Jadi minoritas di Indonesia itu tidak enak, baik dalam keyakinan agama, maupun preferensi kuliner. Di tengah mayoritas orang Indonesia yang gemar makan pedas hingga ada level-levelnya seperti kursus bahasa Inggris, saya termasuk sedikit orang yang tidak betah makan pedas.
Sejak kecil, saya memang tidak bisa makan pedas. Bahkan makan sambal Indomie yang bagi banyak orang disebut sebagai sambal cemen, sudah bisa membuat saya tersiksa. Apesnya, toleransi kepedasan saya tak juga meningkat hingga dewasa.
Hal itu membuat ibu saya selalu menyediakan dua versi lauk, yang tidak pedas untuk saya seorang, dan yang pedas untuk anggota keluarga lainnya. Namun privilege seperti itu tentu tak bisa selalu saya dapatkan di luar rumah. Sebagai minoritas dalam urusan persambalan, saya kerap menemui sejumlah tantangan, atau bisa juga disebut dengan penderitaan.
Tanpa cabe sama sekali
Saat memesan makanan seperti rujak atau nasi goreng, pemilihan kata menentukan segalanya. Jika saya hanya mengatakan, “pesan yang nggak pedas,” terkadang penjual akan mengartikannya dengan tidak pedas sesuai standarnya sendiri. Tidak pedas menurut penjual, berarti sangat pedas bagi saya.
Belajar dari kesalahan, maka saya selalu menyatakan pada penjual, “tidak pakai cabe sama sekali.” Dengan mengganti kalimat seperti itu, makanan yang saya pesan pun sesuai dengan yang saya mau. Dari sini saya belajar, bila ingin meminta orang lain melakukan sesuatu, maka komunikasi kita harus lugas, supaya orang lain tidak salah persepsi.
Sedangkan ketika memesan makanan seperti ayam goreng atau rawon, saya wajib mengatakan, “tidak pakai sambal ya,” atau “minta sambalnya dipisah.” Memang sih, tanpa saya berpesan seperti itu, sambalnya hanya diletakkan di pinggir, sehingga bisa dengan mudah disingkirkan. Namun minyak sambalnya akan mengalir ke nasi atau kuah, yang akhirnya membuat keseluruhan makanan menjadi pedas.
Lain lagi kalau bertamu ke rumah orang. Saya hanya bisa berserah diri pada Allah, saat tuan rumah menyuguhkan makanan pedas. Paling saya akan menyelingi makan dengan minum air yang banyak seperti sapi gelonggongan, demi meminimalisir rasa pedas.
Tidak sengaja menggigit cabe
Pernah di suatu waktu, saya menghadiri acara siraman jelang pernikahan. Setelah piring terbang dibagikan, saya mulai makan. Lagi enak-enaknya menyantap hidangan, tiba-tiba mati lampu. Meski ruangan menjadi gelap gulita, tak menyurutkan saya untuk melanjutkan makan.
Apesnya, ada satu cabe yang ternyata nyelip di antara makanan yang saya suapkan ke mulut. Cabe itu tergigit, sehingga rasa pedas segera menusuk dan mendominasi tanpa aba-aba.
Saya segera berpikir cepat. Inginnya sih segera melepeh makanan yang ada di mulut, tapi di kondisi gelap gulita seperti ini, rasanya sulit mencari tissue. Masa saya lepeh di pinggir piring, kan jorok dan tidak anggunly.
Sedangkan kalau saya teruskan mengunyah, cabe akan lumat, sehingga rasa pedasnya pun makin membakar mulut. Akhirnya keputusan saya sudah bulat. Saya menelan cabe itu utuh-utuh supaya tidak kian bertambah pedas.
Tidak bisa makan pedas pun sebenarnya berkah
Menjadi minoritas dalam urusan persambalan memang tidak enak. Meski begitu, ada satu keuntungan tidak bisa makan pedas, yaitu bisa dengan mudah membuat senang teman atau keluarga yang sedang makan bersama saya, terutama ketika sedang makan di luar. Sebab, mereka bisa mendapatkan ekstra sambal tanpa harus membayar lebih.
Sampai saat ini saya masih belum memahami, kok bisa sih orang suka makan pedas. Padahal makan pedas bisa membuat tersiksa, tak jarang sampai berkeringat seperti habis maraton. Kan lebih enak makan tanpa sambal, bisa menikmati tiap suapan dengan tenang, damai sentosa.
Penulis: Atikah Syahar Banu
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Obsesi Rasa Pedas dan Menikmati Penderitaan kayak Masokis
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















