Nganjuk punya banyak julukan, salah satunya adalah Kota Angin. Julukan ini muncul mengingat Nganjuk diterpa banyak angin karena kondisi geografisnya yang berada di bawah Gunung Wilis dan Gunung Arjuno. Sebagai orang Nganjuk yang pernah bepergian ke daerah lain, saya akui angin daerah ini memang beda. Di satu sisi hembusannya bikin segar, tapi juga membuat kesal karena bikin rambut berantakan dan mata kelilipan. Yang paling menyebalkan, jemuran jadi sering jatuh tertiup angin.
Julukan Nganjuk Kota Angin sudah melekat sejak lama. Namun, saya merasa julukan itu sia-sia belaka. Sebab, selama hidup di Nganjuk, julukan ini hanya sebatas kata-kata yang digaungkan berkali-kali, tapi tidak meninggalkan jejak atau kesan apapun. Pemerintah setempat seolah-olah enggan menangkap peluang dari julukan ini. Bahkan, tidak dalam bentuk tugu yang biasanya sangat mereka suka.
Tidak ada tugu atau simbol yang menunjukkan Nganjuk Kota Angin
Nganjuk Kota Angin sebenarnya julukan sudah lawas, bahkan sudah ada sejak sebelum saya lahir. Anehnya, setahu saya, julukan itu tidak pernah terwujud dalam bentuk tugu atau landmark lain. Tidak seperti julukan Kota Bawang yang sudah dibuatkan tugu di Jalan Mastrip, Mangundikaran. Bahkan, sekadar kata-kata manis semacam “Selamat Datang di Kota Angin” saja sulit kalian temukan di kabupaten yang berbatasan dengan Kediri ini.
Saya jadi berprasangka buruk, jangan-jangan Nganjuk Kota Angin muncul tanpa pertimbangan yang matang. Mungkin, mereka yang mencetuskannya dahulu hanya melihat realitas di lapangan yang banyak angin kemudian membuat julukan Nganjuk Kota Angin tanpa berpikir panjang potensi atau peluang di baliknya. Itu mengapa Nganjuk Kota Angin kini cuma jadi identitas yang ngambang dan kurang tertanam di benak warga. Mungkin hal inilah alasan di balik tidak ada tugu yang mencerminkan julukan Kota Angin.
Baca halaman selanjutnya: Prasangka buruk lainnya …




















