Saya nggak punya akun twitter, tapi sesekali mencoba mencari tahu apa yang sedang banyak orang bicarakan lewat trending di twitter. Kebayakan berakhir kecewa karena lagi-lagi golongan bucin K-Pop mendominasi trending. Ngomongin K-Pop lagi ngomongin K-Pop lagi. Nggak bosen? Tapi ya…mencoba memahami dari sisi mereka juga, sih. Namanya juga fans. Aktivitasnya nggak jauh-jauh dari ngomongin idol mereka. Eh, bentar, deh. Saya jadi mikir. Berarti kalau ada orang ngomongin kita, mereka fans kita, dong! Uhuyyy.
Dari sekian banyak akun, saya sering mampir ke akun bang @jek___. Dia penulis buku Bincang Akhlak. Nggak kenal, ya? Nggak apa-apa. Mending nggak usah kenal.
Saya tahu akun @jek___ gara-gara waktu itu lihat salah satu cuitan dia yang jadi trending topik. Buat yang belum tahu, nih saya kasih lihat cuitan dia. Tapi tolong tahan emosi, ya… Yang lagi pegang pisau tolong pisaunya ditaruh dulu. Takut khilaf.
Ngeselin kan cuitannya?
Tapi ada lagi yang membuat saya makin kesal: komentar followernya.
Apa-apaan?? Binatang sama alat kelamin dibawa-bawa! Iya iya, saya tahu twitter itu tempat mainnya kaum rebahan santuy. Saya juga tahu kalau guyonan di twitter itu beda dengan di medsos lain semacam fesbuk dkk. Ta-tapi kan…Jiwa saya sebagai guru meronta-ronta, melihat generasi penerus bangsa–-ehm, dengan mudahnya mengatakan kata-kata kotor seperti bajingan dan nama-nama binatang.
Inginku menyeret mereka ke BK. Memberi tausiyah tentang pentingnya menjaga lisan. Bahwa lisan kita akan dipertanggungjawabkan, bahwa lebih baik diam daripada berkata yang tidak perlu, bla bla bla bla…Tapi apa daya, kita sedang berurusan dengan dunia maya. Nggak ada guru BK di dunia maya.
Di kota kelahiran saya, Tegal, bahasanya juga dikenal kasar. Kalau orang Tegal sudah berkumpul, maka kata-kata kasar seperti raimu, bangset, asu, bajingan dkk akan sering terlontar. Tapi nggak pernah tuh alat kelamin dibawa-bawa. Maksudnya nggak pernah menyebut alat kelamin, ya… Bukan orangnya nggak bawa alat kelamin. Hiyyaaa…dikira ban bisa bongkar pasang! Hihihi…
Yang kadang membuat saya semakin nyesek adalah bajingan dan nama-nama binatang itu juga diucapkan–-ditulis maksudnya, oleh seorang perempuan, manis, berkerudung pula.
Jadi gini loh. Meskipun nggak semuanya, tapi dari dulu kesan urakan dan nakal itu ya lebih sering ditujukan ke laki-laki. Perempuan itu ya identiknya lembut, manis dan sopan. Kayak saya. Ealahhh…ini kok malah nulis bajingan dan nama-nama binatang? Kalau foto profilnya perempuan ternyata yang punya akun laki-laki ya entah. Bisa juga begitu, kan? Namanya juga dunia maya. Tiap orang bebas mau pasang foto apa. Toh ketika buat akun nggak diminta foto KTP juga. Jadi mau pasang foto apapun…bebas.
Mudahnya mengucapkan bajingan dan nama-nama binatang ini bukan hanya di dunia maya. Di keseharian pun terjadi. Saya pernah tidak sengaja lewat di suatu kelas saat jam istirahat, ada siswa laki-laki yang sedang mengobrol asik sekali. Dan keluarlah kata itu. Begitu tahu saya lewat, langsung kincep mereka. Saling tuding. Di obrolan whatsapp pun pernah. Dengan entengnya anak-anak ini menuliskan kata-kata itu. Nggak cuma remaja dan orang dewasa, loh. Anak-anak juga. Tidak perlu kaget juga sih sebenarnya. Kan anak-anak itu meniru orang dewasa.
Dilihat dari entengnya anak-anak sekarang mengucapkan bajingan dan nama-nama binatang secara tertulis ataupun verbal, saya menduga ini sudah menjadi semacam kebiasaan yang entah apa penyebabnya. Pengaruh perkembangan teknologikah? Lingkungankah? Atau apa? Entahlah.
Yang pasti, namanya kebiasaan, kita tidak akan pernah merasa salah ketika melakukannya. Contoh, ada orang punya kebiasaan meletakkan upil di tembok. Ya dia tidak akan merasa kalau perbuatan dia itu salah. Kalau pun ada yang menegur, oke lah, sekali dua kali jera. Berikutnya? Diulangi lagi. Mau bagaimana lagi? Sudah kebiasaan. Susah sekali dihilangkan. Reflek aja gitu.
Tapi masa iya mau dibiarkan saja?
Takutnya, kebiasaan ini akan mendarah daging sehingga kita tidak bisa lagi mengontrol ucapan kita. Yang awalnya bajingan dan nama-nama binatang ini hanya keluar saat bersama teman akrab saja, tiba-tiba selalu keluar entah dengan siapa lawan bicara kita. Bisa membayangkan tidak misalnya yang sedang diajak ngobrol itu seorang dosen? Trus tiba-tiba kita menyahut: “Wah bajingan kau, ya. WA ku kenapa nggak dibalas?”. Hiyyaaa…apa nggak otomatis lulus dini tuh mahasiswa?
Saya yakin kita sama-sama sepakat bahwa mengucapkan bajingan dan nama-nama binatang ini tidak boleh dijadikan sebagai suatu kebiasaan. Bagaimana pun juga salah satu cara menilai seseorang adalah dengan melihat dari tutur katanya. Meskipun tak selamanya yang bertutur kata baik itu memiliki perangai baik, tapi paling tidak dengan berkata yang baik kita sedang berusaha menghormati lawan bicara kita.
Dan dihitung-hitung, ternyata total ada 10 kata bajingan di tulisan ini. Ralat. 12 ya, Bajingan…!
BACA JUGA Nggak Semua Orang Jawa Timur Ngomong Kasar dan Suka Misuhan dan tulisan Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.