Suatu siang yang begitu terik di salah satu jalur pantura Surabaya-Gresik. Motor saya melaju pelan bersamaan dengan suara bising jalan industri. Deru mesin berat, klakson yang saling bersahut, dan hembusan angin dari polusi knalpot tronton yang lewatnya bukan sekadar lewat, tapi seperti menggeser udara segar sekaligus nyali saya. Itulah Jalan Tambak Osowilangun. Jalur pantura yang saya sebut jalurnya para transformer.
Di atas motor Beat kecil, saya melaju dengan hati-hati, karena saya tahu, di jalur ini, pengendara motor seperti saya hanya figuran. Aktor utamanya adalah para truk tronton besar berbentuk seperti Optimus Prime yang 24 jam berlalu-lalang. Dari merekalah, logistik disalurkan melalui hub seperti pelabuhan dan terminal di Gresik dan Surabaya.
Di jalan Tambak Osowilangun ini, di kiri-kanan jalan sudah seperti panggung yang kebesaran untuk pengendara moda transportasi motor seperti saya. Tronton, bus, kontainer, bergerak seperti para transformer yang lupa menahan tenaga. Badannya tinggi, langkahnya berat, asapnya mengepul, dan sekali mereka melintas, motor seperti saya cuma bisa mencari posisi aman.
Terlalu bergaya dan percaya diri di jalur ini adalah petaka. Sebab jalanan yang tak rata dan berlubang bisa membuat saya jatuh dan habis dilindas oleh kendaraan-kendaraan berat itu.
Takut, waspada, pasrah, ikhlas
Perasaan yang muncul ketika melalui jalur ini tentu adalah kombinasi dari berbagai emosi. Rasa takut, waspada, merinding, pasrah, tapi juga ikhlas. Mau bagaimana lagi, jalur ini adalah jalur paling mainstream yang acap kali dilalui banyak pengguna jalan, termasuk pengguna motor.
Keberadaan-kendaraan berat di jalan Tambak Osowilangun memang nggak bisa dihindari. Jalan ini bukan hanya berperan sebagai jalur penghubung Gresik dan Surabaya, tapi jadi semacam terasnya arus logistik. Sebab di jalan inilah ada hub logistik bernama Terminal Teluk Lamong.
Kalau mau dianalogikan, logistik itu seperti peredaran darah, jalan ini adalah pembuluh nadi yang fungsinya jadi tempat penyaluran logistik ke berbagai daerah.
Makanya meski ada tol, tronton atau kontainer tetap melalui jalan ini karena akses darat Teluk Lamong yang sangat bergantung pada Tambak Osowilangun. Alasan logis lainnya, banyak angkutan kontainer jalannya bukan sekali jalan (kadang muter gudang–depo–pelabuhan–gudang), jadi mereka memilih rute yang paling “nyambung” dengan titik-titik logistiknya. Dan titik-titik itu kebetulan numpuk di koridor Surabaya barat–Gresik. Di situlah jalur ini terasa seperti “Transformer.” Sistem rutenya memang mendesain mereka melalui jalan ini.
Tentu saja, jalur ini punya dua sisi. Ibarat seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi jadi keuntungan tersendiri, tapi di sisi lain, punya konsekuensi yang harus dihadapi. Boleh jadi kota menjadi tumbuh karena arus logistik yang lancar, ekonomi pun meningkat, tapi semua itu harus dibayar mahal dengan keselamatan para pengendara kecil, baik itu motor maupun mini bus. Tak jarang terjadi kecelakaan yang korbannya tentu saja para pengguna motor.
Selain itu, lokasinya yang dekat laut dan buruknya sistem drainase, membuat jalur ini sangat rawan banjir ketika intensitas hujan meningkat. Bisa dibayangkan para pengguna motor itu harus melalui banjir sambil was-was terhadap lubang di jalan yang tak rata dan tronton yang sering kali klaksonnya bikin jantungan. Bahkan suara rem anginnya yang “psssshhhh” saja sudah bikin merinding.
Kemacetan di Tambak Osowilangun tak terhindarkan
Semua jadi makin menguji kesabaran ketika terjadi kemacetan. Hal itu karena di beberapa titik, jalan ini begitu sempit karena berdekatan dengan pemukiman penduduk. Saat macet, situasi bisa jadi makin menegangkan. Motor mencari celah, orang nekat nyebrang, tronton maju-berhenti-maju-berhenti, yang membuat jalur ini benar-benar menguji rasa sabar dan ikhlas. Mau panas atau hujan, kemacetan di jalur ini seperti hidup dan mati.
Saat cuaca cerah, panas terik begitu menusuk ditambah dengan polusi tronton yang membuat seseorang bisa seperti tercekik. Pun saat kondisi hujan, seperti yang saya ceritakan sebelumnya, bahwa potensi banjir membuat pengendara motor jadi harus lebih berhati-hati karena jalanan yang gak rata.
Keberadaan pemukiman penduduk yang jaraknya begitu dekat dengan jalan menjadi masalah lain yang mengkhawatirkan. Ketika diperhatikan, kanan-kiri ada gang kecil yang langsung berhadapan dengan jalan ini. Ada pagar rumah yang jaraknya hanya sekian meter, menjadikannya semacam marka tambahan. Melihat kondisi pemukiman yang begitu berdekatan, rasa-rasanya seperti hidup berdampingan dengan maut.
Belajar ikhlas di Tambak Osowilangun
Bagi yang ingin menyeberang, ada fasilitas berbentuk semacam alarm. Penyebrang bisa memencet sebuah tombol dan akan muncul suara “tetot-tetot” yang jadi penanda akan ada yang menyeberang. Tronton, kontainer, dan pengguna jalan lain harus berhenti ketika alarm itu berbunyi. Ini yang jadi salah satu penyebab kemacetan panjang. Tapi mau bagaimana lagi, berhenti adalah bentuk toleransi dan menghormati penyeberang yang juga punya hak untuk itu.
Tambak Osowilangun memberi saya satu pelajaran, yaitu rasa ikhlas. Ikhlas bahwa kadang seseorang hanya bisa jadi figuran, bukan karena tidak layak, tapi karena memang panggungnya sedang dikuasai sesuatu yang lebih besar. Memaksa untuk jadi pemeran utama justru akan membawa kerusakan.
Seperti di jalan ini, pemotor seperti saya harus belajar memberi ruang pada tronton dan kontainer. Bukan karena mereka yang paling berkuasa, tapi karena mereka membawa sesuatu yang tak mungkin ditawar. Di bak merekalah komoditas disebarluaskan, kebutuhan disalurkan, dan ekonomi pun berputar. Sementara pengendara motor seperti saya cukup memastikan satu hal, yaitu pulang dengan selamat.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jalan Kalianak Adalah Maut, Penghubung Gresik-Surabaya yang Mengancam Nyawa Pengendara
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















