Saya nggak menampik kalau sering mengomel soal Bantul, khususnya masalah penerangan jalan dan kondisi aspal yang selalu nggak rata. Entah sudah diperbaiki berapa ratus kali, tapi aspalnya selalu saja berlubang lagi dan lagi. Bahkan, akhir-akhir ini, Jalan Bibis yang dekat dengan kediaman saya, kerusakannya semakin parah. Selain itu, kejahatan jalanan, seperti klitih juga terbilang masih marak.
Selain hal-hal yang sifatnya fakta tadi, saya masih harus menghadapi anggapan nyeleneh dari teman-teman saya yang nggak tinggal di Bantul. Olok-olokan yang sering saya terima inilah yang membuat seorang teman menyarankan saya tinggal di Klaten saja. Kebetulan, kawan saya ini dari kabupaten yang terkenal akan panganan Soto Garing itu.Â
Tawaran tersebut membuat saya tergelitik, lha wong status keduanya sama-sama merupakan kabupaten. Apalagi, persepsi di kepala banyak orang, Klaten itu lebih pedesaan daripada Bantul. Namun, jujur saja, tawaran itu yang akhirnya membuat saya membandingkan kedua kabupaten ini. Apakah memang benar kalau Klaten lebih nyaman daripada Bantul?
Keduanya sama-sama nyamanÂ
Saya coba bandingkan dari sisi wisata alam yang dimiliki oleh Bantul dan Klaten. Jika kita membicarakan Bantul, potensi wisata alam yang paling kentara sudah pasti pantai, sebut saja Pantai Kuwaru, Pantai Goa Cemara hingga Pantai Cemara Sewu.
Nah, kalau di Klaten, setidaknya ada dua wisata alam yang sering disebutkan oleh teman saya, yakni Rowo Jombor dan Umbul Ponggok. Semuanya merupakan wisata air dan selalu ramai pengunjung, ya cukup okelah untuk jadi lokasi hiburan pelepas penat bagi masyarakat setempat. Intinya, dua kabupaten ini sama-sama punya potensi alam yang menarik untuk dieksplore.Â
Selain itu, saya coba membandingkannya dari keberadaan Gacoan dan Mixue, tolok ukur yang dulu pernah diyakini sebagai tolok ukur modernitasi. Nah, warga Bantul dan Klaten sekarang sudah boleh berbangga diri karena warung mie pedas dan gerai es krim tersebut sudah membuka cabang di sana. Jadi, bisa diakui, ya kalau Bantul dan Klaten sudah layak disebut sebagai daerah yang modern.Â
Mal ada di Klaten, warga Bantul gigit jari
Pembicaraan mengenai modernitas di Klaten dan Bantul dengan salah seorang teman tadi kemudian mengarah pada keberadaan mal dan bioskop. Waduh, jangan langsung di-ulti begitu, dong! Kalau begini ‘kan saya langsung kicep. Boro-boro bioskop, di Bantul saja nggak ada mal yang berdiri, paling pol Mulia Toserba dan swalayan Purnama doang!
Teman saya kemudian mengatakan bahwa Klatos atau Klaten Town Square (meski warga setempat lebih meyakini bahwa Klatos adalah singkatan dari Klaten Atos) adalah bentuk nyata modernitas Klaten saat ini. Mal satu-satunya di Klaten itu kemudian jadi hal yang paling sering dibanggakan oleh warganya.Â
Teman saya pun semakin umuk, tidak hanya menyoal Klaten Town Square saja, tetapi juga fasilitas di dalamnya yang begitu menunjukkan sisi urban: bioskop!
Dengan adanya bioskop di Klaten, jujur saja, saya jadi khawatir kalau setelah ini teman-teman saya berpikiran bahwa Bantul masih berada di era layar tancap, duh! Saya harus membersihkan nama baik Bantul berapa kali lagi coba?
Meski sama-sama kabupaten, agaknya poin terakhir memang menunjukkan Klaten memiliki keunggulan di sisi urban. Saya nggak bisa menampik, keberadaannya yang diapit Jogja dan Solo membuat kabupaten maju lebih pesat daripada Bantul.
Saya jadi bertanya-tanya, kalau mal memang nggak bisa didirikan di Bantul, kira-kira hal urban apa yang mungkin bisa dimunculkan di kabupaten ini, ya?
Penulis: Cindy Gunawan
Editor: Kenia IntanÂ
BACA JUGA Bantul akan Baik-baik Saja Tidak Punya Mal Selama Ada Tempat-tempat Ini
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.