Masa kecil saya dipenuhi kenangan akan warung Ucok sebelum warung Madura menggeser.
Kata “Ucok” dalam bahasa Batak bermakna anak laki-laki. Namun, jika merujuk pada frasa “Warung Ucok”, maka artinya akan berpindah ke sebuah toko yang kepemilikannya dipegang oleh warga keturunan Batak.
Umumnya, warung ucok ini memang dijalankan oleh sebuah keluarga Batak. Adapun hal ini dapat dilihat dari aktivitas yang berlangsung di dalamnya: ada bapak dan anak lelaki yang angkut-angkut kardus, serta ibu dan anak perempuan yang melayani pelanggan.
Dari sisi lain, logat dan suara tinggi yang menjadi ciri khas bisa dinikmati dari ujung ke ujung. Sebagai anak kecil yang lugu, saya mengenang tampang para penjaga warung ucok yang serba-sangar tapi lembut dan tulus dalam hati.
Daftar Isi
Pengalaman disuruh ibu belanja di Warung Ucok
Bila dibandingkan dengan populasi warung Madura sekarang ini, warung Ucok memang tidak bisa dijumpai sebanyak itu pada awal tahun 2000-an. Apalagi di kisaran Depok II, tempat saya bermukim. Meski demikian, warung Ucok ini tetap memiliki keistimewaan.
Warung Ucok tersimpan rapi dalam kenang-kenangan masa kecil saya. Pengalaman saya terkait warung ini dimulai ketika saya resmi masuk TK B alias sudah bisa mondar-mandir di kompleks perumahan.
Dalam berbagai kesempatan, ibu sering menyuruh saya untuk membelikan macam-macam keperluan rumah tangga: garam, gula, beras, mi instan, lilin, sampai sebungkus rokok untuk kakek saya yang kadang sedang berkunjung ke rumah.
Mungkin, hanya galon air yang tidak pernah saya beli sendiri lantaran warung menyediakan layanan antar-jemput yang—secara tradisional—menggunakan sepeda Federal yang legendaris itu.
Lalu, bagaimana sebutan “warung ucok” ini bermula? Jawabannya sesederhana kalimat yang terlontar dari orang di sekeliling saya, “Tolong ke Ucok ya, beli ini dan itu.”
Tempat belajar di luar jam sekolah
Dalam ingatan saya, warung ucok merupakan tempat belajar yang menyenangkan, salah satunya ialah pelajaran berhitung. Selain sekolah, tempat ini sejenis ruang praktik nyata yang berada ruang kelas.
Sebenarnya mirip dengan warung Madura, warung ucok yang saya kenal cukup menguasai hal-hal teknis seperti kecepatan dan ketepatan dalam menghitung total biaya belanjaan. Kadang pakai kalkulator, kadang tidak. Tergantung banyaknya barang yang diborong. Para pekerja di warung ini sebenarnya sangat mahir dalam menghafal harga dan letak barang biarpun berjejal di rak-rak tinggi yang terbuat dari kayu. Kalau dimintai bon, bungkus rokok tak jarang jadi wadah untuk menulis seluruh rinciannya.
Tak berhenti sampai di situ, saya juga menimba ilmu perihal konsep pluralisme yang terjadi di lingkungan sekitar. Warung ucok membuat saya paham bahwa terdapat beragam suku bangsa di Indonesia. Salah satunya suku Batak.
Saya pun bisa memahami tidak semua orang Batak memeluk agama Kristen seperti yang digaungkan oleh stereotipe. Buktinya, pemilik warung ucok bermarga Lubis yang kerap saya sambangi ini menyandang gelar haji. Lebih jauh, dari toko kelontong inilah saya pertama kali meraup wawasan tentang prinsip-prinsip kekeluargaan yang menjunjung tinggi sifat saling menghargai ala masyarakat ketimuran.
Sebagaimana yang telah saya singgung di atas, warung ucok bersikap sangat adil pada siapa pun yang hendak membeli, termasuk anak kecil. Saya dan teman-teman, misalnya, acapkali mendapat perlakuan “khusus” macam nasabah prioritas.
Satu bab yang saya rindukan ialah pertanyaan-pertanyaan intim yang mereka layangkan: Gimana kabar ibu, sehat? Eh, kamu lagi, baru pulang sekolah ya? Tumben nggak naik sepeda? Titip salam untuk ibu dan ayah ya.
Warung Madura lebih jago dalam strategi bisnis
Zaman beralih, psikologi konsumen terus bergerak, dan strategi bisnis lantas berubah. Saya kira, ihwal ini sedikit banyak mempengaruhi petualangan warung ucok dalam skena toko kelontong tanah air.
Apabila diadu secara head-to-head dengan warung Madura, warung ucok jelas bertekuk lutut di hadapan sang rival. Sayang seribu sayang, ada sejumlah faktor yang rupanya amat menentukan umur karier masing-masing.
Masalah utamanya mungkin ada di jam operasional. Perihal ini, warung ucok dipastikan kalah telak dengan toko Madura yang buka 24 jam nonstop, tidak peduli hari raya atau kiamat kelak.
Portofolio ini mau tak mau mesti diakui. Pasalnya, warung ucok yang saya temui rata-rata baru buka kisaran pukul 6 pagi dan tutup pukul 10 malam. Bahkan, ada juga yang close order sebelum pukul 9 malam. Selanjutnya, warung ini tidak mempunyai “teknologi” bernama Pertamini. Alih-alih mengikuti jejak warung Madura untuk terjun ke usaha BBM eceran, sementara warung ini cuma mentok di penjualan gas LPG.
Hal ini tentu membikin pemasukan warung ucok dalam situasi yang jauh dari fase lepas landas. Sebab, warung ini cenderung hanya mengandalkan pelanggan setia dan kurang menggapai para pembeli umum yang lebih luas.
Tidak seperti warung Madura, warung Ucok adalah usaha skala menengah
Aspek terakhir yang berimbas bagi pamor warung ini adalah “idealisme” mereka yang condong kepada usaha skala menengah ketimbang kecil. Warung ucok sering kali mengandalkan bangunan model rumahan, sehingga mempunyai ukuran toko yang relatif besar.
Lain cerita kalau berbicara soal warung Madura yang belakangan sukses dalam mengelola toko-toko skala kecil. Kehadirannya menjamur di mana-mana. Jika lokasi warung Madura terdekat lebih sering ditanyakan, maka alarm harus segera dibunyikan. Bagaimanapun, jumlah produk yang dijual niscaya berbanding lurus dengan tingkat jangkauannya di pasaran, bukan?
Rezeki sudah ada yang mengatur, saya mengamini hal itu. Tetapi, apabila ogah merombak strategi, senja kala warung ucok barang tentu tinggal menunggu waktu saja. Nasibnya boleh jadi seperti raksasa Tupperware yang malah berada di ambang kebangkrutan dan seolah-olah mengais jati dirinya yang hilang entah ke mana.
Penulis: Muhammad Faisal Akbar
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Saya Orang Madura dan Sepakat Warung Madura Tidak Buka 24 Jam
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.