Syahdan, sebelum corona melanda, Rabu jam sembilan pagi menjadi waktu yang kami sepakati untuk ngobrol bareng minum kopi di kantin pojok kampus. Gerombolan kami yang berisi bapak-bapak tidak jarang mengeluarkan jokes yang luar biasa membuat kami tertawa jegigisan. Namun, Rabu pagi kali ini berbeda dengan Rabu-rabu yang lain. Suasana terasa begitu horor. Ini berawal dari cerita Dedi, anggota sekaligus “komisioner” acara ngantin ini, tadi malam Dedi mengalami trauma psikologis yang cukup mengerikan, yaitu berantem dengan istri.
“Apes, apes, apes. Tadi malam saya bertengkar dengan istri, hanya gara-gara popok. Akhirnya saya terpaksa berangkat ke minimarket dengan berat hati. Mantra misuh-misuhku saya keluarkan semua. Setelah membeli, ternyata cerita belum selesai. Lhadalah, motorku nggak bisa nyala sama sekali. Jah!” Katanya sambil berapi-api.
“Terus, pulangmu gimana?” Tanyaku.
“Lha, sialnya lagi, hapeku juga ketinggalan. Asyem! Motorku aku titipkan, aku pulang pesan Gojek dengan pinjam hape pegawai minimarket, Cuk! Apa ini yang namanya istri tidak merestui, ya. Cen gawat tenan kalau begini,” simpulnya.
Saya godek-godek tidak percaya mendengarnya, padahal Dedi yang berada di depan saya ini mempunyai perawakan yang tinggi besar, dengan bulu badan yang membuat wibawanya bertambah ratusan persen. Melihatnya takluk di hadapan istri membuat kami semua tertawa.
“Lho masak? Nggak kamu aja, Je!” Nurdin, teman saya, sang maestro mancing tiba-tiba menambah perbendaharaan cerita ini. Nurdin mencoba duduk dengan tenang, dan menghisap rokoknya sebelum bercerita.
“Aku sekarang tidak akan berangkat mancing, kecuali istriku benar-benar mengizinkannya, bisa fatal akibatnya.”
“Sebulan yang lalu, aku berangkat mancing, saya lihat istriku hanya cemberut saja saat berangkat. Dasar aku yang sudah pengalaman bertahun-tahun mancing, pede saja tetap berangkat. Lhadalah, umpanku nggak ada yang nyenggol seharian penuh. Jah.”
“Padahal, biasanya saya selalu membawa banyak ikan. Kiloan, Je. Dasar apes, saya kapok sudah, saya milih nyerah saja sama istri,” Nurdin bercerita dengan mimik yang serius.
Rupanya ceritanya bersambut ke Ahmad seorang pejuang NIP yang terhitung sudah berkali-kali daftar setiap negara membuka pendaftaran. Sejauh yang saya tahu, teman saya satu ini sangat sayang kepada istrinya. Saya banyak membaca status-status medsosnya yang banyak menggugat ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam wacana dan kehidupan sosial.
“Sudah kuduga memang begitu, ini saya alami sendiri. Saat itu saya berangkat ke Tulungagung untuk tes CPNS, berangkat dari rumah sendiri dari Nganjuk, sedangkan istri di Madiun bersama orang tuanya. Nah, kesalahan saya sebenarnya sederhana sih, memakai motor orang tua saya tanpa izin istri. Izin istri lho ya, tau sendiri kan sensitifnya perempuan dalam hal ini,” mimik Ahmad begitu datar.
“Dalam perjalanan, ban belakang saya bocor. Dan, saat itu hari Minggu, tidak ada tukang tambal ban yang buka. Alhasil, saya menuntun motor berkilo-kilo meter sebelum akhirnya menemukan tukang tambal ban yang saya paksa buka. Saya kirim WA ke istri tentang apa yang saya alami. Tahu apa yang dia bilang?”
Kami diam saja Ahmad berkata demikian, menunggu dia menjawab sendiri pertanyaannya.
“Kapok! Aku nggak ikhlas, Mas. Begitu balas istriku. Asem tenan”
“Hahaha …” akhirnya tawa kami meledak juga.
Saya hanya terdiam, ingatanku menerawang sambil membenarkan. Saya sendiri punya kisah saat melamar pekerjaan di berbagai tempat beberapa tahun yang lalu, tak ada panggilan yang saya dapatkan. Jika ada panggilan pun, saya selalu berhadapan dengan kegagalan.
Belakangan, ketika saya diterima untuk menjadi pengajar di kota yang tak jauh dari rumah asal istri saya. Dia mengaku memang berdoa dengan rajin untuk diterima mengajar di kota dekat kelahirannya. Dan, saya pun diterima. Entah kenapa Tuhan lebih mendengar doa istri saya, daripada doa saya sendiri. Saya kepala keluarga lho.
Dalam beberapa literatur, saya sering menemukan berbagai nasihat yang sangat bersimpangan dengan cerita teman-teman saya di atas. Di antaranya nasihat untuk taat kepada suami, tidak boleh membantah perkataan suami, hingga ancaman-ancaman yang didapatkan oleh seorang istri manakala membangkang untuk taat kepada suaminya.
Bentuk ancamannya pun berbagai macam, mulai dari laknat dari para malaikat, jauh dari wangi surga, hingga ancaman siksaan neraka. Kesemuanya itu diberikan kepada para istri yang tidak patuh kepada istrinya.
Saya masih memikirkan mengapa justru kesialan yang didapatkan suami ketika istri tidak meridai. Apa mungkin surga tidak hanya di bawah telapak kaki ibu, melainkan ibu yang disebut di situ ialah ibu rumah tangga, termasuk istri kita?
Ah, sepulang dari sini, saya jadi ingin bertanya kepada istri saya tercinta, “Buk, kau berdoa apa untukku kali ini?”
BACA JUGA Seni Menghadapi Harta Dunia Melalui Peribahasa Madura Asel Ta’ Adina Asal dan artikel Terminal Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.