Teknologi berkembang seperti tanaman liar. Begitu cepat dan tidak terkendali. Apabila tidak bisa mengikutinya, bersiaplah terkubur perkembangan teknologi. Begitu pula dalam hal pekerjaan. Banyak pekerjaan yang akhirmya punah karena perkembangan zaman dan teknologi.
Dahulu, kita masih sering melihat orang antre di mesin ATM cuma untuk transfer uang atau sekadar ngecek saldo. Masih banyak juga yang sibuk top up pulsa di konter, atau beli baju langsung ke toko.
Sekarang? Tidak ada lagi. Semua sudah pindah ke genggaman tangan. Mau transfer tinggal buka mobile banking, isi pulsa bisa lewat e-wallet, belanja baju hingga sayur pun bisa dilakukan sambil rebahan. Semua serba cepat, serba instan, dan nyaris tanpa jeda.
Dalam hal pekerjaan juga demikian. Banyak profesi yang dulu terasa begitu penting, dekat dengan kehidupan kita, tapi kini menghilang perlahan. Bahkan, generasi sekarang pun tidak bisa menemukan jejaknya. Apa saja?
#1 Penjual kaset DVD
Dulu, hampir di setiap emperan toko ada lapak penjual kaset DVD. Di lapak inilah orang-orang berburu film, mulai dari film dalam negeri hingga film mancanegara. Bahkan, film dewasa 17+, juga ada. Cuma ya, berhubung yang dijual adalah DVD bajakan, jangan heran kalau kualitas gambarnya buruk atau suara ketawa mereka yang ikut terekam. Angle kamera tiba-tiba miring juga jadi hal yang biasa.
Selain berburu film, lapak penjual kaset DVD juga diserbu mereka-mereka yang cari kepingan disk MP4 berisi lagu-lagu favorit. Kalau tidak salah ingat, satu keping DVD yang bungkusnya cuma plastik doang dihargai Rp3 ribu perak. Sementara yang ada wadahnya, dihargai Rp5 ribu.
#2 Penjaga wartel
Pernah ada masa di mana mau telpon jadi sesuatu yang sulit. Untuk bisa menelpon, seseorang harus cari warung telepon (wartel) dulu. Dan, kalau pas kebetulan wartelnya sedang ramai ya mau nggak mau harus antri.
Buat yang belum tahu, wartel itu kios yang menyediakan bilik-bilik berisi telpon. Pelanggan yang mau menelpon tinggal masuk ke bilik yang kosong, lalu menelpon seperti biasa. Nanti, di badan telepon akan muncul angka-angka semacam argo yang menunjukkan jumlah biaya yang harus dibayar. Bayarnya tentu saja di penjaga wartel. Lha, sekarang sudah nggak ada wartel, otomatis pekerjaan penjaga wartel pun sudah tidak ada lagi.
#3 Tukang afdruk foto kilat
Suatu kali saya pernah tanya ke anak-anak, apakah mereka tahu apa itu “klise” dalam konteks fotografi. Jawaban mereka sama: tidak tahu. Dan, saya yakin, yang lagi baca tulisan ini pun mungkin ada yang tidak tahu klise apa yang saya maksud.
Klise dalam fotografi adalah lembaran film transparan berwarna cokelat kehitaman yang berisi hasil negatif dari foto yang sudah dijepret menggunakan kamera analog. Dari klise inilah foto kemudian bisa dicetak berulang kali di atas kertas foto. Dulu, benda kecil ini begitu sakral. Kalau sampai hilang, foto tidak bisa dicetak ulang. Tidak ada tuh istilah “backup di cloud” atau “restore dari galeri”.
Nah, klise ini kemudian dicetak (atau diafdruk kata orang zaman dulu), di tukang afdruk foto kilat. Jangan bayangkan tempat afdruk foto kilat ini seperti ruko, ya. Nggak. Afdruk foto kilat biasanya cuma bangunan kecil semi permanen, mirip-mirip kios es teh jumbo, tapi versi lebih kumuh.
Baca halaman selanjutnya: #3 Loper film …




















