Beberapa hari jelang Idul Adha, saya sowan ke kediaman seorang juru kunci situs-situs peninggalan Sunan Bonang. Tepatnya di Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Pertama, saya berniat menanyakan perihal pelaksanaan penjamasan (pemandian) Bende Becak yang tiap tahunnya rutin digelar pas momen Idul Adha.
Tapi tahun ini, karena kepentok pandemi, saya mencoba mengonfirmasi apakah tradisi tersebut bakal tetep digelar. Oh ya, beberapa kalian pasti ada yang belum pernah denger apa itu penjamasan Bende Becak. Lain waktu coba saya tuliskan sejian khusus yang membahas tentang tradisi masyarakat Bonang, Lasem, terebut.
Untuk kesempatan kali ini, saya mau bicara soal perdebatan tentang makam Sunan Bonang yang berjumlah lebih dari satu dan tersebar di beberapa daerah. Itulah alasaan kedua saya berniat sowan ke kediaman juru kunci. Mencoba menggali data-data pendukung tentang Sunan Bonang dan tradisi-tradisi peninggalannya di dataran Lasem untuk merampungkan penelitian saya (kalau boleh saya sebut begitu).
Sayangnya, sore itu juru kunci masih belum berkenan ditemui kerena beberapa hal yang sifatnya privat. Sebagai gantinya, beliau meminta abdi dalemnya—namanya Kang Lukman—untuk menemani saya diskusi tipis-tipis.
“Asal saya tahu, pasti saya jawab, Mas.” Sambut Kang Lukman hangat. “Sebab ya data saya ini minim. Lebih banyak dari cerita tutur simbah-simbah daripada buku-buku penelitian akademik.”
Bentar, sebelum masuk ke pokok diskusi kami, saya mau nulis curhatan dari Kang Lukman dulu, ya, mohon izin. Soalnya ini penting saya utarakan. Jadi, Kang Lukman itu sebenernya nggak berlatar belakang akademisi. Dia hanya warga biasa. Tapi karena sering diminta juru kunci untuk menemani tamu, dia punya kesadaran kalau harus belajar.
“Ya biar saya juga tahu sejarah versi akademiknya gitu, Mas. Jadi kalau diajak diskusi nyambung,” begitu alasannya. “Ada sih, Mas, sejarawan di sini. Punya banyak literatur tentang Sunan Bonang, Tapi ya gitu, saya nggak dibolehin pinjem buku-bukunya. Fotokopi aja nggak dibolehin og.”
Temen-temen, kalau sudah jadi akademisi atau peneliti profesional, jangan gitu, ya. Hla kalau riset aja butuh sumber warga lokal kayak Kang Lukman ini, kok, giliran pas warga tersebut mau belajar dari kalian malah diacuhkan. Catat itu.
Oke, sekarang kita masuk ke pertanyaan besarnya, “Sebenernya di mana tho, makam Sunan Bonang yang asli?”
Kalau kalian pernah baca buku-buku tentang kisah Wali Songo disebutkan bahwa ketika Sunan Bonang wafat, beliau diisukan dimakamkan di Tuban, Jawa Timur karena beliau wafat di sana dalam perjalanan dakwah. Kemudian, jasadnya dipindah para santrinya ke Pulau Bawean.
Versi lain menyebut sebaliknya. Masih simpang siur, tho. Tapi nama Bonang, Lasem, nggak pernah disebut ke daftar perdebatan tersebut. Padahal di Bonang, Lasem, juga terdapat makam dan peninggalan beliau. Bahkan lebih banyak dari yang bisa ditemukan di Tuban dan Bawean.
Kang Lukman bertutur, bahwa yang asli adalah di Bonang, Lasem. Dengan beberapa argumen yang saya sederhanakan sebagai berikut:
Pertama, dalam tradisi orang-orang zaman dulu—dengan logika sederhana—seseorang itu dikebumikan di daerah terkahir tempat dia berkiprah. Dalam konteksi ini, berarti yang paling autentik adalah Bonang, Lasem. Nama Sunan Bonang sendiri kan emang diambil dari nama daerah dakwah beliau, yakni di Bonang, Lasem, itu. Sebab kalau mau dikebumikan di tempat asalanya, harusnya Sunan Bonang dimakamkan di Surabaya, karena beliau lahir di sana.
Tapi memulangkan jenazah ke tempat asal yang notebane sangat jauh—karena dulu kalau nggak menempuh jalur laut ya jalur darat pakai kuda—dan itu membutuhkan waktu berhari-hari. Sementara para santri beliau pasti paham, bahwa dalam Islam, menguburkan jenazah itu harus disegerakan. Atau kalau pakai logika goblok-goblokan, menempuh perjalanan sejauh itu malah keburu jasadnya membusuk. Terlepas keramat beliau sebagai wali, ya.
Asumsi ini diperkuat dengan fakta-fakta serupa yang terjadi di kalangan Wali Songo. Misalnya saja, Sunan Kudus yang asli Timur Tengah itu dimakamkan di Kudus, Jawa Tengah sebagai basis dakwahnya. Sunan Ampel yang dimakamkan di Ampel, Surabaya, sebagai tempat beliau bermukim, alih-alih dipulangkan ke tempat asalnya; Campa. Sunan Gresik yang dimakamkan di Gresik, Jawa Timur, dan seterusnya.
Kedua, menguatkan argumen pertama; bahwa Bonang, Lasem, adalah basis terakhir dakwah Sunan Bonang. Hal ini terbukti dengan adanya jejak bangunan yang disinyalir adalah pesantren Sunan Bonang. Nggak jauh dari area bekas pesantren, terdapat juga masjid Maulana Makdum Ibrahim yang konon dibangun oleh Sunan Bonang. Ini menunjukkan bahwa setelah tiba di Bonang, Lasem, Sunan Bonang menggunakan sistem dakwah terpusat dengan membina sebuah pesantren. Bukan dengan cara berkelana dari satu tempat ke tempat lain.
Dikuatkan juga dengan fakta bahwa Sunan Bonang akhirnya melabuhkan pilihan ke Lasem itu bukan atas pilihannya sendiri. Tapi diminta oleh karibnya selama mengaji di Sunan Ampel yang kemudian juga jadi kakak iparnya. Yaitu Raden Adipati Wiranegara yang menikahi kakak perempuan Sunan Bonang, bernama Nyi Ageng Malokah. Makam Nyi Ageng Malokah terletak di Desa Caruban, Lasem. Sementara Makam Adipati Wiranegara berada di Desa Sriombo, Lasem.
Belum lagi peninggalan-peninggalan arkeologis Sunan Bonang di wilayah Lasem. Termasuk salah satunya adalah Bende Becak yang saya singgung di atas. Bende Becak ini adalah gong kecil yang berdasarkan cerita tutur yang diperoleh Kang Lukman, dulunya digunakan Sunan Bonang untuk menandai waktu ngaji, jamaah, atau untuk membangunkan para santri dari tidurnya.
Juga tradisi-tradisi khas Sunan Bonang. Satu saja contohnya adalah tradisi ngliweti pari yang dalam struktrur doanya—pernah saya analisis. Kapan-kapan saya tulis sajian khususnya juga deh insyaallah—mengandung unsur-unsur sastra profetik khas Sunan Bonang. Kita tahu bahwa kekuatan dakwah Sunan Bonang itu ada di sastra dan kesenian. Salah satu karya sastranya yang monumental; tembang “Tombo Ati”.
Lalu bagaimana dengan makam di Tuban dan di Bawean? Santri-santri beliau di pesantren Bonang, Lasem, yang berasal dari dua daerah tersebut hanya diperkenankan membawa tanah makam Sunan Bonang—ada yang menyebut potongan kain kafan—yang kemudian dibuat seolah-olah jadi makam dengan niat ngalap berkah Sunan Bonang untuk daerah mereka.
Sumber gambar: Wikimedia Commons.
BACA JUGA Tak Bolehkah Saya Ikut Kurban Meski Hanya Mampu Kurban Ayam, Gus? dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.