Sampai saat ini, saya masih percaya Pak Nadiem Makarim adalah Naruto-nya dunia pendidikan Indonesia. Saya sangat berharap, setelah meluncurkan program “Merdeka Belajar”, Pak Nadiem akan menyusulkan program “Merdeka Mengajar”. Yah, kemerdekaan kan hak segala bangsa, bukan cuma murid yang harus merdeka belajar, guru pun perlu merdeka mengajar.
Apalagi selama ini, guru, utamanya yang honorer, bisa dibilang tidak merdeka-merdeka amat. Itu kalau sungkan ngomong frontal mereka nyatanya emang terjajah. Selain progres karier mereka tidak jelas dan sering di-PHP akan diangkat jadi PNS, persyaratan berkas saat mengajukan sertifikasi guru maupun pengangkatan PNS gol. K2 tidak kalah rumitnya dengan diskon Pertamax. Itu belum menghitung beban tugas yang kadang lebih berat dari beban hidup.
Tapi, Pak Nadiem Makarim, itu semua bukan masalah utama. Ada persoalan yang lebih mendasar dan lebih urgent daripada ini, Pak.
Terus Pak Nadiem pura-puranya ngejawab, “Apa? Ngomong aja.”
“Oke, Jadi gini, Pak. Hm, nganu, Pak. Waduh, gimana ngomongnya ya? Tapi, janji jangan kaget ya, Pak?”
“Iya, Ngomong aja.”
“Mmm, gini, Pak. Seperti yang dikatakan menteri dari negara tetangga, prioritas kita adalah masalah ekonomi, sebagaimana bunyi sila ke-4, intinya ada kata ‘sejahtera’ di situ, satu kata di awal kalimat yang dilupakan oleh Kalista saat ditanya oleh Ketua MPR pas ikut final Miss Indonesia. Sebenarnya itu tidak perlu dibesar-besarkan, untuk apa juga kita hafal kalau tidak di—”
“Langsung intinya saja!”
“Oke, jadi gini, Pak, gaji honorer itu ada yang hanya 500 per tiga bulan! Itu pun kadang tidak lancar, terutama di awal tahun, belum lagi….”
“Apa? 500? Itu IDR atau USD?”
“Lima ratus ribu rupiah, Pak. Lima lembar uang merah itu. Jangankan buat makan, apalagi buat nikah, eh, sampai di mana tadi? Jadi intinya itu, Pak, mungkin ini harus ada evakuasi, eh maksudnya evaluasi, nggak usah dulu bicara digitalisasi, intinya harus ada kebijakan dalam waktu dekat.”
“Waduuuh, saya baru tahu itu, nanti kita akan lakukan evakuasi, eh, evaluasi supaya jarak antara the haves dan the have nots tidak besar sekali.”
“Iya, Pak, tapi nggak papa, ini bukan sepenuhnya salah Bapak, bukan juga salah Pak Luhut, Pak Yasonna, Pak Jokowi, apalagi Kiai Ma’ruf, saya juga bingung ini salah siapa. Saya maklum kalo Bapak kaget, kan Bapak selama ini sekolahnya di luar negeri, wajar kalau Bapak kaget.”
Pak Nadiem langsung meninggalkan pembicaraan. Malas kalau dibawa debat privilese vs nonprivilese lagi.
Sumber gambar: Wikimedia Commons
BACA JUGA Perlu Diketahui kalau S.Ag. Itu Bukan Sarjana Agama tapi Sarjana Abangan dan tulisan Muhammad Dzal Anshar lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.