PS TNI dan Bhayangkara FC barangkali menjadi suatu fenomena tersendiri bagi sepakbola Indonesia. Bukan saja tim yang beranggotakan para aparat ini berhasil menggebrak hegemono klub-klub tradisional seperti Persipura dan Persib dalam perebutan piala, kelahiran mereka di dunia sepakbola Indonesia tak kalah mengundang perdebatan lantaran akuisisi klub yang hendak bangkrut atau memiliki masalah. PS TNI ada lantaran membeli Persiram Raja Ampat dan menggunakan pemain-pemain dari PSMS Medan. Sedangkan Bhayangkara FC lebih pelik dengan dimulai dari keinginan Polri dalam menyalurkan bakat anggota guna menghadapi turnamen Piala Bhayangkara. Setelah ajang tersebut selesai, klub yang semula bernama PS Polri itu marger dengan Surabaya United sehingga bernama Bhayangkara Surabaya United. Dengan ending polri membeli keseluruhan saham dari Gede Widiade—pemilik sebelumnya—dan namanya berubah menjadi Bhayangkara FC.
Jika Bhayangkara FC lahir dalam kandungan Piala Bhayangkara, maka PS TNI lahir saat ajang Piala Jendral Sudirman. Intinya, kedua klub ini lahir dalam masa kekosongan kompetisi lantaran PSSI terkena ban oleh FIFA dan kedua klub ini lahir dalam ajang kompetisi.
Jika boleh jujur, tidak ada salahnya aparat—yang notabene menjaga dan melindungi saat pertandingan berlangsung—justru ikut memperebutkan piala. Sepakbola adalah permainan bagi siapa saja, tua muda, pria wanita hingga aparat pun kini berlomba memasukan bola ke jalan lawan. Pula ketika PSSI dibentuk, lekat hubungannya dengan militer lantaran dari era Ir. Soeratin hingga Edi Rahmayadi, kebanyakan kepala PSSI pernah mengangkat senjata.
Fenomena baru di Indonesia, namun seakan mejadi pemakluman bagi sepakbola di daratan Asia Tenggara lainnya. Ada Warrior FC dari Singapore yang membawa panji Singapore Armed Forces (SAF) atau TNI-nya Singapore. Di Thailand bahkan lebih berfariasi dengan Army United yang dimiliki oleh Angkatan Darat Kerajaan Thailand, Navy FC (Angkatan Laut), dan Air Force Central FC (Angkatan Udara). Ada pula Police BEC-Tero Sasana yang dimiliki oleh Kepolisian Kerajaan Thailand.
Di Laos, kita mengenal dengan Lao Police dan Lao Army yang mengatasnamakan kegagahan aparat negara mereka. Kedua klub ini bermarkaskan di Vientiane, ibukota Laos. Sedangkan di Malaysia, terdapat dua klub, yakni Angkatan Tentera Malaysia Football Association yang biasa disebut dengan ATM FA atau Armed Forces FC. Ada pula Polis Di-Raja Malaysia Football Association atau PDRM FA yang dimiliki oleh kepolisian Malaysia.
Dari sekian banyak contoh yang disebutkan di atas, barangkali yang paling tradisional adalah The Cong dari Vietnam yang lahir pada 1954. The Cong dibentuk oleh Vietnam People’s Army pada tahun 1954 dengan nama đoàn công tác Thể dục Thể thao Quân đội atau yang biasa disebut The Cong. The Cong sendiri merupakan dari sebuah akronim dari kerja sama tim—atau jika di Indonesia di sebuat semangat gotong royong. The Cong sebenarnya merupakan sebuah proyek ambisius tentara Vietnam pada tahun tersebut menengok awalnya tidak hanya sepakbola saja, tetapi ada bola voli dan basket. Saat itu Hanoi masih dalam pelukan Vietnam Utara dan The Cong memainkan laga pertamanya di Hang Day—bertepatan dengan renovasi besar-besaran Hang Day Stadium lantaran langkah strategis Vietnam Utara dalam hal memperkuat gerakan kesehatan dan olahraga.
Tumbuh kembang dalam lingkungan sosialis Vietnam Utara, pemain-pemain The Cong dipilih untuk masuk timnas guna mengikuti liga sepakbola bagi Negara-negara beraliran ideologi sosialisme seperti Cina dan Kuba. Ketika kompetisi resmi Vietnam dibuat pada tahun 1980 yang baru bernama A1, The Cong berhasil menjuarainya pada seri kedua, yakni edisi 1981. Ditambah dengan tahun berikutnya 1982 dan diikuti tiga kali lagi pada tahun 1987, 1990 dan 1998. Dengan lima kali juara menjadikan The Cong sebagai pengoleksi gelar paling banyak di Vietnam. Diikuti dengan adik kandung mereka di Hanoi, yakni Hanoi FC.
Bukan hanya ambisius dalam pengembangan klub, Vietnam People’s Army juga serius dalam pengembangan infrastruktur pada saat itu dengan dibuktikan berdirinya Cột Cờ, homebase The Cong yang berada apa pusat olahraga militer. Cột Cờ merupakan arti dari tiang bendera karena pada saat dibangun, terdapat tiang bendera di dekatnya.
Sama spesialnya dengan Siliwangi bagi para Bobotoh dan Lebak Bulus bagi para The Jak, pula Highbury bagi para pendukung Arsenal, Cot Co merupakan stadium bagi The Cong yang sudah tidak mereka gunakan sejak tahun 1998 dan diberhentikan fungsinya pada tahun 2004 oleh pemerintah Kota Hanoi. Lapangan ini juga merupakan gambaran nasionalisme Vietnam lantaran dahulunya lapangan ini digunakan oleh kolonialisme Prancis. Tak ayal, banyak warga Vietnam mengatakan bahwa mencintai The Cong merupakan gambaran dari rasa nasionalis tersendiri bagi para penggemarnya kepada Vietnam.
Penulis yakin, siapapun pernah menitihkan air matanya karena sepakbola. Entah itu karena kekalahan di laga penting, degradasi atau saat klub kebanggaanmu dibeli oleh pengusaha kaya, dibawa lari ke suatu daerah dan kemudian menjadi sebuah kesatuan yang benar-benar baru, membawa panji daerah yang baru dan dengan logo baru. Setidaknya pada penggemar The Cong pernah menitihkan air mata lantaran tiga hal yang sudah disebutkan. Namun, pernahkah kita menangis lantaran klub kesukaan mu itu berganti nama guna tetap hidup, kemudian pergi untuk tetap ada dan kemudian hilang? Para penggemar The Cong pernah mengalaminya.
Memang sebagian dari pengelola klub ini adalah pekerja dari Viettel—operator jaringan selular yang dioperasionalkan oleh kementrian pertahanan—degradasi pada tahun 2004 dan kemudian berubah nama menjadi The Cong Viettel FC namun banyak mendapatkan penolakan.
tahun 2007 berhasil promosi dan merubah namanya menjadi sediakala dan pada tahun 2010 klub ini merelakan diri untuk meninggalkan Hanoi guna menuju ke Thanh Hoa dan tim kedua mereka—tim junior yang berlaga di tingkat kedua secara hierarkis—tinggal di Hanoi di bawah naungan pemodal baru dan merubah nama mereka menjadi Hanoi FC. Klub kedua mereka juga bernama Hanoi FC yang berisikan pemain-pemain muda dan berlaga di V.League 2. Kemana The Cong? Mereka telah melebur menjadi Hanoi FC. Hal ini dikarenakan Kementrian Pertahanan menugaskan untuk menghapus nama The Cong.
Identitas klub sebagai pemegang gelar klub paling tradisional dan tersukses pun menjadi kabur, tidak jelas dan terhempas entah kemana. Tidak ada lagi The Cong. Sebuah klub tradisional yang hilang.
Namun, apakah basis supporter mereka diam saja? Jawabannya adalah kampanye besar terjadi pada 2011—ketika 57 tahun pendirian klub, semua lapisan masyarakat terutama para mereka yang dibinasakan harapannya akan kejayaan The Cong dari generasi ke generasi, mengumpulkan seribu tandatangan untuk kembalinya tim ini. Viettel yang berbasis sebagai badan telekomunikasi milik militer Negara merasa bahwa The Cong haruslah dipertanggungjawabkan. Pada tanggal 26 Oktober 2014, Direktur Jenderal Military Telecom Corporation menandatangani Keputusan No. 2294 / QD-VTQĐ-TCNL yang mengkonsolidasikan fungsi dan tugas dan mengganti nama Pusat Pelatihan Sepak Bola Viettel menjadi Pusat Olahraga Viettel. Walau bernama Viettel dan berlaga di kasta bawah, namun kebanyakan orang mempresentasikan bahwa itu adalah reinkarnasi dari The Cong.
Tidak seperti klub Indonesia yang membeli lisensi dan dapat merangsak masuk ke kasta teratas, Viettle berjibaku di level bawah tepatnya pada laga usia di bawah 15. Mereka berhasil masuk final dan melawan Thành phố Hồ Chí Minh. Mereka pun menang dan hal ini dapat membuat mereka untuk berkompetisi di V.League-2 musim 2016. Setelah itu, pada edisi perdana, mereka menduduki peringkat 2 dan play-off melawan Long An. Mereka kalah 0-1 dan kebobolan di menit akhir sehingga mengubur impian mereka untuk promosi ke V.League 1. Tim muda Viettle ini berhasil masuk ke V.League 1 pada edisi 2019. Butuh waktu, tidak instan.
Sekali pun sebuah tim berada pada titik nadir dan siap dijemput oleh kematian, bagaimana pun caranya harus ada. Banyak kasus yang menyebabkan sebuah klub mati, kebanyakan karena kebangkrutan, tetapi pernahkah kalian tersadar bahwa yang menggerakan itu semua adalah aspek horizontal, semua lapisan yang berada di belakang nama sebuah klub tersebut. Para pendukung The Cong menyadari hal tersebut, mereka bergerak secara horizontal, dari aspirasi para penggemar berbagai generasi, mantan pemain dan pecinta sepakbola secara umum, kemudian ditindak oleh pemilik klub—dalam hal ini adalah Viettel.
Apa yang dialami The Cong, bukanlah sebuah kisah Cinderella yang memberikan banyak makna dalam sepakbola. Bukan prihal keuangan, aspek legal, aspek sporting, aspek personalia dan administrasi serta aspek infrastruktur, namun The Cong mengajari satu hal yang sebenarnya kita pelajari ketika kecil, yakni menghargai sebuah proses. Memang terdengar klise menengok sepakbola kini semacam pertaruhan mendapatkan keuntungan. Banyak yang mengambil jalan pintas guna memenuhi tujuannya.
Apa yang dialami The Cong—kini menjadi Viettle—adalah sebuah pembelajaran bahwa aparat atau presiden sekalipun boleh memainkan sepakbola. Sah-sah saja membangun klub seperti PNS FC, PS. Satuan Pamong Praja atau Pemadam Kebakaran United. Yang tak kalah penting, maukah mereka semua membangun kekuatan dari bawah? Melalui strata heirarkis liga paling bawah, merangsak menuju atas dengan mewah? Ataukah membeli lisensi dan kemudian bermain di liga tertinggi adalah satu-satunya kunci?