Rasanya saya pernah berujar di rubrik Konter Mojok bahwa terus terang saya bangga dengan kebandelan ponsel Oppo. Harganya juga worth it khususnya untuk kelas flagship, tetapi jangan kaget jika terasa sangat mahal untuk kelas midranger dan juga low-end. Sebut saja Oppo A1k dengan spesifikasi setara Redmi 7A, Oppo A7 yang merupakan Realme C2 dengan memori lebih besar dan permakan bodi, atau Oppo A9 2020 yang diluncurkan dengan superpede di harga Rp4 juta dan prosesor setara Realme 5i. Apalagi mengharapkan fitur fast charging dengan harga di bawah Rp3 juta, bak mimpi di siang bolong.
Sebuah kejutan bagi saya ketika Oppo meluncurkan Oppo A53 dengan harga Rp2,5 juta. Seperti biasa, saya berpikir bahwa ponsel ini akan mengecewakan karena terlalu besar ekspektasi pada dirinya. Akan tetapi, sedikit banyak perasaan itu berubah ketika menengok spesifikasinya.
Selamat tinggal MediaTek Helio uzur!
Oppo terkenal sebagai pecinta MediaTek Helio dan pesaing terdekat si A53 ini menurut harganya adalah Oppo A12 (4 GB/64 GB) seharga Rp2,1 juta atau Oppo A31 (4 GB/128 GB) seharga Rp2,6 juta. Keduanya mengandalkan MediaTek Helio P35, chipset uzur yang sudah ada sejak zaman Mi Play di akhir 2018 dan performanya bahkan kalah dari Snapdragon 439 di Redmi 8A atau Helio G25 di Redmi 9A. Sedangkan A53 adalah pengguna pertama Snapdragon 460 di dunia.
Ya, bedanya apa? Seri Snapdragon 4xx bukankah untuk kelas bawah juga? Jangan salah, sesungguhnya dia hanyalah Snapdragon 665 dengan clock speed yang sedikit lebih rendah. Ditambah fabrikasinya juga sudah 11 nm, Snapdragon 636 mampu ditekuk dengan mudah. Multitasking standar harian seperti membaca dokumen, browsing, mengakses media sosial, dan gaming sekelas PUBG atau Mobile Legends seharusnya tidak ada masalah.
Memori tidak lagi pas-pasan
RAM 4 GB itu tergolong lebih dari cukup untuk saat ini ketika standar pas-pasan bagi saya adalah 3 GB. ROM 64 GB juga sudah sangat lebih dari cukup dengan standar pas-pasan saya di 32 GB, belum lagi memorinya sudah menggunakan UFS 2.1 sehingga sampai jumpa lemot ketika mencari dokumen di file manager. Percuma kan kita memiliki memori 128 GB kalau masih mengandalkan eMMC?
Desain kekinian?
Oppo Reno 4 datang di harga Rp5 juta dengan mengusung bodi belakang mirip Galaxy Note 20. Layarnya pun sama-sama menggunakan punch hole, tetapi terletak di pojok kiri atas alih-alih di tengah. Sekarang, Oppo A53 juga datang dengan desain serupa hanya seharga Rp2,5 juta. Mantap bagi kalian yang suka bergaya.
Permasalahannya, sidik jari malah diletakkan di bodi belakang. Memang sih ini lebih menyenangkan bagi saya karena aksesibilitas, tetapi kaum kekinian menganggapnya jadul. Layarnya memang IPS LCD sehingga tidak memungkinkan under-display fingerprint, tetapi setidaknya bisa ditaruh di samping (misalnya bersama tombol power) kan?
Selfie, selfie, selfie!
Masih ingat zaman ketika Oppo memiliki jargon “selfie expert”? Jargon itu sepertinya masih tepat untuk ponsel ini. Kamera selfie-nya beresolusi 16 MP dengan ukuran piksel 1 mikrometer, sedangkan lensa utama kamera belakang “hanya” beresolusi 13 MP dengan ukuran piksel 1,12 mikrometer. Secara matematis, keduanya memiliki performa yang kurang lebih sama. Kemampuan rekam videonya juga sama, 1080 p di 30 fps. Bagi saya, ponsel yang baik lebih mengedepankan kamera belakang dibandingkan terhadap depan kan?
Seperti keluhan saya di banyak ponsel lainnya, dua lensa lain yang menemani lensa utama di kamera belakang adalah macro sensor beresolusi 2 MP dan depth sensor beresolusi 2 MP. Rasanya sudah bosan saya suarakan bahwa kita lebih butuh satu lensa telephoto atau ultrawide dibandingkan dua lensa yang kurang terasa manfaatnya.
Layar tanggung!
Tadi sudah sempat saya singgung bahwa teknologi layar di Oppo A53 ini masih mengandalkan IPS LCD. Akan tetapi, refresh rate-nya sudah 90 Hz alias tampak menjanjikan bagi para pecinta gaming dengan high frame rate. Akan tetapi, semenjanjikan itukah?
GPU yang setara hanya dengan milik Snapdragon 665 membuat saya ragu jika kelak kalian ingin memainkan PUBG di mode 90 Hz. Bagaimana tidak, pengujian Gamebench di versi Tiongkok-nya (yang bernama Game of Peach) menunjukkan bahwa Huawei P40 Pro dan Nubia Red Magic 5G yang duduk di kelas flagship saja masih bisa turun ke 80-an FPS. Apakah kita bisa berekspektasi tinggi untuk Oppo A53?
Saran saya, lebih baik tetap dengan layar 60 Hz tetapi tingkatkan perlindungannya deh, Oppo. A53 masih menggunakan Gorilla Glass 3 sekelas Redmi 9, alias hanya melindungi dari goresan dan tekanan. Masak kalah dari Redmi 8A dengan Gorilla Glass 5 yang juga memberikan perlindungan terhadap kejatuhan dengan maksimal ketinggian satu meter?
Pengecasan cepat, baterai besar, lah bukan VOOC?
Oppo A53 mengikuti budaya baterai besar ponsel masa kini, tepatnya dengan kapasitas 5.000 mAh. Pengecasan cepat pun didukungnya dengan daya 18 W. Permasalahannya, ini lebih disebut sebagai fast charge dan sama sekali tidak istimewa dibandingkan terhadap ponsel sekelas Redmi 8A.
Saya curiga bahwa ini lebih mengandalkan teknologi Qualcomm Quick Charge, terlebih arus dan tegangannya sesuai, 9V/2A. Jika iya, ini memang baik untuk dukungan fast charging dengan adaptor dan kabel aftermarket. Permasalahannya, perlu dicatat bahwa mereka yang memilih produk Oppo umumnya tidak masalah harus menggunakan charger khusus asalkan mendukung VOOC.
VOOC yang paling standar memang tidak menawarkan selisih daya yang signifikan. Akan tetapi, teknologi ini diklaim lebih dingin dan lebih aman karena menggunakan voltase yang lebih kecil. VOOC 3.0 misalnya menggunakan konfigurasi 5V/4A alias berdaya 20W. Akan lebih menyenangkan lagi jika A53 bisa mengusung teknologi VOOC 4.0 berdaya 30W seperti milik Realme 6. Ya kan?
Skip lagi
Ponsel ini memang sudah cukup baik di harga Rp2,5 juta. Akan tetapi, sangat sayang bagi saya jika kita bisa memeroleh ponsel yang jauh lebih baik dengan menambah sedikit dana.
Pilihan saya adalah Realme 6 yang bisa diperoleh mulai dari Rp2,8 jutaan. Setelah dilakukan pixel binning, resolusi foto yang dihasilkan kamera belakangnya sudah 16 MP dengan ukuran piksel yang lebih besar sehingga secara teoretis bisa menghasilkan tingkat kedetailan 2,5 kali lipat dari Oppo A52, masih bonus lensa ultrawide beresolusi 8MP pula.
Prosesornya juga lebih canggih, yaitu MediaTek Helio, tapi seri G90T. ROM lebih besar yaitu 128 GB dan sama-sama menggunakan cip UFS 2.1. Layar? Tetap 90 Hz dong. Yang paling penting, ponsel ini sudah mengusung standar VOOC 4.0 meskipun kapasitas baterai harus terkoreksi ke 4.300 mAh. Jadi rasa sebagai anggota keluarga Oppo-nya lebih terasa.
BACA JUGA Redmi 9A vs Realme C12: Balapan Ponsel Murah nan Tanggung dan tulisan Christian Evan Chandra lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.