Pada akhirnya, bioskop CGV pun tak bisa menyelamatkan Transmart, yang pelan-pelan kehabisan nafas, menunggu semuanya menghilang tanpa bekas
Transmart, atau yang dulu dikenal sebagai Carrefour, pernah menjadi oase bagi keluarga urban kelas menengah yang ingin berbelanja bulanan, makan siang dan kadang cuci mata sambil ngadem di mall yang tidak terlalu mewah, tapi cukup komplit. Di masa jayanya, Transmart mengusung konsep one stop shopping: dari buah apel sampai mesin cuci, dari nugget sampai boneka Pokemon raksasa, semua bisa ditemukan di satu tempat, sangat praktis.
Namun, semua yang hidup akan meredup. Transmart sekarang lampunya masih menyala, tapi kosong, hening, dan agak menyeramkan. Rak-rak kosong seperti kena panic buying tapi sayangnya bukan karena permintaan tinggi, melainkan karena tidak diisi lagi.
Saya sendiri punya kenangan cukup hangat, dulu saat baru pertama kali buka, Transmart menyumbang kemacetan di area sekitarnya. Pengunjung membludak, hingga parkiran tak cukup menampung kendaraan. Alhasil parkiran mengular hingga ke pinggir jalan.
Tapi, terakhir saya ke Transmart, sekitar dua minggu lalu sebelum menulis artikel ini, suasananya berubah total. Area mainan anak kosong melompong hanya tersisa wahana yang tidak dinyalakan menambah kesan seram. Saya menyusuri setiap lantai di Transmart, selama itu pula saya hanya berpapasan dengan satu dua orang pengunjung yang sedang menuju bioskop CGV.
Di situ saya cuma bisa mikir: Transmart, kamu dulu ramai banget, loh. Kok bisa begini?
Drama ritel di era belanja online
Pola belanja masyarakat telah mengalami mutasi. Bukan cuma berubah, tapi sudah berevolusi. Jika dulu kita harus mendorong troli dan berkeliling lorong-lorong rak hanya untuk membeli kaus oblong yang pas sesuai ukuran tubuh kita, sekarang cukup klik sana-sini di aplikasi e-commerce, tinggal tunggu diantar kurir. Kepraktisan ini bukan main, kita bisa belanja sambil rebahan.
Mau bandingkan harga? Ya tinggal geser layar. Cari diskon? Tinggal pakai voucher. Nggak perlu antre panjang di kasir, nggak perlu nyari parkiran sampai muter tujuh kali. Dan yang paling penting, nggak perlu mandi dulu.
Di tengah revolusi itu, Transmart tampak terengah-engah. Masih bertahan, tapi dengan daya tarik yang semakin pudar. Kalau toko fisik seperti Transmart ingin bertahan, mereka nggak bisa hanya mengandalkan diskon dadakan atau spanduk “cuci gudang”. Mereka harus menciptakan alasan yang kuat biar orang rela datang, bukan cuma karena butuh, tapi karena ingin. Nah, di sini tantangannya.
Diskon yang terasa seperti privilege sosial
Salah satu keluhan yang sering terdengar dari mulut konsumen adalah soal harga barang di Transmart yang katanya agak bikin dompet ngos-ngosan. Bukan tanpa alasan, kalau dibandingkan dengan minimarket tetangga, supermarket lokal atau toko madura di pojok gang, harga barang di Transmart memang cenderung “naik kelas.” Yang bedanya itu nggak cuma seribu-dua ribu aja.
Yang bikin lebih sedih adalah momen ketika kita melihat spanduk diskon besar-besaran dipasang dengan megah, warna merah mencolok, huruf kapital semua dan ada tulisan “DISKON 50%” yang bikin hati senang. Tapi begitu kita baca catatan kecil di bawahnya tertulis: hanya untuk pemegang kartu kredit Bank Mega.
Nah lho, jadi selama ini yang bukan pemegang kartu Bank Mega itu dianggap siapa? Warga kelas dua? Konsumen tidak resmi? Tamu tak diundang? Fenomena ini tentu bikin banyak orang merasa asing di rumah sendiri. Bayangkan, datang ke Transmart dengan niat belanja mingguan, sudah antri panjang, sudah bawa list belanja dari istri. Eh, ternyata hampir semua promo hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang memegang ‘kartu sakti’ itu.
Lucunya, promosi semacam ini justru menciptakan eksklusivitas yang menjauhkan Transmart dari esensi utamanya: menjadi tempat belanja untuk semua kalangan. Alih-alih jadi supermarket rakyat, dia malah terkesan seperti lounge bandara, yang boleh masuk cuma yang punya akses khusus. Padahal kalau mau jujur, yang bikin supermarket bisa besar ya karena konsumen kecil, yang belanjanya nggak seberapa tapi rutin. Yang suka beli roti diskonan, mie instan 5 bungkus, dan kental manis.
Dari sudut pandang bisnis, kolaborasi dengan Bank Mega itu menguntungkan. Tapi dari sisi kenyamanan konsumen, ya nggak semua orang punya atau mau punya kartu kredit. Jadi, ya wajar kalau mereka merasa dikecewakan oleh sistem promo yang pilih-pilih ini.
Bioskop CGV: magnet terakhir yang menghidupkan jantung Transmart
Kalau Transmart itu ibarat tubuh manusia, maka biopskop CGV bisa dibilang jantungnya yang masih berdetak kencang, walau bagian tubuh lain sudah mulai kaku. Berbeda jauh dengan area retail-nya, bioskop CGV justru masih ramai. Masih ada suara bisik-bisik excited dari anak muda yang ngantre tiket dan masih ada pasangan yang ribut milih kursi paling nyaman buat nonton.
Fenomena ini menarik. Bioskop CGV sering ngasih promo tiket seolah mereka tahu betul bahwa dunia hiburan, hal ini sangat dibutuhkan. Tapi ada satu hal yang jadi ironi kecil di sini: pengunjung CGV ini kebanyakan tipe “datang-nonton-pulang”. Begitu film selesai, mereka langsung bubar jalan, turun eskalator, ke parkiran dan ngilang. Tenant-tenant lain di dalam Transmart? Ya, cuma lewat. Bahkan kadang nggak dilirik sama sekali.
Ini jelas jadi catatan penting. Sebab trafik pengunjung yang lumayan tinggi di area bioskop CGV ternyata nggak otomatis berbanding lurus dengan transaksi ritel. CGV berhasil jadi magnet, tapi magnetnya bersifat satu arah. Menarik orang tapi nggak bikin mereka lengket, Transmart berharap efek domino, yang terjadi malah efek “monopoli” semua perhatian terpusat ke satu titik.
Akhirnya, bioskop CGV kayak anak sulung yang paling sukses di keluarga. Sementara adik-adiknya alias si tenant lain cuma bisa melihat iri dari kejauhan, sambil berharap satu dua penonton film sudi mampir, walau cuma buat beli air mineral.
Penulis: Alifah Ayuthia Gondayu
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Alasan Saya Malas Belanja ke Transmart Maguwo Jogja yang Pernah Dipuja-puja Warga
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















