Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Bakpia Jogja siap dilibas, pia kering Malang siap melambung!
Jogja adalah bakpia, bakpia adalah Jogja. Lama-lama, sematan ini jadi overrated, terlalu digembar-gemborkan, bahkan cenderung omong kosong. Seakan-akan hanya Jogja yang punya bakpia, seakan-akan hanya Jogja yang layak punya dan membanggakan bakpianya. Nggak sepenuhnya salah, karena bakpia paling populer memang dari Jogja. Tapi bukan berarti kota-kota lain nggak punya bakpia yang bisa menandingi.
Malang mungkin bisa jadi tandingan yang sepadan untuk urusan bakpia. Selama ini, orang-orang mengenal Malang sebagai kota penghasil bakso terenak di dunia. Itu memang betul, tapi yang banyak orang belum tahu, bahwa Malang juga jadi kota penghasil bakpia yang nggak kalah enak, nggak kalah mantap dari bakpia Jogja. Kami orang Malang menyebutnya bakpia kering, atau pia kering.
Hampir setahun lalu, saya pernah menulis soal kuliner Jogja yang gagal merebut lidah orang Malang. Salah satu kuliner tersebut adalah bakpia Jogja. Bahkan saya sampai berani menyebut bahwa eksistensi bakpia Jogja di Malang itu tunduk di hadapan pia kering Malang. Bener-bener kayak nggak ada apa-apanya. Hanya saja, kuliner satu ini kayak kurang diangkat, kurang digembar-gemborkan sebagai lawan sepadan rivalnya di Jogja sana.
Mengenal pia kering Malang
Buat kalian para wisatawan, atau orang luar Malang, yang sedang berkunjung ke Malang, salah satu oleh-oleh yang wajib kalian bawa pulang adalah pia kering. Salah satu merek pia kering yang paling populer adalah Pia Cap Mangkok, yang sudah ada di Malang sejak akhir dekade 50-an. Orang Malang pasti tahu dan setidaknya pernah mencoba pia kering dari Pia Cap Mangkok ini.
Pia Cap Mangkok ini seakan jadi pencetus ekosistem bakpia/pia di Malang. Sekarang, pia kering Malang nggak cuma dari Pia Cap Mangkok saja. Ada banyak merek pia kering yang tersebar di Malang, mulai dari industri rumahan, sampai industri yang cukup besar, mulai dari yang harganya murah, sampai yang agak mahal.
Nah, mengapa disebut pia kering? Sederhana saja, karena tekstur bagian luar kudapan ini yang kering. Pia kering ini lebih crunchy, lebih puffy ketimbang bakpia yang cenderung lembek, dan lebih basah. Itulah yang membedakan bakpia Malang dengan rivalnya di Kota Istimewa sana. Hal itu pula yang bikin mengapa—menurut saya—pia kering Malang ini lebih enak dari bakpia, dan bisa jadi saingan, bahkan mengalahkan, bakpia Jogja.
Lebih enak ketimbang bakpia Jogja
Sekarang bayangkan begini. Ada sebuah kue namanya pia kering, bentuknya bundar agak pipih, kulit luarnya kering, crispy, gurih, tapi isian di dalamnya itu lembut dan manis. Sebuah perpaduan yang sempurna. Bayangkan kita menggigit pia kering itu, lalu paduan sempurna itu masuk ke mulut, lalu disambut dengan seruputan kopi hitam panas. Bisa kebayang gimana nikmatnya, kan?
Dan kenikmatan itulah yang selalu saya rasakan ketika makan pia kering Malang. Ada kering, ada lembut. Ada gurih, ada manis, lalu disambut dan disempurnakan dengan asam-pahit dari kopi. Nikmat banget. Pengalaman ini nggak pernah saya rasakan ketika makan bakpia Jogja. Sudahlah teksturnya terlalu monoton, nggak memberikan pengalaman yang asyik gitu. Kulit sama isiannya sama-sama lembut, kayak nyaru gitu. Kulitnya terlalu tipis pula. Masih enak-enak aja, tapi nggak asyik di lidah saya.
Kalau kalian nggak percaya, silakan coba sendiri. Nanti pasti kalian akan sepakat sama saya kalau pia kering Malang ini lebih enak ketimbang bakpia Jogja.
Baca halaman selanjutnya
Siap menandingi makanan overrated dari Jogja yang itu




















