Ketika saya kuliah di sebuah PTN di Semarang, saya sedikit sumringah dengan adanya selebaran dari kampus. Kabarnya kampus akan meringankan biaya untuk anak ASN. Tapi, kegembiraan saya langsung pupus, begitu tahu hanya anak ASN guru saja yang dapat keringanan. Saya sebagai anak ASN Tata Usaha hanya bisa menelan ludah.
Jujur saja, saya bingung kenapa hanya ASN guru yang dapat keringanan. Padahal ya gaji ASN guru terhitung nggak kecil, setidaknya dibanding Tata Usaha. Meski sama-sama berkecimpung di dunia pendidikan, ternyata kami berbeda.
Penata lampu yang tak pernah dianggap keberadaannya
Bagi yang mungkin kurang familiar dengan bagian Tata Usaha, itu lo yang bagian mengurus administrasi sekolah. Semua urusan berkas, perizinan, surat menyurat, dan tetek bengek lainnya yang bikin pendidikan bisa terselenggara dengan optimal.
Mereka juga merupakan poros pendidikan selain guru. Administrasi, hal yang kerap dianggap menyebalkan itu, tak akan beres jika mereka tak ada.
Mereka ibarat penata suara yang tidak dikenal, atau penata lampu yang terlupakan. Berapa banyak program pemerintahan fokus hanya pada aktris dan aktornya saja. Mereka melupakan adanya pendukung belakang layar. Alias para pegawai Tata Usaha ini.
Saya sebagai anak seorang TU sering mendapatkan dilema. Bagaimana tidak dilema, mau cari beasiswa, saya bukan golongan orang tak mampu wong anak ASN. Mau ikut cari potongan, lha saya bukan anak guru.
Lucu memang, padahal saat itu saya dan adik berdua kuliah berbarengan di satu universitas yang sama. Dan ketika saya meminta keringanan, dengan dalih kami berdua berkuliah bersama dan Bapak saya hanya ASN dengan golongan yang tidak tinggi-tinggi amat, kami justru dihujat.
Dihujat karena kami anak ASN. Iya, betul kami anak ASN, tapi bukan golongan tinggi. Jadi untuk orang-orang yang perlu digaris bawahi tidak semua ASN itu pasti kaya raya. Apalagi jika golongan tidak tinggi dan bukan lulusan sarjana, sehingga tidak bisa naik golongan lagi.
Saya hanya bisa tersenyum kecut ketika ingat. Saya dihujat oleh sesama bagian Tata Usaha, yang harusnya mengerti betul rasanya. Hati saya remuk, dan saya hanya bisa menangis di teras. Sudah tidak dapat keringanan, masih dihujat. Aneh memang. Apa beda kali ya Tata Usaha di unit kerja lain, mungkin mereka sejahtera, jadi tidak mengerti perasaan saya.
Entahlah.
Tata Usaha memang bukan aktor utama, tapi tanpanya, drama tak berjalan sebagaimana mestinya
Semua sibuk mengurus aktor dan aktris pendidikan. Dan memang benar mereka adalah wajah pendidikan. Namun, perlu diketahui bahwa jadi pegawai Tata Usaha juga tidak mudah. Saya berkali-kali menyaksikan Bapak lembur jika sedang menyusun berkas. Bolak-balik print out, membawa pulang banyak berkas untuk distempel dan sederet pekerjaan lainnya.
Sekarang administrasi sekolah juga tidak semanual dulu. Berkas-berkas kertas mulai tergantikan dengan adanya sistem serba online. Beberapa kali saya juga melihat Bapak dengan telaten harus upload berkas-berkas. Tak jarang beliau mengajari satu per satu guru yang belum bisa upload dan tentu merevisi jika ada kesalahan dari oknum guru tersebut.
Jadi, jika semua-mua-mua hanya guru saja yang disorot, saya rasa pemerintah terlalu naif. Banyak sektor lain juga yang perlu disejahterakan. Banyak yang perlu untuk disokong bersama agar timbul harmonisasi antarsektor.
Tidak ada pertunjukan yang baik, tanpa adanya setting lampu optimal. Tidak ada greget dalam sebuah pagelaran jika hanya kebisuan yang didapatkan. Dan tidak ada sekolah yang baik apabila tidak disokong dari Tata Usaha yang baik.
Penulis: Anisa Fitrianingtyas
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Misteri Pegawai Tata Usaha Sekolah yang Seringkali Judes