentang status “pintar” sudah dari awal disalahpahami. Padahal kenyataannya, kita ya main juga. Nge-game juga. Masa belajar trigonometri terus? Masa tiap hari mencari nilai x dan y? Sebagai seorang manusia yang sama dengan manusia lain, sebaiknya memperlakukan orang lain jangan hanya melihat dari gelar semata. Ingat ya, semua orang itu sama di mata Tuhan. Tergantung amal ibadahnya selama hidup. Nanti saat menimbang amal baik dan buruk juga nggak harus pakai satuan berat. Emangnya beli bawang di pasar?!
BACA JUGA Kalau Lagi Dibonceng Vespa, Sebaiknya Cewek Jangan Ngelakuin 5 Hal Ini dan tulisan Istiqomah lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.