Semenjak adanya imbauan pemerintah agar menghabiskan waktu di rumah, saya memiliki kebiasaan baru membantu ibu berkebun. Biasanya, saya hanya mengangkut air atau sekadar menggemburkan tanah dengan cangkul, dan membuat pematang yang nantinya akan ditanami beragam jenis tumbuhan di atasnya. Memang untuk kegiatan yang terakhir ini memiliki nilai estetik tersendiri, karena pematang yang lurus akan membuat tanaman yang tumbuh, akan terlihat lebih rapi.
Kegemaran ibu bercocok tanam, mulai tumbuh sejak remaja. Hidup dari keluarga petani, membuat ia terbiasa dengan aktivitas di sawah. ibu pernah bercerita, dulu sehabis pulang dari SMA, ia dan adik perempuannya langsung melibatkan diri dengan hiruk pikuk persawahan untuk membantu kedua orang tuanya.
Hingga sampai saat ini, kegemaran ibu masih berlanjut. Apalagi ayah, yang juga punya kebiasaan serupa, membuat ia tetap menggeluti aktivitas tersebut. Walaupun keduanya sudah mempunyai penghasilan mapan dari perkejaannya sebagai pegawai negeri sipil.
Kebiasaan bertani ayah dan ibu kemudian mau nggak mau memaksa saya dan kedua saudara saya ikut terjun dalam dunia pertanian. Karena ibu tergolong jenis perempuan yang nyinyir dan ganasnya minta ampun, kata penolakan saat ada ajakan bertani dari ibu, membuat saya menjadi objek omelannya sepanjang hari.
Lantaran nggak tahan dengan omelan yang biasanya disertai ancaman pemotongan uang jajan, panggilan bertani itu pun, terpaksa saya lakoni sejak duduk di bangku SMA hingga menginjak perkuliahan. Dari rentetan pengalaman itu, saya memahami bagaimana proses panjang pengolahan, dari benih padi hingga menjadi nasi yang siap santap. Meskipun, awal terjun ke dalam dunia pertanian, sungguh merupakan rentetan proses yang sangat menyiksa bagi saya.
Coba Anda bayangkan ketika musim tanam tiba. Di bawah terik matahari yang begitu murka, saya harus bergumul dengan lumpur untuk mencabut satu persatu bibit padi yang sudah disemai. Biasanya dengan memanfaatkan tenaga lima orang, dibutuhkan waktu sehari untuk ukuran lahan dengan panjang lebar lima rentangan tangan orang dewasa.
Syahdan, yang membuatnya sulit karena saat dicabut, bibit padi harus diperlakukan lembut, agar bibit nggak terpisah dari akarnya. Proses selanjutnya, lumpur yang menempel pada akar pun harus dibersihkan, sehingga mempermudah mobilitas saat bibit dipindahkan ke lahan yang lebih luas, begitupun saat proses penanaman. Biasanya setelah tuntas, tubuh saya sudah dipenuhi lumpur, dan seperangkat bentol-bentol merah di kulit kaki.
Di situ rentetan penderita saya belum berakhir. Penderitaan itu berlanjut saat proses panen tiba, saya kembali harus memasrahkan diri terpanggang di bawah sinar matahari yang lagi-lagi senantiasa murka. Meskipun telah menggunakan pelindung kepala, tapi hawa panas begitu menyengat, merosotkan nilai fungsional dari pelindung yang saya kenakan.
Proses panen pun tergolong lama, meskipun kami sudah dibantu lima sampai enam buruh tani, untuk sawah yang berukuran tujuh puluh enam hektar biasanya harus dikerjakan dalam waktu tiga hari,. Dimulai dari memotong batang padi, memisahkan batang dengan bulir padi, membersihkan bulir, dan memasukkan ke dalam karung. Proses itu pun saya lalui dengan rasa tersiksa,.
Namun, dibandingkan dengan saya, orang tua saya nggak pernah terlihat mengeluh, bahkan bersemangat betul. “Saya kan robot!” Celetukan yang selalu ibu lontarkan pada saya, ketika sedang mengeluh. Biasanya dibarengi narasi indah, jika untuk makan sehari-hari, kami nggak perlu mengeluarkan duit buat beli beras. “Betul juga, sih,” batin saya.
Tapi, tiga tahun belakangan ini, karena usia yang sudah semakin tua dan saya pun mulai sibuk berkerja, orang tua saya memutuskan memberikan sawahnya pada orang lain untuk dikelola. Meskipun demikian, semangat bertani ibu tetap militan. Ia kemudian mengaktualisasikan semangat itu lewat berkebun. Dengan memanfaatkan sepetak kecil lahan di belakang rumah dan mulai menanam beragam jenis sayuran serta umbi-umbian.
Nggak hanya di belakang rumah. Ibu juga memanfaatkan pekarangan kecil di halaman depan. Bahkan jika lahan sudah nggak bisa diajak kompromi, ibu memanfaatkan pot atau bekas kaleng susu untuk ditanami beragam jenis tanaman.
Memang, jika dibandingkan bertani, berkebun terkesan lebih gampang, karena nggak perlu lahan luas untuk bisa memulainya. Pot atau kaleng bekas pun jadi, apalagi perawatannya yang sangat sederhana. Cukup diberi air, serta pupuk seperlunya.
Dari hasil pengamatan selama membantu ibu, saya melihat ia sepertinya paham betul cara merawat tanaman. Seolah punya chemistry dengan tanaman. Ibu tahu kapan bibit boleh dipindahkan, kapan harus diberi pupuk, jumlah airnya seberapa banyak, dan tanah apa yang baik digunakan.
Rentetan kesibukan itu mengisi waktunya selama menjalani masa karantina di rumah. Sehingga, ibu seakan bisa melewatinya dengan asyik masyuk tanpa pernah mengeluh diganggu oleh perasaan jenuh. Ibu juga nggak perlu repot ke pasar untuk bisa menikmati beragam jenis sayuran. Apalagi sudah jelas kan, imbauan pemerintah untuk sementara waktu menghindari kerumunan.
Hal serupa juga saya alami. Mengikuti jejak keseharian ibu berkebun, menerbitkan kesenangan tersendiri saat melihat tanaman yang ia rawat bisa tumbuh dengan sehat. Apalagi jika ditambah dengan suasana pagi yang cerah, serta semburat mentari yang memeluk tumbuh saat berkebun, tentu memberi kenikmatan yang paripurna.
Memang harus diakui aktivitas berkebun memiliki banyak segudang manfaat bagi kesehatan mental, seperti meningkatkan kebahagiaan, kepuasan, dan mengusir rasa kesepian. Kesimpulan ini diperoleh dari hasil penelitian Agnes Evan den Berg dalam sebuah studi yang berjudul, “Allotment Gardening and Healt: A Comparative Survey Among Allotment Gardeners and Their Neighbors Without an Allotment”.
Sampai di sini saya sadar, jika berkebun merupakan kegiatan yang mengasyikkan. Apalagi di tengah pandemi sekarang ini, bisa menjadi salah satu kegiatan yang paling cocok untuk menghilangkan rasa jenuh selama berada di rumah.
BACA JUGA Menciptakan Ketahanan Pangan dari Rumah Ke Rumah atau tulisan Munawir Mandjo lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.