Membaca tulisan tentang kota Pati dan Grobogan di Terminal Mojok, timbul pertanyaan dalam pikiran saya, masalahnya emang di mana, sih? Emang dosa, ya, kalau nggak tahu Pati itu di Jawa Tengah atau di Jawa Timur? Terus apakah tatanan dunia bakal kacau juga kalau nyata-nyata lebih banyak yang mengenal Purwodadi ketimbang Grobogan yang merupakan kebupaten terluas di Jawa Tengah itu?
Menurut saya, setiap daerah—lebih-lebih kota kecil di mana pun—rata-rata juga mengalami kasus serupa, kok; kurang dikenal dan sering disalahterka letak persisnya di sebelah mana. Jadi, nggak cuma anak-anak Pati atau Grobogan saja yang sering dapet pertanyaan misalnya seperti, “Oh, Pati yang Jawa Timur itu tho, Mas?”, atau “Grobogan itu di Purwodadi itu kan, ya?”
Anak-anak dari kota mana pun di belahan bumi ini pasti ada yang mengalami kasus semacam itu. Jadi bisa dibilang kasus tersebut adalah kasus yang amat sangat klise dan nggak patut dibesar-besarkan. Kalau niatnya buat sekadar mengenalkan budaya dan lokalitas khas dari kota masing-masing, ya yang namanya perkenalan itu kan dimulai dari nggak tahu dan nggak kenal dulu, Boi. Maka ya jangan kesinggung dulu kalau misalnya ada orang yang bilang nggak tahu Pati itu di mana? Atau Grobogan itu beda atau sama dengan Purwodadi?
Ya sekarang gini aja, Lur, Indonesia ini luas banget. Kok bisa-bisanya kita nyuruh orang buat menghafal nama-nama dan letak kota sampai yang di pelosok-pelosok. Ha wong presiden saja belum tentu hafal, og. Eh.
Kerena begini, dengan kesinggung dan nggak terima kalau ada orang salah sebut tentang kota kita, itu kan sama artinya kita menuntut agar orang-orang tahu nama-nama dan letak kota di seluruh dunia. Iya, dong. Karena pas ternyata ada orang yang nggak tahu banyak atau bahkan nggak tahu sama sekali tentang kota asal kita, kita malah marah-marah dan nggak terima. Sampai mau napuk cangkeme orang itu segala.
Sementara, kita sendiri belum tentu loh, tahu banyak tentang kota-kota di belahan bumi pertiwi ini. Hari-hari ini mungkin kita yang nggak terima. Tapi lain waktu, bisa jadi lawan bicara kita yang geram setengah modyar karena kita nol pengetahuan perihal kota asal lawan bicara tersebut. Dan saya termasuk orang yang sering membuat jengkel orang-orang baru yang pernah saya temui lantaran sering salah tebak letak geografis kota mereka.
Kemudian, dalam kasus kota-kota kecil, salah satu alasan kenapa sebuah kota dikenal oleh khalayak itu biasanya kalau kota tersebut punya rekam jejak historis dan ada locality culture yang khas dalam lingkup nasional. Contoh, kota Pekalongan gampang dikenal karena punya komoditas batik. Kota Ponorogo mudah diingat karena ada reog. Begitu juga dengan kota-kota yang sejalur dengan Pati dan Grobogan.
Misalnya, orang pasti akan lebih gampang mengetahui kota Kudus dan Demak karena keduanya mempunyai rekam jejak historis islamisasi di tanah Jawa. Di Kudus ada makam Sunan Kudus dan Masjid Menara Kudus. Di Demak ada masjid pertama di Jawa, makam raja Islam pertama di Jawa; Raden Patah, dan ada makam pendakwah sekaligus begawan kesenian; Sunan Kalijaga. Secara, selain karena tertulis dalam catatan sejarah, dua kota tersebut kan juga sering didatangi para peziarah dari berbagai penjuru wilayah. Dan itu memungkinkan kota-kota tersebut jadi lebih gampang dikenal. Tentunya masih banyak contoh lain yang bisa Anda gali sendiri.
Ngomong-ngomong soal nggak terima kalau ada yang nggak kenal dengan kota asal, harusnya masyarakat dari kota-kota yang saya contohkan tersebutlah yang cukup pantas buat ke-trigger. Sebab, kota mereka punya komponen pendukung keterkenalan yang sifatnya sudah sangat masif. Lah adapun soal Pati atau Grobogan, ya maaf-maaf aja, nih. Karena aspek pendukung, baik locality culture maupun rekam jejak historisnya, bisa dibilang masih belum begitu kuat. Jadi sangat bisa dimaklumi jika ternyata masih banyak yang belum tahu.
Dan sekali lagi, kalau ngomong soal terima nggak terima, dibanding dengan cah Pati dan Grobogan, harusnya saya malah lebih nggak terima lagi kalau ada yang nggak tahu letak persis kota asal saya. Dan ini menurut saya sudah di level sangat kebangetan. Karena secara historis, Pati dan Grobogan masih kalah pemasaran ketimbang kota tetangga terdekatnya yang sekaligus merupakan kota asal saya dilahirkan; Rembang.
Saya juga sering mengalami, setiap ditanya asal mana dan saya jawab “Rembang”, rata-rata jawaban yang saya peroleh pasti, “Oh, Jepara itu, tho?” Ada juga yang lebih nyelekit seperti, “Rembang? Mana tuh, Mas?”
Menurut saya, ini malah amat sangat kebangetan. Oke, nggak usah saya paparkan detail aspek historisitas atau lokalitas khas Rembang. Cukup yang umum saja, soal R.A. Kartini.
Duh, padahal sudah sejak SD kita dijejali pengetahuan umum bahwa R.A Kartini, gadis revolusioner asal Jepara itu dinikahkan dengan Bupati Rembang; Raden Adipati Djojoadhiningrat dan menghabiskan masa-masa terakhir hidupnya di kota tersebut. Bahkan, beliau dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang. Saya yakin, pasti masih banyak yang belum tahu soal keberadaan makam R.A. Kartini ini. Kendati hari lahirnya selalu diperingati setahun sekali.
Untuk orang-orang yang mengira bahwa Rembang itu bagian dari Jepara, saya bisa sedikit maklum. Karena mungkin memori mereka refleks mengingat sosok R.A Kartini yang emang kelahiran Jepara yang kemudian diboyong oleh sumainya ke Rembang. Barangkali mereka mengira kalau Rembang ini sebenernya masih masuk wilayah Jepara. Ah, nggak apa-apa lah, kesalahannya tipis saja, kok. Paling nggak kan sudah ada gambaran bahwa Rembang adalah kota bersejarah yang patut diingat.
Nah, saya kadang jengkel sama jenis orang kedua, yang nggak tahu sama sekali Rembang itu di mana. Orang-orang macam ini nasionalismenya emang patut dipertanyakan. Sok-sok ikut euforia Hari Kartini, tapi nggak tahu sedikit pun soal Rembang. Dih, kibingitin sikili Indi ini!
Balik lagi. Jadi kesimpulannya, buat mas dan mbak (penulis Terminal) asal Pati dan Grobogan dan untuk temen-temen dari kota mana pun, kalau emang kota kalian nggak cukup dikenal publik, terima saja. Karena emang begitu lah adanya; kota kalian belum cukup kuat dalam aspek rekam jejak historis dan locality culture-nya.
Hla wong Rembang yang jelas-jelas punya ikon R.A. Kartini—belum kalau dibedah dari aspek yang lebih luas. Mulai dari sejarah dan peninggalan era Majapahit, era Kesultanan Demak, juga kebudayaan warisan leluhur yang masih eksis sampai hari ini—saja masih banyak yang salah tebak bahkan nggak tahu sama sekali, og.
Solusinya—buat mas dan mbak (penulis Terminal) asal Pati dan Grobogan dan siapapun—tiap ada yang nanya asal kalian mana, ya jawab saja dengan komplit. Misalnya, “Saya asalnya Pati/Grobogan, Jawa Tengah. Deketnya Kudus dan Rembang.” Saya juga sering kok pakai cara ini. Biasanya saya akan jawab, “Saya aslinya Rembang, Jawa Tengah. Deketnya Jepara/Tuban/Blora” tiap ada yang nanya saya asal mana. Jangan dijawab setengah-setengah kalau nggak mau kesinggung. Sakit hati kok dicari.
BACA JUGA Perkenalkan Grobogan, Daerah Pinggir Pantura yang Orangnya Nyah-nyoh Pol dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.