Sebagai masyarakat Indonesia, kita tentu tidak asing lagi dengan adanya hajatan yang digelar di tengah jalan. Yap, benar sekali, di tengah jalan. Banyak penduduk negeri nan ramah ini menggunakan jalan yang notabene adalah fasilitas umum strategis untuk melangsungkan urusan pribadinya, meskipun dengan mengganggu kepentingan publik.
Silakan saja jika ada yang tersinggung, toh tersinggung emang hak setiap anak cucu Adam (juga ciri khas bangsa kita). Namun budaya hajatan yang memakan badan jalan bahkan menggunakan jalan itu sendiri, sebenarnya sangat mengganggu kepentingan publik. Dan luar biasanya, hal ini sudah menjadi bad but accepted habits. Dan jika dibiarkan begitu saja, tak ada yang dapat kita lakukan selain menghela nafas panjang, dan bersabar setiap kali menjumpai hal ini.
Memang benar, setiap orang berhak mempublikasikan momen bahagianya, termasuk salah satunya dengan mengadakan hajatan. Namun dalam pandangan pribadi saya, untuk Anda yang melakukan hal tersebut benar memang Anda berbahagia, tapi apa yang terjadi dengan orang-orang yang terganggu dengan kebahagiaan Anda? Bukan mantan pacar Anda yang bersedih karena ditinggal nikah, tapi pengguna jalan, orang yang buru-buru untuk hal penting yang tidak ada hubungan apa-apa dengan urusan Anda harus terkena imbasnya.
Hajatan di tengah jalan, bukan hal yang tabu lagi di masyarakat kita. Saya pribadi tidak begitu mengerti bagaimana hukum dan aturannya. Akan tetapi saya meyakini jika hal semacam ini harus dilarang. Bukan berarti saya tidak memiliki rasa kemanusiaan atau empati. Bukan pula saya iri dengan mereka yang sudah menikah, apalagi kecewa dengan mantan saya yang kini sudah mengandung anak ketiga.
Masalahnya adalah hajatan-hajatan yang digelar di tengah jalan ini acapkali bahkan hampir selalu membuat pengguna jalan berkeluh kesah. Tak ada rasa iri ataupun dengki, hanya kesal dengan si pemilik hajatan yang agaknya semena-mena dalam menggunakan fasilitas publik. Benar memang, bagi orang yang sedang jatuh cinta dunia hanya milik berdua, kita yang lain mah cuma numpang aja.
Sebagian masyarakat mungkin mengamini hal ini dan menganggap hajatan on the road sebagai suatu kewajaran. Orang yang berbahagia mendapat toleransi, bisa menggunakan fasilitas publik seenaknya. Pengguna jalan? Ya bodo amatlah, yang penting bisa party. Agaknya hal itulah yang dipikirkan kedua mempelai beserta panitianya.
Namun saya tak ingin begitu sinis memandang fenomena alam ini, takutnya saya melukai hati sebagian masyarakat, terutama jamaah mojokiah yang tercinta. Mungkin juga si pemilik hajatan juga nggak sejahat itu, hanya minim empati. Apa tak pernah terpikirkan jika hari bahagia bagi mereka justru adalah bencana bagi masyarakat umum?
Saya mengerti jika hajatan-hajatan ini mendapatkan izin untuk menggelar acara. Namun saya bingung kenapa hal semacam ini diperbolehkan, semestinya kebijakan-kebijakan yang ada dibuat untuk kepentingan masyarakat umum. Bukan untuk orang yang tengah bahagia saja. Pengguna jalan bukan hanya mereka yang sedang dalam masa good vibes, di luar sana banyak orang-orang yang tengah kesal, suntuk, capek, dan lelah. Ditambah dengan hajatan yang menghalang perjalanan, bikin orang makin stres.
Soal setiap orang punya hak untuk mempublikasikan kesenangan yang mereka miliki, saya meyakini hal ini merupakan hak asasi manusia. Namun sejauh yang saya ketahui, hak setiap individu dibatasi oleh hak individu lainnya. Mungkin kita sudah lupa dengan pelajaran PPKn yang didapat sewaktu mengenyam bangku sekolah dasar.
Saya yakin banyak yang akan tersinggung dengan tulisan ini. Bahkan saya pernah membicarakan ini sewaktu nongki bersama teman-teman. Alhasil, salah satu teman saya tersinggung, karena ia juga salah satu pelaku hajatan on the road. Dengan pembelaan hajatan atau kenduri ini kan sudah budaya kita, dan juga salah satu bentuk syukur, buktinya hajatan mengundang orang-orang untuk makan gratis. Ya itu bener sih, tapi kalau yang dirugikan lebih banyak dibanding orang-orang yang diundang. Yang enak 100 orang, yang kesel 1000 orang. Kalau itung-itung pahala sama dosa, kita rugi dong.
Ada juga yang berpendapat bahwa hajatan adalah cara untuk menginformasikan bahwa kedua mempelai sudah menikah dan halal untuk you know what (plis jangan piktor). Jadi kalau misalnya terjadi sesuatu di rumah, Akamsi (Anak Kampung Sini) tidak akan salah menggerebek. Tapi di dunia yang sudah modern ini, memberitahu pernikahan sudah tidak serumit itu lagi.
Saya yakin tidak ada agama apa pun di dunia ini yang mewajibkan umatnya untuk menggelar hajatan pernikahan. Tapi hajatan pernikahan di Indonesia bak sebuah keharusan yang wajib dilaksaanakan.
Sebenarnya yang membuat hajatan hukumnya fardhu ain adalah perangai dari masyarakat kita sendiri. Di mata masyarakat kita, pernikahan dinilai belum sah jika tidak ada acara rame-ramean. Dan pernikahan yang tidak melangsungkan hajatan biasanya jadi perbincangan ibu-ibu berdaster di simpang kompleks.
Takut jadi perbincangan tetangga mungkin faktor utama yang mendorong masyarakat mati-matian melangsungkan hajatan. Tak mampu sewa gedung, ya pakai jalan raya saja, udah biasa kok. Hal semacam inilah yang meracuni kehidupan masyarakat kita, hal buruk yang diwajarkan inilah yang membuat kita sulit berkembang. Menolerir kegiatan yang mengganggu kepentingan publik. Masyarakat kita terlalu luar biasa, memberi toleransi tidak pada tempatnya, giliran ada ruang toleransi malah diskriminasi, kan anjay.
Saya kira sudah saatnya kita mengakhiri kebiasaan menjadi masyarakat yang terlalu simbolis. Hajatan yang fungsinya untuk memberi kabar kepada masyarakat hanyalah sebuah kegiatan seremonial sarat akan simbol. Hajatan adalah bentuk rasa syukur secara simbolis, tak harus begitu dan masih banyak cara lain. Tidak menggelar hajatan bukan berarti hina. Jika memang ngebet bikin hajatan, ya silahkan sewa gedung saja. Kalau tidak mampu, ya tak usah dipaksakan. Akan tetapi jika memiliki rumah dengan halaman seluas parkiran Transmart, ya silahkan saja.
Tak ada yang salah dengan menggelar hajatan, tapi yang menjadi persoalan adalah ketika hajatan, atau apa pun kegiatannya yang mengganggu kepentingan publik. Saya sarankan jika hanya akan mengganggu, sebaiknya tak usah bikin hajatan. Dan jika memang tujuannya memberi kabar baik, bisa melalui media lain. Jika ingin bersyukur, silahkan bersyukur. Dan jika ingin berbagi, kiranya lebih baik bagi-bagi berkah kepada yang membutuhkan, seperti yang dilakukan banyak YouTuber.
BACA JUGA Pengalaman Ngurusin Nikahan yang Super Simpel atau tulisan Afif Assariy lainnya.