Dulu saya sangat sebal dengan muda-mudi yang selalu berbicara tentang cinta, cinta, dan cinta. Padahal hidup ini bukan hanya tentang ketertarikan romantis pada lawan jenis. Bagaimana Indonesia bisa maju jika pikiran generasi mudanya cuma berkutat pada hal-hal yang berkaitan dengan roman picisan?
Bandingkan dengan negara-negara lain yang mayoritas anak-anak mudanya sudah memikirkan bagaimana membuat robot, mengembangkan aplikasi yang akan membantu banyak orang, menuliskan buku yang menginspirasi, dan lain-lain. Saya tidak menafikan kalau ada pemuda-pemudi Indonesia yang berkarya untuk negeri ini. Sayangnya, jumlahnya tidak sebanyak muda-mudi yang suka ngomong tentang cinta melulu.
Untungnya—dulu—saya berbeda dengan mereka. Saya memiliki keresahan tentang banyak hal di negeri ini. Saya resah terhadap sistem pendidikan Indonesia yang mengakibatkan 80% mahasiswa/i merasa salah jurusan. Saya resah terhadap penegakan HAM yang belum tegak. Saya resah terhadap banyaknya praktik kongkalikong di negeri ini. Saya resah melihat banyaknya orang miskin di negeri yang kaya akan sumber daya alamnya ini.
Keresahan-keresahan tersebut membuat saya ingin berkontribusi. Langkah awal yang saya bisa lakukan adalah berkontribusi lewat tulisan—karena saya yakin tulisan dapat menggerakkan kita. Oleh karena itu, saya menulis mengenai keresahan-keresahan itu beserta sedikit solusi yang mungkin bisa membantu. Saya mengirimkan tulisan-tulisan ke website UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang saya ikuti, koran kampus, hingga ke berbagai platform menulis online. Tanggapan para pembaca sangat bagus—saya benar-benar jadi bersemangat 45!
Namun, semangat menulis itu menurun drastis saat saya sadar bahwa saya sedang mengalami ketertarikan romantis pada seseorang. Sebenarnya, bukan semangat menulis yang menurun. Saya masih semangat menulis, tapi hanya seputar dia saja. Ya, saya tidak lagi bersemangat menulis tentang ‘hal-hal besar’. Saya sedang malas menulis untuk berkontribusi—toh saya tidak memikirkan keresahan mengenai negeri ini. Saya hanya ingin menumpahkan isi pikiran saya tentang dia, dia, dan dia. Isi otak saya penuh dengan dia.
Saya pun mulai menulis tentang dia di blog pribadi saya. Tulisan pertama saya tentang dia adalah kekaguman saya padanya saat melihat dia ngobrol asyik dengan pengemis dan tukang sapu jalanan. Di saat mahasiswa-mahasiswa lain hanya melewati mereka, dia malah mengajak mereka berbincang. Bagi saya, pemandangan itu menarik. Ia adalah mahasiswa yang tidak eksklusif pada kaum marjinal.
Setelah itu, tulisan-tulisan di blog saya makin banyak. Intinya, setiap saya berinteraksi dengannya baik langsung maupun daring, saya selalu menuliskannya. Bahkan, dialog saya dengan dia pun saya tuliskan. Saya mulai gila.
Kegilaan saya tidak berhenti sampai di situ. Saya pernah mengikuti workshop digital marketing selama 1 minggu bersama dia. Nah, di workshop tersebut, ada banyak sekali ilmu baru yang saya dapatkan. Saya pun berencana untuk menuliskan ilmu baru tersebut di blog. Saya ingin mengamalkan kata bijak Imam Syafi’i.
Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat
Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang
Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja
Alih-alih menuliskan ilmu yang saya dapatkan, saya malah menulis tentang obrolan kami selama di workshop tersebut. Saya menganggap hal itu terlalu urgent untuk dituliskan. Bayangkan, saya mengorbankan ilmu digital marketing yang sangat menunjang kehidupan saya demi menuliskan interaksi kami berdua. Padahal saya tahu dia suka seseorang—tapi mirisnya, seseorang itu bukan saya. hiks.
Saya pun mulai berkontemplasi. Mana diri saya yang dulu? Saya yang sangat getol ingin berkontribusi untuk negeri ini. Saya yang suka menulis demi menggerakkan orang banyak. Saya yang eneg sekali melihat muda-mudi tergila-gila karena cinta dan mengabaikan hal-hal penting. Bodohnya, perilaku yang saya benci dulu adalah perilaku saya sekarang. Saya memikirkan dia, dia, dan dia. Saya membaca berulang-ulang chat kami berdua. Hei, saya benci ini!
Kembali ke jalan ninja saya yang dulu adalah hal yang tepat. Saya harus kembali menuliskan ide-ide besar untuk Indonesia. Tidak hanya menulis, saya akan mengeksekusinya. Ada banyak sekali program Kemenristekdikti yang mendanai ide-ide mahasiswa untuk diwujudkan. Semakin lama menjadi mahasiswa, semakin saya tahu celah-celah untuk berkontribusi pada negeri ini dengan memanfaatkan status kemahasiswaan.
Lalu bagaimana dengan dia dan ketertarikan romantis terhadapnya? Tenang saja—saya tidak akan menjauhinya. Saya akan tetap berteman baik dengannya. Jika ujung-ujungnya dia suka saya dan saya—masih—suka, saya yakin kami bisa jadi pasangan yang berkontribusi untuk negeri ini. Pasalnya dia juga sama dengan saya—sama-sama memiliki keresahan-keresahan seputar isu sosial, politik, ekonomi, pendidikan. Inilah yang membuat saya tertarik padanya.
Kalau ujung-ujungnya dia tetap tidak suka saya—ya sudah. Saya selalu mengingat lirik ini, “If you love someone, set them free. You can’t control an independent heart.” Saya akan tetap berteman baik dengannya dan move on. Saya ingin menemukan orang lain yang sefrekuensi dengan saya dan bisa diajak melakukan kegiatan volunteering hingga ke pelosok negeri. Doakan saya segera menemukan the one itu ya! hehe.