Dulu, saya kira setelah kuliah, punya ijazah sarjana, dan punya pengalaman itu akan mempermudah dalam mencari pekerjaan yang lebih nyaman di tempat yang lebih oke. Tapi, kenyataannya tidak seindah itu. Saya sudah membuktikannya dan merasakannya sendiri bahwa di Indonesia, yang nomor satu itu bukan pendidikan, tetapi relasi.
Sejak akhir 2024, saya mengalami krisis keuangan. Kalau para wartawan merasakan badai PHK itu sekarang, saya sudah merasakan krisis ekonomi di dunia pers itu sejak akhir 2024. Perusahaan tempat saya bekerja harus menahan gaji semua orang di tingkat manajemen, tapi kami tetap mengutamakan agar staff redaksi atau wartawan di lapangan mendapatkan gajinya.
Saya pun terpaksa mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kehidupan. Saya tidak mungkin mengandalkan dari menulis, sebab dunia freelance juga pasti ada naik turunnya. Apalagi sekarang digempur dengan AI yang bisa menulis meniru gaya kita sendiri, yang jadi alasan kenapa artikel saya selalu ditulis dengan gaya dan pola yang berbeda-beda.
Banyak platform saya gunakan untuk melamar pekerjaan, mulai dari email, Glints, KitaLulus, Jobstreet, dan lain-lain. Puluhan bahkan ratusan lamaran sudah saya kirim ke berbagai perusahaan. Namun, tidak ada kejelasan dari mereka. Yang membalas dan memberi janji bekerja malah job scamming yang mengiming-imingi gaji tinggi dengan kerja remote.
Akhirnya, ijazah sarjana dan pengalaman kerja jadi seakan tak berharga di sini.
Ijazah sarjana nggak kepake, malah relasi yang kepake
Tapi dengan bermodalkan relasi, tidak butuh waktu sebulan, saya sudah bisa bekerja. Saya pun bekerja di pabrik air minum dalam kemasan yang ada manis-manisnya di Cianjur. Bayangkan, tidak perlu waktu sebulan untuk bisa bekerja di sini. Semua itu bukan karena ijazah sarjana dan pengalaman saya yang bertahun-tahun di dunia jurnalistik, tetapi karena teman saya.
Saya meminta teman saya untuk merekomendasikan saya karena di sana sedang kekurangan karyawan. Berbagai berkas pun saya lengkapi. Semua tahapan pun saya lalui, mulai dari psikotes interview dengan HRD, interview dengan user, dan lain sebagainya sudah saya penuhi. Bahkan, tidak terhitung lagi biaya saya ke tukang fotokopi untuk menggandakan dokumen saya itu.
Meskipun pekerjaannya toxic, seperti atasan yang galak dan kasar, job desc rangkap, dan sistem kerja yang eksploitatif, saya bersyukur bisa bekerja di sini dengan tujuan memperbaiki keuangan untuk sementara. Setelahnya, jelas saya tetap akan berkarir di dunia media digital, itu sudah menjadi cita-cita saya sedari kecil.
Relasi nomor satu
Pengalaman saya ini membuktikan bahwa untuk bisa cepat mendapatkan pekerjaan, relasi jelas sangat diperlukan. Mungkin, perusahaan tidak akan peduli kamu lulusan mana, berapa nilaimu, bagaimana sidang skripsimu, ijazah sarjana, atau berapa lama kamu sudah bekerja, dan lain sebagainya. Tapi, mereka mungkin akan bertanya, “Tahu dari siapa ada lowongan kerja di sini?”
Pertanyaan itu juga yang HRD lontarkan ketika saya interview. Pertanyaan-pertanyaan yang dibagikan artikel tips di Google itu hanya muncul sekitar 10-15 persen saja, kok. Siasanya ngomongin background pelamar dan bagaimana pelamar bisa dan mau bekerja di perusahaan itu.
Hal ini juga yang membuat saya langsung menghubungi teman-teman kuliah saya dulu. Bahkan, beberapa teman SMA juga saya hubungi. Bukan untuk meminta loker, tapi sekadar menanyakan kabar. Kalau pun ada momennya untuk nongkrong bareng, di sana lah titik untuk bisa membangun karier.
Dengan catatan, teman kamu juga punya pekerjaan yang bagus, hehehe.
Tetap belajar, biar punya wawasan
Jadi, buat adik-adik sekalian, yang ingin bekerja setelah lulus SMA atau lulus S1 nanti, jangan tinggalkan teman-teman kalian. Rawatlah silaturahmi, bergaulah dengan baik dan benar, serta sehat. Sebab, siapa tahu, teman-teman kalian lah yang akan menyelamatkan karier dan keuangan kalian di masa depan. Yang jelas, ijazah sarjana tak lagi jadi satu-satunya tali penyelamat.
Tapi, bukan berarti kita jadinya jumawa tidak mau belajar, tidak mencoba hal baru, atau tidak berkuliah dan mendapatkan sertifikasi. Hal-hal itu juga tetap penting, karena kalau kalian hidup di masyarakat dalam keadaan bodoh dan kurang wawasan, jangankan nyari solusi, nyari masalah aja pasti nggak akan bisa.
Penulis: Muhammad Afsal Fauzan S.
Editor: Rizky Prasetya




















