Saya orang Madura dan sejujurnya saya agak cemas mengulik tema tulisan seputar tanah kelahiran ini. Ketakutan itu menguat setelah tulisan teman saya, Abdur Rohman, terkait Pulau Garam ini viral dan menuai pro kontra. Tulisan itu berjudul Sebagai Warga Bangkalan Madura, Saya Setuju Suramadu Dirobohkan kalau Memang Meresahkan Warga Surabaya. Saking riuhnya, teman saya sampai harus membuat klarifikasi di akun Instagram pribadi miliknya.
Saya menyadari, tempat asal saya ini tidak begitu disukai karena begitu banyak citra buruk yang menyebar. Citra buruk yang sebenarnya terbentuk karena orang-orang atau pihak-pihak tertentu yang kurang bertanggung jawab. Walau begitu, saya tidak pernah menyesal terlahir dan menjadi bagian dari Madura karena hal-hal ini:
#1 Tradisi yang masih kental dan mengakar hingga saat ini
Saya tinggal di Bangkalan yang merupakan daerah paling dekat dan mudah diakses dari Surabaya yang sudah modern. Berbagai pengaruh dari luar sebenarnya dapat dengan mudah masuk, tapi daerah saya masih memelihara dan menjalankan tradisinya hingga saat ini. Saya rasa begitu juga dengan daerah-daerah di Madura lainnya.
Berbagai tradisi yang masih ada di daerah saya adalah ter-ater yang biasa dilakukan saat hari raya Idulfitri dan Iduladha. Ter-ater di hari raya berarti menghantar panganan khas Madura kuah Adhun kepada tetangga dan sanak saudara sekaligus sebagai ajang bersilturrahmi.
Tradisi lain yaitu pengajian keliling dan bersedekah saat bulan Maulid tiba. Membuat tajhin peddhis (pedas) di bulan Muharram dan tajhin mira (merah) di bulan Safar. Ada juga tradisi sedekah bumi atau cocok bumih sebagai penanda memasuki tahun baru Hijriyah di bulan Muharram dan arebbha setiap malam Jum’at.
Hampir setiap memasuki bulan hijriyah yang baru, terdapat tradisi-tradisi yang masih dijalankan. Tradisi-tradisi ini mungkin sedikit luntur di sisi perkotaan, tapi kemungkinan besar masih dijalankan di pelosok desa. Tradisi tersebut mengikat masyarakat Madura seperti saya dengan tanah kelahirannya. Bahkan, beberapa perantau dari Madura juga masih banyak yang turut serta melestarikannya di luar sana.
#2 Orang Madura ada di mana-mana
Saat kuliah, saya sempat mengalami culture shock ketika bertemu teman sekelas yang berasal dari Probolinggo, tapi sangat fasih berbahasa Madura. Lho, kok bisa? Padahal dia kan nggak tinggal di Madura? Dari sanalah saya mulai berkenalan dengan istilah Madura swasta.
Keberadaan orang-orang Madura swasta tersebut membuat saya agak sedikit gembira. Setahu saya, hanya suku Madura saja yang punya istilah semacam ini terkait persebaran masyarakat dan bahasanya di berbagai daerah, khususnya daerah Tapalkuda. Keberadaan orang Madura, baik asli maupun swasta, yang ada di mana-mana itu membuat bahasa daerah tetap ada dan terjaga.
Baca halaman selanjutnya: #3 Warung Madura …




















