Aku tidak tahu siapa arsitek jenius yang pertama kali mikir buat jualan Nescafe dingin di booth pinggir jalan. Tapi, demi deadline tugas statistika yang sudah kelewat tenggat, aku mau bilang. Ia adalah pahlawan tanpa tanda jasa, seorang “filsuf jalanan” yang memahami geografi emosi orang Indonesia.
Tiap kali aku melihat booth Nescafe, biasanya terbuat dari fiberglass murahan dan ditemani kulkas kecil berisik, di bawah sinar matahari pukul dua siang, itu bukan sekadar jualan kopi. Itu kayak liat oase di tengah padang deadline. Sebuah mercusuar yang bilang, “Hei, istirahat dulu, kepalamu udah mau meledak.”
Secara harfiah, kopinya dingin. Es batunya memenuhi gelas plastik yang gampang basah di tangan dan meninggalkan sisa air di celana.
Tapi anehnya, setiap kali cairan cokelat manis itu menyentuh lidah, kepalaku yang panas karena mikirin rumus korelasi dan standard deviation langsung adem. Hati yang tadinya mumet mendadak punya jeda, seolah ada suara pelan yang berbisik, “Yaudahlah, hidup nggak seberat itu. Besok lagi aja dipikir.”
Di sinilah letak anomali yang selalu menarik perhatianku. Ada gap tipis antara sesuatu yang dingin tapi ternyata menghangatkan. Antara yang receh tapi ternyata bermakna lebih dari sekadar kafein.
Logika tropis dan keterpaksaan yang nyaman
Coba deh jujur. Mungkin karena kita hidup di negeri tropis yang default-nya panas. Ya mataharinya, aspal, juga panas di pikiran yang dituntut serba cepat oleh sistem. Bikin kopi panas jadi nggak laku-laku.
Bayangkan, siapa yang kuat minum kopi hitam panas mengepul pas jam pulang kerja? Di jalanan yang sudah teriak-teriak panas dari knalpot yang macet dan pikiran yang penuh utang revisi tugas. Minum kopi panas saat itu sama saja dengan cari penyakit. Itu namanya bukan menenangkan, tapi bunuh diri pelan-pelan. Itu kalau saya.
Nescafe, dengan kearifan lokalnya yang paripurna, paham betul dilema ini. Orang Indonesia, terutama kita-kita yang berkutat di jalanan, butuh “dingin” yang bisa menenangkan. Bukan “dingin” yang justru bikin jauh kayak sikap mantan yang tiba-tiba hilang kontak. Kita butuh sesuatu yang nyess dan cepat.
Maka jadilah segelas es kopi Nescafe sachet-an. Diseduh, dengan es batu yang kadang bumpy karena airnya beku di freezer kulkas tua. Tapi who cares? Manisnya pas, harga wajar, dan entah kenapa selalu muncul di waktu yang paling tepat. Misalnya saat motor mogok, saat chat dosen masuk, atau saat otak sudah mentok dan minta reset kilat. Nescafe adalah solusi instan yang paling jujur.
Nescafe: Teman tanpa banyak tanya
Aku nggak pernah minum langsung di depan outlet-nya. Nescafe pinggir jalan itu memang nggak dirancang buat dine-in, apalagi nongkrong sambil buka laptop. Mereka dirancang buat take away dan segera berbaur dengan kesibukan.
Biasanya aku beli, terus dibawa pulang, atau diminum di jalan sambil ngelihatin lalu lintas yang sama-sama berjuang. Tapi tiap seruput Nescafe, selalu ada rasa kayak ditemenin.
Aku nggak pernah merasa ditemani oleh kopi single origin dari Ethiopia yang diseduh pakai V60 dengan suhu air 92°C. Kopi itu terlalu banyak request. Minta dihargai, minta dicium aromanya, minta diminum pelan-pelan dan notes-nya dipuji. Aku nggak punya waktu buat drama perfeksionis kayak gitu.
Nescafe itu kayak temen yang paling ngerti. Nescafe nggak banyak omong, apalagi ceramah soal notes rasa buah-buahan atau acidity yang kompleks. Ia cuma hadir.
Waktu kepala mumet sama tugas, hati pusing mikirin cicilan, Nescafe nggak nanya, “Kenapa kamu pusing?” atau “Tabelmu udah beres belum?” Ia cuma bilang pelan, literally dari dinginnya gelas, “Minum dulu aja.”
Kopi instan sachet, yang sering dicibir coffee snob sebagai produk kelas dua, justru memberikan rasa kehadiran yang paling tulus. Nescafe ada tanpa syarat dan tanpa tuntutan estetika.
Kopi kelas bawah vs kopi kelas estetika
Coba deh kita bandingkan dengan budaya kopi kekinian yang sekarang menjamur. Semua orang sibuk nyari kafe dengan lampu kuning estetik dan latte art berbentuk hati. Mereka sibuk ngurusin ambience, outfit of the day, dan caption Instagram yang sok puitis. Mereka mengejar kopi kelas estetika.
Tapi jujur, segelas Nescafe es di gelas plastik 8 ribuan kadang jauh lebih tulus dan fungsional daripada kopi seharga dua puluh lima ribu yang diseduh barista bersertifikat.
Aku nggak butuh kafe yang instagenic buat healing, tapi butuh jeda dari kekacauan. Aku nggak butuh foam di atasnya, tapi butuh rasa tenang di dada. Nescafe nggak pernah mendikteku harus bagaimana. Ia nggak pernah bilang, “Kamu harus work from cafe,” atau “kamu harus filter fotonya dulu.”
Nescafe adalah antitesis yang paling membahagiakan. Ia nggak butuh kursi kayu impor atau playlist jazz yang random. Ia cuma butuh pinggir jalan yang ramai, booth yang bumpy, dan kepalamu yang mendidih.
Nescafe: Dingin di tangan, hangat di hati
Buatku, Nescafe bukan cuma soal rasa kopi yang terlalu manis. Ia semacam pengingat kecil bahwa yang sederhana juga bisa menenangkan. Bahwa kadang, kita nggak perlu kopi mahal buat merasa diperhatikan, cukup segelas kopi dingin yang diam-diam ngertiin kita tanpa nanya apa-apa.
Nescafe adalah paradoks yang paling manis, kopi dingin yang menghangatkan suasana. Dia memberi ketenangan sesaat yang tidak pernah diumbar.
Mungkin karena itu, setiap kali aku minum Nescafe, aku ngerasa nggak sendiri. Dingin di tangan, hangat di hati, dan yang paling penting dompetku masih bisa napas tenang. Soalnya, buat apa ngejar kopi 30 ribu kalau yang 8 ribuan aja udah bisa bikin hidup terasa baik-baik saja?
Penulis: Assyifa Furqon Gaibinsani
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Nescafe Ice Roast, Ice Americano Sachet yang Ekonomis dan Ramah di Lambung
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















