Belakangan ini, sebuah video singkat viral di media sosial menampilkan seorang HRD yang buka suara soal tabir kelam job fair. Tanpa tedeng aling-aling, dia menyebut bahwa job fair lebih sering jadi formalitas semata. Bukan untuk merekrut tenaga kerja, melainkan untuk mengejar KPI instansi atau dinas yang butuh angka, bukan hasil.
Mirisnya, hal ini diamini Media Wahyudi Askar dari Celios yang menyebut job fair—terutama yang digelar pemda—cuma agenda simbolik tahunan, bukan solusi nyata pengangguran. Lebih seperti ritual musiman ketimbang ajang cari kerja yang beneran.
Fenomena ini menampar keras harapan para pencari kerja. Mereka yang datang dengan CV rapi, kemeja disetrika, dan mental setengah ciut tapi penuh harapan. Namun yang ditemui adalah booth berjejer, brosur berhamburan, dan hanya diberi janji-janji manis dari HRD yang entah beneran HRD atau cuma disuruh jaga stand. Job fair yang harusnya jadi jembatan, justru makin bikin jurang: antara harapan dan kenyataan dengan hasil nihil.
Job fair hanya ajang pamer branding perusahaan, bukan nyari orang untuk kerja
Berdasarkan pengalaman pribadi dan cerita dari rekan-rekan sesama pencari kerja, job fair saat ini lebih menyerupai panggung promosi perusahaan ketimbang ruang perekrutan yang sesungguhnya. Banyak perusahaan hadir dengan booth yang mencolok, materi visual yang menarik, dan desain stand yang terkonsep rapi. Namun, ketika pelamar mencoba menggali informasi lebih dalam terkait posisi yang tersedia, respons yang diberikan seringkali bersifat standar: “Silakan tinggalkan CV, nanti akan kami proses.”
Ini memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa membuka stand jika formasi yang ditawarkan sudah tidak tersedia? Mengapa meminta kehadiran pelamar secara langsung bila proses seleksi tetap akan dilakukan secara terpusat dan tidak ada kepastian tindak lanjut? Di sinilah ironi job fair terlihat jelas. Meskipun dikemas secara profesional dan terbuka, kenyataannya tidak sedikit yang hanya menjadi acara seremonial tanpa tujuan perekrutan yang sungguh-sungguh.
Bahkan, bentuk “prank” terhadap pelamar tidak hanya terjadi di job fair. Banyak pula kasus di mana lowongan kerja dibagikan secara luas, namun ternyata kandidat yang lolos sudah ditentukan sebelumnya. Baik karena hubungan kekerabatan, kedekatan personal, atau rekomendasi internal. Tentu tidak semua perusahaan melakukan praktik ini. Tapi, realitas semacam ini cukup sering terjadi dan tidak bisa diabaikan.
Penganggur membutuhkan akses dan keterampilan, bukan sekadar event tahunan
Sudah sepatutnya pemerintah mulai mengevaluasi efektivitas job fair dalam konteks kebutuhan riil pencari kerja saat ini. Berdasarkan data terbaru dari BPS 2024, terdapat kesenjangan yang cukup mencolok antara jumlah pencari kerja dan ketersediaan lowongan kerja di berbagai provinsi. Di Jawa Barat, misalnya, tercatat ada sekitar 296.636 pencari kerja, sementara lowongan yang tersedia hanya 148.663. Di Jawa Tengah, situasinya tidak jauh berbeda. 179.414 pencari kerja harus bersaing memperebutkan 131.741 lowongan. Bahkan di Lampung, angka perbandingannya lebih ekstrem, 31.259 pencari kerja hanya dihadapkan pada 9.539 peluang kerja.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa problem utama pengangguran bukan sekadar ketidaktahuan akan peluang kerja, melainkan minimnya lapangan kerja itu sendiri. Maka, menyelenggarakan job fair sebagai solusi “andalan” jelas tidak cukup. Apalagi jika formatnya masih sebatas seremoni tanpa kejelasan rekrutmen atau tindak lanjut yang konkret.
Dalam kondisi di mana lowongan kerja memang sangat terbatas, mestinya fokus kebijakan harus bergeser ke arah peningkatan keterampilan, pendampingan karier, serta pembukaan jalur kerja nonformal dan kewirausahaan. Energi dan anggaran yang selama ini terserap untuk menggelar job fair lebih baik dialihkan ke program-program semacam ini yang memiliki dampak jangka panjang dan berorientasi pada pemberdayaan.
Saatnya menghentikan gimmick ini
Sudah saatnya menghentikan gimmick ini dan beranjak membangun sistem yang benar-benar mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Job fair yang ada saat ini hanya jadi panggung pencitraan semu bagi pejabat-pejabat yang dengan bangga mempromosikan acara tersebut setiap tahunnya. Sayangnya, kemegahan event itu tidak diikuti dengan perubahan nyata bagi nasib para penganggur. Alhasil para pencari kerja tetap berjuang sendiri menghadapi realitas keras tanpa ada kepastian kerja yang jelas setelah mengikuti job fair.
Padahal job fair bukan hanya soal banyaknya perusahaan yang hadir dan memamerkan booth megah. Melainkan soal akses nyata yang diberikan kepada para pencari kerja. Justru menurut saya, mereka lebih membutuhkan kesempatan untuk memperoleh keterampilan yang relevan dan pembekalan yang bisa meningkatkan daya saing di dunia kerja. Tanpa adanya investasi dalam pelatihan dan pendampingan yang efektif, job fair hanya menjadi ajang pengumpulan data atau formalitas yang tidak berdampak signifikan pada penyerapan tenaga kerja.
Atau barangkali memang benar, job fair pada kenyataannya hanya menjadi alat untuk mengawasi populasi buruh yang bisa diberi upah rendah. Sehingga pengangguran akan tetap dipelihara, dibesarkan, dan dipertahankan oleh negara. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Neneng Rosdiyana lewat postingan sosmednya, seorang petani perempuan yang kalau saya lihat pemikirannya bisa jauh lebih revolusioner dibandingkan Karl Marx. Ah, yo ngalah tenan biyung.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Ikut Job Fair Beneran Bisa Dapat Kerja Nggak, sih? Bisa dong!




















