PPN, tiga huruf yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan, ada yang pro dan ada yang kontra. Meski ada juga yang diam saja, karena mungkin lebih sibuk menghitung sisa saldo di rekening. Kalau PPN ini orang, mungkin sudah menerima endorse sana-sini, tapi persoalannya dia kan bukan manusia. Dia adalah kebijakan pajak yang akan diberlakukan oleh Pemerintah terhitung mulai Januari tahun 2025.
Nah persoalannya, Kenaikan PPN ini meski ramai dibicarakan, tapi hanya terbatas oleh kalangan yang terdidik dan kalangan kelas menengah. Sementara itu, mereka yang grass root, banyak yang nggak peduli, acuh tak acuh, dan mungkin malah nggak paham soal PPN. Padahal pemberlakuan PPN punya efek pengganda yang bisa memengaruhi kenaikan harga-harga barang dan jasa, baik secara spontan maupun gradual. Maka dari itu, perihal PPN ini tidak boleh hanya terbatas dipahami oleh kalangan terdidik atau kelas menengah, tapi harus seluruh kalangan.
Nah mari kita bedah PPN ini secara lebih sederhana.
Daftar Isi
Apa itu PPN?
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan terhadap setiap aktivitas konsumsi barang atau jasa di sebuah negara. Jadi setiap kita belanja, ada penambahan pajak yang dihitung dari sekian persen atas harga barang atau jasanya. Nah kalau konteksnya di Indonesia, PPN-nya akan jadi 12 persen. Jadi misal kalau kita beli kopi americano di café seharga Rp20 ribu, akan dikenakan pajak sebesar 12 persen, artinya Rp20 ribu + 12 persen = Rp22 ribuan.
Sekilas, kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen ini terlihat kecil. Ah cuma nambah bayar Rp2 ribuan untuk americano mah sepele lah. Tapi kalau beli mobil atau motor bagaimana? PPN ini amat sangat terasa bagi konsumen. Motor yang harganya Rp20 juta, yang dibayar jadinya Rp22,2 juta. Ada tambahan 2 jutaan. Kalau mobil yang harganya ratusan juta, PPN-nya menyentuh puluhan juta.
PPN ini memang jadi pajak yang umum diberlakukan di banyak negara. Perbedaannya hanya dari segi persentase yang dikenakan dari tiap barang atau jasa yang dikonsumsi masyarakat. Indonesia sendiri jadi negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN bersamaan dengan Filipina. Sementara yang terendah adalah Brunei Darussalam yang PPN-nya 0 persen. Negara yang PPN-nya tinggi biasanya negara yang pertumbuhan ekonominya bergantung dengan konsumsi masyarakatnya. Makin banyak konsumsi terjadi, pertumbuhan ekonomi makin tinggi.
Apa saja Barang atau Jasa yang Terkena PPN?
Kalau mengacu UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kemudian telah beberapa kali diubah, terakhir menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), PPN dikenakan untuk barang dan jasa tertentu yang disebut Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Namun, tidak semua barang atau jasa dikenakan PPN, karena ada barang/jasa yang dikecualikan.
Pertama Barang Kena Pajak (BKP), yaitu barang berwujud atau tidak berwujud yang dikonsumsi di dalam negeri. Contoh barang yang terkena PPN adalah:
- Barang Berwujud:
- Barang kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan minuman kemasan (misalnya, air mineral botol, makanan ringan, dll)
- Barang elektronik (seperti TV, kulkas, mesin cuci, smartphone).
- Kendaraan bermotor (motor, mobil).
- Pakaian jadi (termasuk impor pakaian dari luar negeri).
- Perabotan rumah tangga (seperti sofa, meja, kursi).
- Barang Tidak Berwujud:
- Hak atas kekayaan intelektual (misalnya, lisensi perangkat lunak).
- Penyewaan barang tidak berwujud (seperti hak siar).
Kedua adalah Jasa Kena Pajak (JKP). Contoh JKP meliputi:
- Jasa Umum:
- Jasa periklanan (baik online maupun konvensional)
- Jasa persewaan (seperti sewa gedung, kendaraan, atau peralatan)
- Jasa pengiriman (seperti kurir atau ekspedisi)
- Jasa konstruksi (seperti pembangunan gedung atau infrastruktur)
- Jasa telekomunikasi (seperti langganan internet dan telepon)
- Jasa Profesional:
- Jasa konsultan (seperti konsultan hukum, pajak, atau bisnis)
- Jasa akuntansi
- Jasa arsitektur dan desain interior
- Jasa Hiburan dan Teknologi:
- Jasa aplikasi digital (seperti langganan streaming musik dan video)
- Jasa pengembangan perangkat lunak
Ada nggak sih barang atau jasa yang nggak kena PPN? Ada kok!
Sebetulnya, ada beberapa jenis barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN untuk melindungi masyarakat umum atau kepentingan strategis nasional.
Barang yang Tidak Dikenakan PPN:
- Barang kebutuhan pokok (beras, jagung, sagu, susu, telur, garam, daging segar, dll)
- Barang hasil pertambangan atau pengeboran yang belum diolah (minyak mentah, gas bumi, batu bara sebelum diolah, dll)
- Emas batangan
- Surat berharga, termasuk uang dan dokumen berharga lainnya
Jasa yang Tidak Dikenakan PPN:
- Jasa kesehatan (pelayanan medis oleh dokter, rumah sakit, puskesmas, dll.)
- Jasa pendidikan (sekolah, kursus, pelatihan resmi)
- Jasa keuangan (layanan perbankan, asuransi, pasar modal)
- Jasa transportasi umum darat, laut, dan udara dalam negeri
- Jasa tenaga kerja (outsourcing, perekrutan tenaga kerja)
- Jasa keagamaan (misalnya, ibadah haji, pemakaman)
Selain itu, ada barang atau jasa yang dibebaskan dari pajak PPN yaitu barang strategis seperti pupuk, bibit tanaman, pakan ternak, dan alat-alat pertanian. Kemudian ada barang ekspor (untuk mendorong daya saing internasional), dan jasa ekspor.
Kenapa PPN Harus Naik?
Kenaikan PPN memang ini telah tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kenapa ada UU ini, tentu pemerintah punya alasannya, meski yah alasannya ini menurut banyak yang kontra kurang partisipatif karena tanpa kajian mendalam, baik terutama tentang ekonomi-sosial.
Dalih pemerintah pertama tentu untuk meningkatkan penerimaan negara. Negara Indonesia ini kebanyakan utang, jadi daripada hutangnya naik terus, karena peninggalan utang pemerintah sebelumnya kan cukup tinggi tuh, jadi ya berdikari dengan malak uang rakyat aja. Kedua mendorong perluasan rasio penerimaan pajak. Meski ini agak aneh, karena harusnya yang dibenahi itu birokrasi pajaknya, bukan malah dinaikan tarif pajaknya. Ketiga, pemulihan pasca pandemi yang menelan APBN cukup banyak, terutama untuk program ekonomi nasional.
Apa dampaknya ke masyarakat?
Sebagaimana yang saya sebut di awal, kenaikan PPN ini punya efek pengganda bagi harga-harga barang dan jasa secara agregat. Mungkin di sektor informal, barang dan jasanya tidak terkena PPN, tapi secara tidak langsung, efeknya akan tetap terasa.
Mungkin di pasar tradisional atau warkop-warkop sederhana, kita tidak dikenakan PPN, tapi makanan (kemasan) yang mereka beli dari produsen besar, sudah pasti terkena PPN, sehingga mereka akan menyesuaikan harga jual mereka ke konsumen. Belum lagi dihitung bahan baku pembuatannya.
Ilustrasinya kita lihat ke penjual gorengan. Memang ketika kita membeli gorengan, struknya nggak ada penambahan biaya PPN. Tapi, harga minyak gorengan dan tepung terigu yang dipakai oleh si penjual gorengan kena PPN. Kedua barang tersebut bukan termasuk kategori barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat menurut Pasal 4A ayat (2) UU PPN. Otomatis penjual gorengan bisa jadi menyesuaikan harganya, ukurannya diperkecil, atau minyaknya bisa jadi dipakai berkali-kali biar biaya produksinya tidak makin melebar.
Kelas menengah bawah akan makin sulit menjangkau barang yang berkualitas bagus. Lah wong harga normal saja nggak bisa mereka jangkau. Akhirnya mereka terus-terusan rela memperoleh barang dengan kualitas rendah. Misalnya minyak goreng. Mereka nyari yang curah lah.
Kelas menengah, akan makin selektif dalam berbelanja. Kelas menengah yang jadi tenaga buruh di pabrik-pabrik yang produksi barangnya terkena PPN berpotensi terkena PHK karena pabriknya harus menghemat biaya produksi karena bahan bakunya naik semua.
Apakah setimpal?
Di media sosial, terutama di X, bagi mereka yang pro dengan kenaikan PPN ini, menganggap bahwa hal ini wajar toh akan kembali ke masyarakat dalam bentuk peningkatan fasilitas publik. Sama halnya yang diberlakukan di negara nordik, seperti Swedia, Norwegia, dan Finlandia. Di sana pemberlakukan PPN bisa lebih dari 20 persen, bahkan pajak pendapatan saja bisa 60 persen. Tapi semuanya setimpal dengan segala fasilitas publik yang hampir semuanya gratis dan mudah.
Sedangkan di Indonesia sendiri, korupsi aja masih sering terjadi, birokrasi yang ruwet dan serba ada pelicin, jasa konsultan pajak untuk memanipulasi setoran pajak masih menjamur, kemudian pemerintah aja takut-takut memajaki orang kaya. Selama di Indonesia masih menganggap orang jujur sebagai sosok mulia dan bukan sebuah standar dasar moral manusia, ya keknya sulit deh berharap punya gambaran fasilitas publik gratis kayak di negara-negara Nordik dari hasil pajak rakyat.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Motor Terbaik yang Pernah Honda Produksi, yang Jelas Nggak Ada Vario 160!