Kemarin sore, saya berkunjung ke rumah kakak yang berada di Kecamatan Bukateja, Purbalingga. Saat berkunjung, kakak menawari saya untuk menikmati sore di belakang rumahnya. Kebetulan, area belakang rumah kakak masih dipenuhi dengan hamparan sawah yang luas. Di sana, saya bisa menikmati senja yang sedang bersolek sebelum kembali ke peraduannya.
Di sela-sela perbincangan, hati saya terketuk gara-gara ucapan kakak saya. Blio menyampaikan bahwa, mungkin dalam beberapa tahun ke depan, pemandangan serba hijau ini akan beralih menjadi gugusan pabrik yang berjejer di sepanjang jalan Bukateja-Purbalingga. Ungkapan itulah yang menyadarkan saya betapa masifnya pembangunan pabrik-pabrik di kabupaten yang terkenal dengan industri knalpotnya.
Memang, dengan adanya pusat industri yang semakin bertebaran di Purbalingga bisa mendongkrak UMR jadi tinggi. Namun, saya rasa UMR yang berbeda tipis dengan pendapatan warga Yogya ini tidak sepadan dengan dampak yang bisa ditimbulkan dengan masifnya pembangunan pabrik-pabrik besar di Kota Perwira.
Jika pemda hanya menanam investasi tanpa membenahi diri, bukan tidak mungkin akan ada masalah serius di kemudian hari. Jangan sampai menggunakan dalih investasi untuk merusak wilayah dan rakyat sendiri. Makanya, pembangunan pabrik di kabupaten yang menjadi tempat lahir Jenderal Soedirman ini harus diimbangi dengan fasilitas dan perencanaan yang matang.
Memperhatikan aspek amdal sebagai pedoman utama pembangunan pabrik di Purbalingga
Saat masih duduk di bangku SMA, saya sering melintasi jalur Purbalingga-Bukateja. Dulu, hanya ada beberapa pabrik saja yang berdiri di area ini. Namun, setelah lama mukim di Purwokerto dan jarang pulang ke rumah, saya mengamati perubahan yang cukup siginifikan. Ada beberapa pabrik baru yang mulai bermunculan di sepanjang jalan ini.
Baca halaman selanjutnya: Bukan fenomena baru…