Solo sering dianggap sebagai kota kecil yang kalah pamor dibanding tetangganya, Jogja. Itu mengapa, banyak orang mampir ke Solo untuk sekadar transit sebelum menuju daerah lain yang lebih populer. Tapi, jujur saja, sebagai warga lokal (warlok) saya tak pernah merasa Solo tersaingi atau melihat Solo lebih rendah dibanding daerah lain.Â
Di balik anggapan-anggapan itu, Solo menyimpan berbagai privilese yang sulit ditemukan di kota lain. Dari warisan budaya yang masih terjaga, kehidupan sehari-hari yang manusiawi, hingga identitas yang kuat dan tak mudah luntur. Itu mengapa, sebagai warga lokal Solo, saya punya banyak alasan untuk bangga.Â
#1 Di Solo bisa hidup nyaman tanpa harus jadi budak kemacetan dan polusi
Sebagai salah satu kota dengan ukuran yang relatif kecil dibanding kota-kota besar lain di Jawa, Solo menawarkan sebuah kemewahan yang jarang disadari. Di Solo warganya punya kesempatan untuk hidup nyaman tanpa harus terjebak dalam kemacetan yang memakan waktu berjam-jam. Di tengah hiruk pikuk kota-kota besar yang bikin stres, Solo hadir sebagai alternatif yang humanis, tempat di mana jarak bisa ditempuh dalam hitungan menit dan hidup tidak habis di jalan.
Ukuran kota yang mini ini bukan berarti Solo serba tertinggal. Justru dari efisiensi ruang itulah muncul kualitas hidup yang sulit dicapai di metropolitan. Mau ke mana-mana dekat, pasar sampai mal, semua destinasi terasa cuma selemparan batu, kuliner enak bertebaran di setiap sudut. Dan, yang paling penting adalah kamu masih punya waktu untuk diri sendiri setelah pulang kerja. Ini adalah bentuk privilese yang tak kasat mata. Hidup yang tidak sekadar dikejar deadline, tetapi benar-benar bisa dijalani dengan waras.
Belum lagi soal biaya hidup. Dengan gaji yang relatif sama dengan kota besar lain, hidup di Solo terasa jauh lebih lapang. Kos murah dan layak, makan kenyang dengan budget pas-pasan, dan sisanya bisa buat nabung atau jalan-jalan. Coba bandingkan dengan Jakarta atau Surabaya. Di sana sepertiga gaji bisa habis cuma buat ongkos dan kos-kosan.
#2 Punya dua keraton yang masih hidup dan jadi bagian keseharian
Solo atau Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu dari sedikit kota di Indonesia yang masih memiliki keraton yang aktif dan menjadi bagian hidup masyarakatnya. Bukan cuma satu, tapi dua yang bernama Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Keduanya bukan sekadar bangunan bersejarah yang jadi objek wisata, tapi institusi budaya yang masih hidup, bernapas, dan menjalankan fungsinya hingga hari ini.
Bagi warga Solo, keberadaan keraton ini bukan hanya soal cerita historis, tapi juga identitas yang membentuk cara melihat dunia. Tradisi seperti Grebeg Sudiro, Sekaten, hingga berbagai upacara adat yang rutin digelar membuat budaya Jawa tidak hanya dipelajari di buku, tapi benar-benar dihidupi.
Ada semacam keseimbangan yang terjaga antara tradisi dan modernitas antara yang sakral dan yang sekuler. Ini privilese yang tidak dimiliki kota lain. Tumbuh dalam lingkungan yang secara natural mengajarkan kita tentang harmoni dan toleransi.
#3 Solo adalah surga kuliner yang autentik dan terjangkau
Jogja punya Malioboro dengan gudegnya, Solo punya seluruh kota yang jadi satu kawasan kuliner besar. Dari Nasi Liwet Wongso Lemu yang legendaris, Sate Buntel Pak Mono yang empuk nendang, Timlo Sastro yang hangat menenangkan, sampai Tengkleng Pak Manto yang bikin ketagihan. Semua punya cerita dan cita rasa yang tidak bisa ditiru.
Yang bikin istimewa, kuliner Solo bukan sekadar soal rasa. Tapi juga soal autentisitas yang terjaga. Banyak warung makan di Solo yang sudah berdiri puluhan tahun, bahkan lintas generasi, dengan resep yang tidak berubah. Ini bukan karena mereka tidak mau berinovasi. Mereka tahu bahwa rasa asli itulah yang dicari.
Belum lagi Pasar Gede yang jadi pusatnya jajanan tradisional. Mulai dari serabi notosuman, intip, bolu kemojo, sampai berbagai kue basah semuanya ada. Harganya pun bersahabat di kantong. Coba deh bandingkan dengan kota besar lain, di mana makan enak harus merogoh kocek dalam-dalam.
#4 Punya identitas kuat yang tidak mudah tergerus
Di tengah arus globalisasi yang membuat banyak kota kehilangan identitasnya, Solo justru semakin kokoh dengan jati dirinya. Bahasa Jawa masih digunakan sehari-hari dengan berbagai tingkatannya, unggah-ungguh masih diajarkan dan dipraktikkan, dan nilai-nilai kearifan lokal masih jadi pegangan hidup banyak orang.
Ini bukan soal konservatif atau menolak perubahan, tapi soal memilih untuk tidak kehilangan akar sambil tetap tumbuh. Anak muda Solo bisa nongkrong di kafe modern sambil ngobrol pakai bahasa Jawa, mengenakan batik ke kampus tanpa merasa norak, atau ikut upacara adat tanpa merasa ketinggalan zaman. Ada kebanggaan tersendiri dalam menjadi orang Solo yang tidak perlu menyembunyikan identitasnya.
Privilese ini mungkin terdengar abstrak, tapi sangat terasa dampaknya dalam kehidupan sehari-hari. Kita tahu siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. Dalam dunia yang serba cepat dan membingungkan ini, punya identitas yang jelas adalah kemewahan yang sangat mahal.
Itulah beberapa privilese yang dimiliki warga Solo sehingga hidup di sini terasa lengkap. Keistimewaannya sulit ditandingi oleh daerah lain. Harapan saya, semoga privilese ini tidak sekadar dijadikan kebanggaan di atas kertas atau di media sosial. Tapi, benar-benar dijaga dan dikelola agar Solo tidak kehilangan karakternya.Â
Penulis: Alifia Putri Nur Rochmah
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Solo Punya Segalanya, tapi Masih Kalah Pamor sama Jogja.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















