Di tengah area persawahan dekat Bandara Adisutjipto Jogja, terdapat sebuah masjid milik Kraton Jogja. Namun, masjid tersebut tidak hanya berperan sebagai tempat ibadah. Di dalam kompleks masjid tersebut, terdapat sebuah makam. Makam yang sangat dikeramatkan masyarakat sekitar dan para pilot.
Keramatnya makam ini bukan main-main. Konon, apapun yang melintas di atas makam tersebut akan takluk dan menghujam bumi. Dari sekedar burung, kelelawar, sampai pesawat. Meskipun dekat dengan bandara dan pangkalan militer, tidak ada satupun pesawat yang berani melintas di atas makam tersebut. Lalu, siapakah yang bersemayam di makam tersebut?
Makam tersebut adalah makam Pangeran Purbaya. Blio adalah anak pertama yang tidak diakui oleh Panembahan Senopati. Dan setiap artikel tentang Panembahan Senopati, saya selalu menulis tentang kisah berdarah blio. Kali ini, kisah yang terjadi tidak hanya berdarah, namun juga penuh haru dan laku prihatin. Laku prihatin seorang ibu demi kemuliaan putra tunggalnya.
Dan kisah ini lagi-lagi ditemukan dalam Babad Tanah Jawi. Namun, sumber kisah kali ini juga berasal dari cerita yang berkembang di masyarakat Jogja. Seperti biasa, kisah-kisah Kerajaan Mataram selalu simpang siur. Tidak terkecuali kisah Pangeran Purbaya.
Sebelum bicara tentang Pangeran Purbaya, mari kita mengenang sumber dari perjalanan Kasultanan Mataram. Kisah tentang dua orang sahabat, Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan, Ki Ageng Giring mendapat wahyu berupa degan atau kelapa muda. Barang siapa meminum air kelapa muda tersebut, maka dia akan menurunkan raja-raja Jawa.
Sayangnya, Ki Ageng Pemanahan sedang haus saat melihat kelapa muda tersebut. Tanpa mengetahui wahyu dari kelapa muda tersebut, Pemanahan meminum habis air kelapa untuk melepas dahaga. Singkat cerita, Ki Ageng Giring mengetahui kejadian yang awkward tersebut, dan mengisahkan perihal wahyu tadi.
Maka, Pemanahan mencari jalan tengah. Blio menawarkan sang putra, Danang Sutawijaya, untuk dinikahkan dengan putri Giring, Rara Lembayung. Pernikahan ini akan mengikat persahabatan keduanya, sekaligus membangun kekuatan politik. Namun, apakah para mempelai menerima pernikahan ini?
Perjodohan ini tidak menyenangkan hati Danang Sutawijaya. Dalam Babad Tanah Jawi, Sutawijaya memandang istri barunya buruk rupa. Sedangkan menurut kisah lain, Sutawijaya malu memiliki istri yang lebih tua. Yang pasti, Sutawijaya memilih untuk meninggalkan sang istri yang sedang mengandung.
Anak pasangan yang tidak harmonis ini diberi nama Jaka Umbaran. Umbaran memiliki arti terlantar. Nama ini menunjukkan bahwa anak tersebut diterlantarkan oleh sang bapak yang entah pergi kemana. Jaka Umbaran menjalani kehidupan masa kecil hingga remaja bersama Rara Lembayung yang kini bergelar Kanjeng Ratu Giring.
Sang bapak ternyata sibuk menggenggam cita-cita menjadi raja Jawa. Dari menumpas Arya Penangsang, sampai mengalahkan bapak angkatnya. Kini, Danang Sutawijaya telah bertakhta sebagai raja Mataram. Gelar blio adalah Panembahan Senopati. Blio juga menikah kembali dengan 3 istri dan memiliki 14 anak. Pada masa ini, Jaka Umbaran tidak pernah disebut namanya.
Jaka Umbaran yang beranjak dewasa mulai mempertanyakan siapa bapak kandungnya. Ada dua versi mengenai peristiwa ini. Yang pertama, Kanjeng Ratu Giring tak sampai hati pada sang putra dan memberi tahu siapa bapak kandungnya. Versi lain menyatakan, Kanjeng Ratu Giring memberi teka-teki “ayahmu adalah pemilik alun-alun di sebuah kerajaan.”
Setelah perjalanan panjang, sampailah Jaka Umbaran ke Kraton Kotagede. Dengan sedikit usaha (membuat onar sampai ditangkap prajurit kraton), Jaka Umbaran dapat bertemu dengan Panembahan Senopati. Namun, untuk diakui sebagai anak, Panembahan Senopati mengajukan teka-teki lain. Sepertinya, leluhur kita memang enggan bicara langsung apa adanya.
“Aku memiliki sebuah keris, tapi telanjang tanpa warangka (sarung keris). Tanyakan pada ibumu, di manakah warangka keris ini berada!”. Teka-teki ini memaksa Jaka Umbaran untuk kembali ke kediaman ibunya. Sayang sekali, perjalanan panjang waktu itu tidak terbantu dengan adanya KRL atau bus Patas.
Setibanya di kediaman sang ibu, Jaka Umbaran menceritakan perjalanan hingga sampai ke pusat kerajaan Mataram. Blio juga menyampaikan teka-teki dari sang ayah. Sang ibu ternyata mengetahui jawaban pertanyaan tersebut. Jawabannya adalah menutup rasa malu Panembahan Senopati pada Kanjeng Ratu Giring yang tidak layak menjadi istri seorang raja. Kanjeng Ratu Giring berucap “Kanggo kamulyanmu, le” (demi kemuliaanmu, nak).
Kanjeng Ratu Giring merangsek maju ke arah sang putra. Keris yang masih terhunus itu tepat menghadap dadanya. Dengan sekali dorongan tubuh, keris tersebut menusuk dada sang istri pertama Panembahan Senopati. Ternyata, jawaban teka-teki itu adalah: Kanjeng Ratu Giring harus menjadi sarung keris tersebut. Kematian Kanjeng Ratu Giring adalah yang diminta Panembahan Senopati.
Jaka Umbaran kembali kepada sang ayah. Blio sampaikan tragedi yang harus terjadi demi pengakuan sebagai anak kandung Panembahan Senopati. Karena teka-teki telah terjawab, maka Jaka Umbaran diakui sebagai anak dengan gelar Pangeran Purbaya. Menurut Babad Tanah Jawi, kesaktian Pangeran Purbaya sejajar dengan Raden Rangga, salah satu putra Panembahan Senopati yang mati muda.
Meskipun Pangeran Purbaya adalah anak tertua, namun tidak mendapat posisi putra mahkota. Versi pertama, status keturunan dari Pangeran Purbaya menyebabkan Panembahan Senopati kurang berkenan. Versi kedua, Pangeran Purbaya menolak posisi tersebut karena sakit hati kepada sang ayah. Posisi putra mahkota jatuh kepada Raden Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati.
Meskipun tidak menjadi seorang raja, Pangeran Purbaya tetap terlibat dalam pemerintahan Mataram. Dalam pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, blio menjadi pelindung takhta Mataram saat Sultan Agung melakukan penyerangan ke Jayakarta. Pangeran Purbaya juga hampir terbunuh di tangan Amangkurat I, sang mad king dari Mataram.
Pangeran Purbaya gugur pada Oktober 1676 saat ikut menghadapi pemberontakan Trunajaya. Blio gugur dikeroyok kombinasi pasukan Makassar dan Madura pada usia senjanya. Jenazah blio dimakamkan di komplek makam keluarga raja di Wotgaleh, kini di daerah Berbah Sleman. Menyisakan kedigdayaan serta kisah pilu seorang anak yang tak dianggap.
BACA JUGA Harus Gimana Lagi sama Orang yang Percaya Konspirasi Wahyudi Covid-19?! dan tulisan Dimas Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.