Saya nggak tahu siapa yang pertama kali nonton reog sambil berharap liat tariannya, bukan orang kesurupan. Tapi yang jelas, kalau kamu lahir dan besar di desa, kamu pasti tahu: reog dan kuda lumping itu sudah berubah dari kesenian rakyat menjadi ajang drama supranatural live action tanpa naskah.
Niat awalnya mau nonton pertunjukan budaya. Liat barongan digoyang, gamelan ditabuh, dan pemain nari dengan semangat. Tapi 10 menit pertama udah mulai ada yang mata melotot, jalan nungging, teriak-teriak, bahkan salto nggak pakai aba-aba. Kadang bukan pemainnya, tapi penonton di pinggir lapangan. Tiba-tiba ambil peran sendiri, kesurupan duluan sebelum MC manggil.
Kalau pertunjukan teater biasanya penonton diem dan fokus ke panggung, di reog itu panggungnya justru pindah ke sudut-sudut kerumunan. Penonton bubar ke sana, ngerubungin orang yang kesurupan. Lupa sama penarinya, lupa sama barongannya, lupa sama si bapak tukang kendang yang udah ngos-ngosan ngetuk beat.
Kita tuh bukan nonton kesenian, tapi nonton siapa yang kesurupan duluan. Dan anehnya, ini jadi bagian yang ditunggu-tunggu.
“Eh, cah iki benten taun kepungkur wes kesurupan lho.”
“Wah, berarti bentar lagi wes lemprah maneh.”
Reog bukanlah hiburan utamanya
Yang lebih absurd lagi, kadang-kadang orang yang kesurupan itu bahkan bukan bagian dari tim reog. Penonton. Random. Tiba-tiba ikut-ikutan goyang, terus ndelosor sambil teriak-teriak, matanya putih, kakinya ke atas, dan kerabatnya langsung njerit, “Jangan diganggu! Iki cedak karo yang mbah dari jalur selatan!”
Saya sih bukan skeptis ya. Tapi kadang saya ragu juga. Soalnya, kesurupan di reog ini kadang kayak udah jadi bagian dari panggung hiburan wajib. Satu pertunjukan bisa ada lima orang kesurupan. Tiga dari pemain, dua dari penonton, satu bonus mungkin dari panitia. Lengkap. Multiverse supranatural desa.
Lucunya, begitu ada yang kesurupan, malah jadi main event. Gamelan berhenti, pemain nonton juga, anak-anak makin deket ke lingkaran. Bapak-bapak megangin yang kesurupan, ibu-ibu mulai nyari ember isi air. Kalau yang kesurupan mulai pecicilan, langsung ada yang ambil daun kelor, mulai ritual pengusiran.
Kalau kamu baru pertama nonton reog atau sejenisnya, pasti kaget. Tapi kalau kamu orang desa, ya santai. Bahkan kadang sambil makan es serut. Ini bukan kejadian luar biasa, ini bagian dari paket hemat budaya lokal.
Saya bahkan pernah lihat ada yang kesurupan pake gaya slow motion. Jadi nggak langsung ndelosor, tapi kayak nahan-nahan dulu. Matanya melotot pelan, badan goyang pelan, terus duduk pelan, baru deh njerit, “Wooo…woo…”
Kayak buffering setan 3G. Mungkin yang kesurupan juga sadar: harus kasih efek dramatis, biar penonton puas.
Dan jangan lupakan: kadang ada juga yang pura-pura. Yang begini biasanya ketahuan dari ending-nya. Soalnya susah banget dibangunin. Udah dibacain doa, udah disiram air, udah disemprot minyak kayu putih, masih aja tengkurep. Ternyata begitu dibisikin, “Kowe arep tak videoin, tak unggah nang YouTube,” eh langsung bangun. Jalan biasa. Bahkan sempet ngelipetin baju.
Masak kalah sama drama kesurupan?
Maksud saya bukan mau merendahkan budaya. Reog dan kuda lumping itu kekayaan luar biasa yang harus dijaga. Tapi yang sekarang terjadi, budaya itu kayak tertutup oleh tontonan bonus yang bikin kita lupa fokus utama. Kita ke acara reog bukan buat menikmati seni, tapi buat nunggu momen dramatis yang viral. Dan sedihnya, bagian seni aslinya malah luput dari perhatian.
Yang angkat kepala barongan, yang main kuda lumping sambil narik properti berat, yang main kendang sampe keringetan—semuanya jadi latar belakang dari adegan kesurupan. Padahal yang butuh apresiasi ya mereka.
Kalau diterusin kayak gini, nanti orang bukan belajar tentang reog sebagai warisan budaya, tapi malah nganggepnya acara pemanggilan roh massal. Budaya dikalahkan sama sensasi.
Mungkin udah saatnya kita belajar nonton reog dengan lebih fokus. Nonton buat lihat kekompakan penari, keindahan kostum, dan irama musik. Bukan buat betting siapa yang bakal kejang-kejang duluan. Karena kalau seni budaya dilihat cuma dari bonus kesurupan, lama-lama kita lupa bedain mana pertunjukan, mana sinetron horor Indosiar.
Dan buat yang kesurupan beneran—ya semoga cepat sembuh. Tapi buat yang cuma akting: plis deh, kembalilah ke jalan yang benar. Kasih ruang buat barongannya bersinar.
Karena sesungguhnya, reog itu bukan tentang siapa yang melotot duluan. Tapi tentang siapa yang bisa bikin budaya tetap hidup, tanpa harus dikuasai setan.
Penulis: Putri Ardila
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pemain Jaranan Suka Kesurupan, Antara Hayati Peran atau Gimmick buat Cari Perhatian















