Sebagai anak Boyolali yang sehari-hari hidup di Semarang karena kuliah, saya sebenarnya nggak asing-asing amat sama Solo. Jarak dari rumah ke pusat Kota Solo cuma selemparan sandal dari gerbang desa. Dari kecil saya sudah akrab dengan suasana Manahan, jalan-jalan sore di Sriwedari, jajan di Galabo, dan nongkrong lesehan di bawah flyover Purwosari. Maka, waktu saya pindah ke Semarang buat kuliah, saya pikir ini saatnya jadi anak kota yang keren.
Tapi ternyata, jadi anak kota itu nggak selalu seglamor yang dibayangkan. Semarang itu kota besar yang seru, iya. Tapi juga panasnya naudzubillah, macetnya kadang kayak Jakarta kecil, dan biaya hidupnya bisa bikin dompet mahasiswa menangis di pojokan.
Dari situlah rasa iri itu muncul. Iri dengan mahasiswa Solo. Bukan cuma karena mantan saya sekarang kuliah di Solo dan udah punya gandengan baru, tapi karena Solo itu sendiri terlalu nyaman untuk tidak dicintai. Berikut ini adalah tiga hal yang bikin saya, mahasiswa Semarang asal Boyolali, merasa hidup di Solo jauh lebih enak.
Biaya hidup di Solo lebih bersahabat daripada Semarang
Di Semarang, kos standar saja bisa menyentuh angka Rp700 ribu per bulan, bahkan di dekat kampus saya rata-rata bayarnya pertahun. Kalau mau yang deket kampus dan nggak horor, ya siap-siap bayar lebih. Itu belum sama biaya makan, bensin, print tugas, kuota, dan jajan biar nggak stres. Akhir bulan? Siap-siap jadi fakir mie instan.
Sementara teman-teman saya di Solo bisa hidup dengan lebih damai. Mereka bayar kos cuma Rp450 ribu, dapat kasur empuk, WiFi, dan ibu kos yang suka ngasih gorengan. Makan juga gampang, warteg murah, angkringan di mana-mana. Uang Rp10 ribu di Solo cukup buat beli nasi, sate usus, gorengan, dan teh hangat. Di Semarang? Itu baru cukup buat nasi kucing doang.
Solo itu nggak cuma murah, tapi juga manusiawi. Di sana, mahasiswa nggak harus kerja freelance 3 tempat cuma buat bayar sewa kos. Mereka punya ruang buat hidup, bukan cuma bertahan.
Cuaca lebih kalem, nggak bikin emosi
Saya pernah bangun pagi di Semarang dan merasa kayak udah hidup di dalam oven. Baru jam 8, tapi matahari udah menyinari kayak jam 12 siang. Jalan kaki dari kos ke kampus cuma 10 menit, tapi keringat mengalir kayak habis maraton. Rasanya tiap hari dikejar suhu, bukan jadwal kuliah.
Semarang itu panasnya nggak sopan. Angin jarang mampir, apalagi pas musim kemarau. Dan kalau udah siang bolong, jalanan bisa silau kayak cermin. Nggak heran kalau mahasiswa di sini lebih gampang emosi—bukan karena tugas, tapi karena cuaca.
Di Solo beda. Udara lebih adem, jalanan lebih rindang, dan angin sering mampir. Bahkan siang hari pun masih enak buat jalan kaki. Di sekitar kampus UNS atau UMS, suasana tenang, banyak pohon, dan adem banget. Badan lebih segar, pikiran juga lebih ringan.
Sebagai anak Boyolali yang terbiasa dengan sejuknya hutan mini di desa, Semarang tuh kayak dunia lain. Mandi air dingin jadi tantangan, dan jalan siang hari harus siap dengan handuk kecil atau tisu di tas.
Kehidupan sosial dan budaya Solo terasa lebih akrab
Solo itu kota yang ramah. Mau nongkrong di angkringan, duduk di taman, atau sekadar beli teh poci, selalu ada kemungkinan buat ngobrol sama orang baru. Suasananya santai, nggak terburu-buru. Orangnya juga nggak gengsian. Di Solo, ngobrol ngalor-ngidul sambil lesehan itu udah jadi budaya.
Tempat nongkrong di Solo juga nggak harus mahal. Banyak ruang publik gratis yang nyaman. Sementara di Semarang, ruang seperti itu masih kurang. Nongkrong seringnya di kafe, yang kadang harga kopinya bisa buat makan dua kali di Solo.
Kehidupan budaya di Solo juga aktif banget. Dari festival seni, pertunjukan wayang, sampai diskusi sastra, semua ada. Sebagai mahasiswa sejarah, saya merasa Solo itu laboratorium budaya hidup. Nggak cuma teorinya yang bisa dipelajari, tapi praktik dan suasananya juga bisa langsung dirasain.
Saya pernah ikut diskusi budaya di taman kota Solo, ngobrol santai sama orang-orang dari berbagai kampus. Nggak ada sekat, nggak ada formalitas. Yang penting: kopi ada, obrolan jalan. Rasanya hangat dan dekat. Di Semarang? Hanya menemui forum forum diskusi santai biasanya hanya di sekitar kampus saya belajar dan itu pun hanya dari kalangan mahasiswa.
Akhir kata, meskipun saya sekarang hidup di Semarang, hati saya masih sering pulang ke Solo. Entah itu untuk sekadar beli cilok depan Benteng Vastenburg, ngopi santai di pinggir Jalan Slamet Riyadi, atau sekadar menikmati sore di Manahan. Solo itu bukan cuma kota, tapi suasana. Bukan sekadar tempat, tapi perasaan.
Saya nggak bilang Semarang buruk. Di sini saya banyak belajar, banyak berkembang, dan tentu saja banyak berpanas-panas ria. Tapi kalau disuruh milih tempat buat hidup lebih lama, mungkin saya akan jawab: Solo, kota mantan yang masih bikin saya susah move on.
Penulis: Rahul Diva Laksana Putra
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Saya Sudah Muak dengan Kota Solo yang Berhenti Nyaman dan Berhenti Menyenangkan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















