Setelah heboh-hebohnya repons netizen akibat pernyataan Sinta Nuriyah tentang jilbab, teman saya ikut merespons dengan membuat pertanyaan untuk membuka diskusi untuk topik tersebut di Facebook. Ia menanyakan apakah yang wajib itu menutup aurat atau memakai jilbab? Menurut teman saya keduanya adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama adalah sebuah ide, sedangkan yang kedua adalah produk.
Pertanyaan ini seketika ramai dikomentari, ada yang nyambung ada yang tidak. Lebih banyak yang tidak nyambung. Memahami maksud pesan memang bukan hal yang mudah bagi sebagaian orang. Salah satu komentar yang lucu adalah ketika seseorang menjawab hal yang sama sekali di luar pertanyaan. Saya kutip secara verbatim salah satu komentar yang buat saya agak nyasar.
“Orang menutup aurat secara syar’i sudah pasti menggunakan jilbab. Tapi orang yang menggunanakan jilbab belum tentu sudah menutup aurat secara syar’i. Berarti secara konteks menutup aurat adalah perintahnya, jilbab adalah medianya. Dan keduanya tidak dapat dipisahkan.”
Orang ini sama sekali tidak berusaha menjawab pertanyaan dan secara tiba-tiba membahas syar’i yang sama sekali tidak dipertanyakan. Kalau pertanyaanya apakah yang wajib itu menutup aurat dengan produk berlabel syar’i atau memakai jilbab mungkin jawabannya masih bisa mengena.
Ketika ditanya balik karena yang membuat pertanyaan bingung dengan jawabannya dia malah marah-marah dan menyuruh teman saya ini untuk mencoba memahami makna jilbab karena dianggapnya tidak tahu apa-apa. Duh, ciri khas netizen Indonesia ketika argumennya berantarakan dia balik menyerang orang menganggap orang tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas dia membuat pertanyaan karena bingung. Sedari awal dia sudah mengklaim dirinya tidak tahu karena itu ia membuat pertanyaan. Bukankah orang bertanya karena ada keraguan atau ketidaktahuan?
Petanyaan ini memang sudah lama menjadi perdebatan. Perdebatan itu meliputi aurat perempuan hingga sampai hal yang teknis apakah diperlukan jilbab sebagai penutup aurat. Tidak salah apa yang disampaikan teman saya bahwa jilbab adalah suatu produk, sebagai produk tentu saja ia bisa digantikan sedangkan menutup aurat adalah ide. Sebagai ide ia bisa ditafsirkan secara berbeda.
Dalam tradisi metodologi tafsir Al-Quran seperti ushul fiqh dalil-dalil tekstual sebuah ayat tidak otomatis memiliki satu arti. Apalagi jika kita melihat pada rujukannya adalah Al-Quran yang mana. Apakah Al-Quran berbahasa arab atau Al-Quran terjemahan Depag (Departemen Agama) yang menerjemahkan khomr menjadi minuman keras. Minuman keras???
Mungkinkah saat itu penerjemahnya terpengaruh oleh lagu Rhoma Irama. Karena saya belum berhasil melacak apakah ada penggunaan frasa minuman keras sebagai bentuk figuratif dari minuman beralkohol (minuman yang memabukkan) dalam bahasa Indonesia sebelum Rhoma menyanyikannya. Jangan-jangan memang ada distorsi makna dalam Quran terjemahan Depag.
Selain itu jika kita berbicara dalam konteks terjemahan, berarti berbicara dalam konteks bahasa. Bahasa Indonesia dengan bahasa Arab adalah dua bahasa yang berbeda yang mana terbentuk dari perilaku budaya kedua bahasa yang sangat berbeda. Sebagai contoh kata ganti Allah yang pada bahasa Arab menggunakan “Huwa” sama dengan bahasa Inggris “He” yang digunakan untuk laki-laki yang tentu saja menggambarkan sosok yang maskulin. Berbeda dengan bahasa Indonesia “Dia” yang sama sekali tidak menggambarkan gender. Ternyata bahasa Indonesia lebih egaliter.
Hasil terjemahan di atas memang tidak salah sama sekali, ia akurat dan berterima. Meski hasil terjemahan diterjemah secara akurat dan berterima tapi tetap saja ada pengurangan dari makna “Huwa” menjadi “Dia” dikarenakan kedua budaya bahasa yang berbeda. Jika Quran Depag yang menjadi rujukan berarti masih banyak ruang untuk perdebatan dalam konteks hasil terjemahannya.
Kalau rujukannya Quran non-terjemahan, kita masih bisa bertanya lagi siapa siapa pemegang otoritas atas tafsir? Quran mana yang menjadi rujukan apakah Quran wahyu yang masih ingatan para sahabat dan belum memliki medium fisik? Atau juga Quran periode pertama yang belum tersentuh tafsir ulama? Atau Quran abad pertengahan yang sudah tersentuh tafsir ulama?
Saya tidak sedang mengatakan bahwa Quran ini memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya. Qurannya tetap sama, isinya juga sama, tapi pemaknaan akan ayat dari Quran bisa saja berbeda-beda tergantung otoritas pemegang kuasa atas pemaknaan itu. Ada aspek kognisi sosial yang terlibat dalam setiap pemaknaan akan sesuatu. Setiap orang pasti memiliki cara yang berbeda dalam menganalisa, mengingat, dan menggunakan informasi. Saya pernah membaca bahwa tafsir Al-Quran menjadi lebih maskulin setelah kekhalifaan Umar. Meski ini juga masih bisa menjadi perdebatan.
Jadi balik lagi ke pertanyaan apakah memakai apakah yang wajib itu menutup aurat atau memakai jilbab?
Saya tidak berani menjawab karena saya tidak punya otoritas dan kuasa untuk itu. Saya tidak punya umat, saya bukan uztaz, apalagi ulama dan yang paling penting saya tidak suka berdebat hal-hal yang menyangkut keimanan. Kalau kalian percaya jilbab sebagai penutup aurat, monggo. Kalau ada yang percaya wajah juga aurat dan menggunakan cadar, monggo, kalau pun tidak menganggap jilbab sebagai aurat, ya monggo. Silahkan berdebat sesama penyuka debat, saya mau buat kopi dulu!
BACA JUGA Untuk Perempuan Berjilbab Besar yang Bonceng Sepeda Motor: Lampu Sein Belakang Itu Bukan Aurat, Jadi Tak Perlu Ditutupi atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.