Apa yang terbesit di benak kalian ketika mendengar kata Marx atau Marxisme? Mungkin, sebagian besar orang akan mengungkapkan dan menghubungkan Marx dengan komunisme, bahkan PKI yang tak bertuhan itu (katanya).
Bagi seorang aktivis pergerakan, menurut saya ada dua kemungkinan cara pandang mereka terhadap Marx. Pertama, sangat mungkin Marx beserta teori mbuletnya itu dijadikan sebagai salah satu paradigma berpikir-bergerak. Kedua, boleh jadi, Marx malah semakin ditinggalkan sama sekali karena berbagai alasan salah satunya: nggak praktikal! Kita masih bisa hidup tanpa pemikiran Marx sendiri.
Sebab-Musabab Marxisme Nggak Laku
Mengacu pada jawaban kedua, apa sih pentingnya belajar Marxisme yang makin nggak laku ini? Dan kok bisa dia nggak laku?
Selama 32 tahun rezim ORBA berkuasa, kita tidak pernah tuh diajarkan Marxisme, nyatanya kehidupan rakyat Indonesia baik-baik saja. Pemikiran Marxis memang sempat muncul, tapi tidak memberikan kontribusi yang cukup. Alhasil, pasca reformasi pun, pemikiran ini nggak terlalu banyak berkembang. Yang ada, pemikiran Soeharto lewat meme “piye le, Enak jamanku toh?” lebih populer dari mereka.
Artinya, ketika kamu belajar pemikiran Marxism, duh kamu lagi diece sama bokong truck!
Yang terjadi saat ini, ketika orang lain sibuk kuliah, ngaji, mencari nafkah dst dst. Para Marxian (sebutan untuk para pemikir Marxis millenial) sibuk menyebarkan propaganda dan konsolidasi lewat medsos.
Menggelar diskusi di pojok-pojok kampus sembari ketar-ketir kalau dibubarkan. Udah yang datang sedikit, acaranya selalu mau dibubarkan pula! Lah, modyar wae koe le. Mending setuju aja deh dengan jargon “NKRI harga Investasi”. Eh salah, mati maksud e.
Berbusa-busa ngomongin berbagai teori Marx mulai kritiknya terhadap agama yang bertolak dari anggapan Feurcbach (Fo-yer-bach) bahwa agama adalah tanda keterasingan manusia. Sampai Marx menggambarkan agama dalam pendulumnya yang fenomenal “agama adalah candu”, yakin nih para Marxis berani vis a vis langsung dengan kaum agamawan?
Tak ketinggalan pula Marx mengkritik sistem ekonomi-politik kapitalisme yang mana saat ini sebagian besar umat manusia di muka bumi sumber mata pencahariannya dari situ. Kalau sampai sistem pabrikan, investasi, birokrasi pemerintahan tumbang, siap-siap aja (para Marxis) dimintai pertanggung jawaban oleh buruh, tani, mahasiswa, dan rakyat miskin kota.
Belum lagi kalau ketemu dengan para pendaku pengikut Marx itu, yang sebagian besar adalah seorang mahasiswa dengan jargonnya “agent of change”. Duh, sumpek bukan kepalang rasanya. Apa sebab? (Bukan maksudku menyamakan semua begini ya camerad!) bayangkan, tampilan fisiknya udah nggak banget. Rambut gondrong, kumal, dengan ciri khas pakek celana robek-robek, rokok njaluk sisan!
Boro-boro meyakinkan semua orang supaya jadi simpatisan cum partisan menuju apa yang dirapalkan Marx: Revolusi dan terciptanya Sosialisme. Wong teman di sampingnya belum makan aja tak peduli! Waktu jama’ah maghrib tiba saja, bisa-bisanya dia nyantai tongkorongan sambil jedal-jedul ngudud di prapatan jalan desa. Duh, Gegara kaum Marxian sendiri ini nih masyarakat jadi buram memandang Marxisme dan ia makin nggak laku.
Saya jadi ingat pesan Gus Roy : jadilah Marxis yang Sholeh, jangan cuma mau yang heroik-heroik saja. Meneriakkan keadilan, pembebasan, kesejahteraan dan apalah sebagainya itu harus!
Tapi mbokya sing sumbut dengan lingkungan sosialmu. (Maksudnya, para Marxis jangan sungkan-sungkan melakukan hal yang remeh temeh, seperti jama’ah di masjid, kerja bakti, ikut kegiatan tahlilan, selapanan, haul dan lain-lain).
Sosialisme terwujud itu tidak datang secara tiba-tiba. Melainkan banyak prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi. Salah dari sekian banyaknya itu ya harus turun basis ke masyarakat. Meski tak nampak heroik sama sekali, minimal jangan jadi sampah masyarakat deh kalau kamu belum mampu turun basis.
Coba kamu sezaman dengan mbah Pram, pasti bakalan didawuhi wong kamu saja tidak adil sejak dalam pikiran kok mau-maunya meneriakkan keadilan le! Gitu mau menafkahi (ngrabi) anak orang segala, meyakinkan teman di sampingmu saja gagal! Apalagi camer (calon mertua).
Yang lebih memprihatinkan lagi di samping ketidak lakuannya Marxisme seperti pandangan kebanyakan awam tadi (jangan baper loh ya, aq cuman ngeghibah para Marxian kok, tenan! Belum pasti nyatanya juga seperti yang kuomongkan di atas) yaitu sistem Kapitalisme yang makin kokoh tak tertandingi menghisap tenaga kerja kaum buruh dan mencaplok tanah-tanah rakyat!
Berharap Kepada Para Marxian
Terlepas dari itu betapa tidak pentingnya belajar tentang Marxisme, senjata untuk melawan sistem Kapitalisme yang kian hari makin vulgar ternyata dimiliki para Marxian. Apa itu? Yaa, kekritisan! Berkat paradigma Materialisme dialektis, Historis dan semacamnya, para Marxian dengan lihainya bisa menunjukkan kontradiksi sistem dunia termutakhir, Kapitalisme!
Tapi na’asnya, citra Marxisme di tengah sebagian besar masyarakat kita ini sudah terlanjur buruk. Bayangkan, Marxisme beserta pendakunya dicap sebagai PKI serta tak bertuhan (katanya).
Padahal kalau dipikir-pikir ketiganya belum tentu berhubungan apalagi sama. Marxisme itu ya wawasan ilmiah, sedangkan PKI itu partai, dan tak bertuhan (Ateis) itu sikap teologis. Nyambunge iku ning endi toh? Beritahu aku yang bodoh ini tuhan.
Begitulah kira-kira logika mistika masyarakat Indonesia yang dahulu mau digempur oleh Tan Malaka melalui Madilognya. Apa-apa selalu dihubungkan dengan hal yang ghaib, transenden dan kawan-kawannya. Akibatnya, diajak logis dikit susah! Wong mereka beranggapan semua sudah digariskan oleh Tuhan. Apalagi menyampaikan Marxisme secara telanjang kepada masyarakat, nampaknya sulit beett dah.
Usul saya, sesuai penghayatan atas pesan Suhu Roy Murtadho. Supaya Marxisme jangan tutup karena nggak laku, para marxian harus mampu berelaborasi dengan nilai agama dan pendidikan setempat, alias jadi seorang Marxis yang sholeh-sholehah hehe. Misalkan saja, para Marxian ini mbandongi kitab kuning (memaknai kitab kuning dengan bahasa jawa) sambil menerangkan tentang peliknya kehidupan di bawah cengkraman Kapitalisme. Wkwk.
Ambil contoh saat para Marxian mbandongi fath al-qorib, dalam bab awal diterangkan macam-macam air yang boleh digunakan untuk bersuci itu ada 7, yaitu: air hujan, laut, sungai, sumur, sumber, salju dan embun. Nah, kalo privatisasi, eksploitasi dan ekspansi kapitalisme berlarut-larut begini, bisa-bisa macam air itu berkurang, bahkan hilang. Kan keren keterangan seperti itu. Wkwk.
Tentu masih banyak lagi yang bisa dilakukan oleh Marxian Sholih Sholihah ini di tengah masyarakat sembari menyiapkan Pranata Sosialisme.
BACA JUGA Yang Tidak Mereka Katakan tentang Kapitalisme atau tulisan Rusda Khoiruz Zaman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.