Stereotip menyebalkan tentang laki-laki gondrong susah dapat “pekerjaan”, laki-laki gondrong urakan, laki-laki gondrong itu masa depannya tidak jelas (apalagi lulusan Sastra Indonesia) memang masih beredar dan laku di masyarakat kita. Stigma-stigma buruk tentang laki-laki gondrong memang diwariskan dari generasi sebelumnya dan masih diamini oleh sebagian generasi sekarang. Ada anggapan bahwa gondrong hanya sekedar gaya, atau meniru-niru saja. Maka saya dengan tegas dan lantang menolak anggapan itu!
Gondrong itu identitas, bukan sekedar gaya-gayaan atau tiru-meniru. Para gondrongers seperti saya harus bertahan dengan berbagai macam kesulitan-kesulitan yang mau tidak mau harus dihadapi. Sering gondrongers dapat himbauan untuk mecukur rambut dengan alasan supaya rapi, dan gondrongers hanya bisa senyum-senyum saja. Kami belum bisa melawan, karena biasanya kata-kata itu muncul dari orang-orang tua.
Tidak hanya itu, kami juga susah untuk dapat pekerjaan. Seperti beberapa hari yang lalu, saya dapat tawaran kerja part time di sebuah resto. Pertanyaan pertama saya adalah, “Boleh gondrong nggak?”
Dan dengan sedikit sinis mereka menjawab, “Ya ndak bisa dong. Di sini kerapian itu nomor satu e.”
Saya sudah mengira akan mendapat jawaban seperti itu. Mereka juga pakai alasan yang tidak masuk akal sebenarnya. Kalau masalah kerapian—ya rambut kita kalau diikat bisa kok jadi rapi.
Banyak orang yang mengatakan bahwa saya bodoh. Sudah ditawari kerja malah nggak diambil, hanya karena perkara rambut. Ya jelas nggak saya ambil lah—kalau ada syarat lain selain rambut ya pasti saya ambil. Kalo disuruh potong rambut saat ini nggak mau saya.
***
Kesulitan selanjutnya yang saya dan mungkin para gondrongers hadapi adalah ketika berkunjung ke rumah pacar. Ini adalah ketidakpastian yang kadang menimpa saya. Saya selalu disambut dengan tatapan “dingin” oleh bapaknya pacar ketika saya berkunjung. Seakan beliau berkata, “Ini makhluk apa datang ke sini. Sudah gendut, gondrong lagi.”
Beruntung kata-kata itu tidak keluar dari mulut beliau. Kalau tidak, kekacauan bisa saja terjadi saat itu.
Tidak jarang juga pertanyaan seperti, “kamu kuliah apa kok boleh gondrong?” atau “kamu anak band ya?” menjadi “makanan” rutin setiap malam minggu. Pertanyaan seperti itu—dan penampilan saya mungkin—membuat saya cukup sulit untuk menjalin hubungan baik dengan pacar. Apalagi dengan bapaknya yang cukup galak itu. Beruntung sekali pacar memberi sedikit pengertian—ya itung-itung mendinginkan hati. Loh kok jadi curhat ini~
Tidak berhenti di situ, kesulitan saya selanjutnya datang dari kampus. Saya kuliah di jurusan Sastra Indonesia murni, yang katanya masa depannya he he he he itu—dan katanya banyak laki-laki gondrongnya. Tapi tidak sampai setengah ekosistem laki-laki yang berambut panjang—gondrong—dan saya bisa menyebut kalau saya dan kawan berambut panjang saya adalah minoritas. Kami sering mendapat sindiran halus dari para dosen—seperti, “Gondrong sih nggak apa-apa, asal punya karya. Nggak cuma gaya-gayaan.” Atau yang lebih ekstrim kadang mengancam dengan nilai—seperti, “Heh, kamu. Minggu depan harus potong rambut kalau mau lulus mata kuliah saya.”
Keluhan-keluhan seperti inilah yang menjadi ‘diskursus’ saya dan gondrongers lainnya tiap hari selepas berkuliah sambil ngopi. Bagi saya dan gondrongers lainnya, gondrong itu identitas kami, idealisme kami yang belum saatnya untuk kami buang begitu saja. Bahkan ada kawan gondrong saya yang berkuliah di kampus yang melarang untuk memiliki rambut panjang—kasihan juga.
Saya dan mungkin kawan-kawan gondrongers lainnya punya ambisi untuk membuktikan bahwa kami bisa hidup dari idealisme yang kami pertahankan. Kami berusaha membuat sesuatu—karya atau apapun itu. Makanya saya mulai dari menulis—karena saya punya cita-cita jadi penulis, biar seperti Seno Gumira Ajidarma. Maka saya mulai dari apa yang saya bisa dan membuktikan bahwa tidak selamanya gondrong itu susah dapat kerja, gondrong itu urakan, atau masa depannya tidak jelas. Gondrong punya masa depan, meskipun masih he he he he.
Kalau dikira rambut gondrong itu urakan atau tidak baik—buat apa kami nunggu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun untuk punya rambut gondrong? Itu namanya perjuangan. Jadi kalau masih ada yang bilang gondrong itu cuma buat gaya-gayaan saja, suruh ke sini. Biar saya ikat mulutnya dengan rambut saya. Tabik!