Sekiranya perlu disampaikan terlebih dahulu, bahwa diet plastik tidak sama artinya dengan tidak menggunakan plastik sama sekali. Toh, judulnya pun diet. Bukan puasa, apalagi pensiun. Lagi pula, di tengah gempuran produk industri serba instan dewasa ini, siapa pula yang mampu melewati barang satu hari saja tanpa bersentuhan dengan berbagai macam produk plastik?
Tekad untuk diet plastik ini sudah muncul sejak awal tahun lalu, ketika saya mulai gemar menyaksikan berbagai film dokumenter terkait isu lingkungan. Akan tetapi, tekad itu berujung hanya sampai niat. Tiada tindakan yang dilakukan secara khusus untuk mengurangi penggunaan kantong plastik dalam ranah pribadi selain membawa tumbler untuk air minum. Dan sejujurnya, motif di balik hal seremeh itu pun tidak sepenuhnya karena tekad untuk mereduksi penggunaan plastik, melainkan lebih kepada menekan pengeluaran untuk air minum. Bahkan motif yang belakangan ini menjadi faktor penentu yang lebih besar.
Bayangkan saja, uang enam ribu rupiah bisa jadi 19 liter air minum jika dipakai untuk isi ulang galon; sementara jika dipakai untuk air dalam kemasan cuma jadi dua botol 550ml. Mind the gap, bro. Terlebih, saya ini punya kebiasaan seperti kawanan unta gurun yang resah apabila bepergian tanpa membawa persediaan air minum.
Daftar Isi
Sebuah niat
Pada Oktober-November tahun lalu, saya mendapat kesempatan untuk jadi perwakilan rumah produksi Eksprosa untuk ikut merekam secara langsung dampak-dampak krisis iklim di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bersama rombongan Greenpeace Indonesia. Selepas acara itu, saya menjadi merasa malu pada diri sendiri yang selama ini hanya sebatas melek (sedikit) tanpa melakukan tindakan apa pun yang berarti. Sejak itu, tekad saya untuk membuat kebiasaan baru yang, katakanlah, ramah lingkungan semakin bulat adanya.
Maka, saya melakukan diet plastik sejak hari pertama 2023. Namun bukan berarti upaya untuk berdiet plastik ini bertujuan pada dampak yang besar sekaligus. Selama konsep dan kebijakan keberlanjutan lingkungan masih belum diterapkan dengan baik pada sektor industri, saya yakin betul bahwa diet plastik ini tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap keberlangsungan bumi.
Oleh karena itu, saya mengalihkan tujuan diet plastik ini kepada lingkup yang lebih kecil dan lebih personal: sebagai sarana untuk belajar mengurangi segala tindak-tanduk yang sekiranya tidak menguntungkan–baik bagi saya pribadi maupun bagi lingkungan sekitar saya. Ya, hanya sebatas itu saja. Sebagaimana hukum alam yang mengharuskan kita bertumbuh berdasar gerak waktu, maka adalah kesia-siaan apabila melaluinya begitu saja tanpa sedikit pun melakukan hal-hal yang pada prosesnya dapat membuat kita menjadi seorang anak manusia yang lebih baik. Begitu kira-kira secuil prinsip hidup yang diajarkan orang tua saya.
Kiat-kiat diet plastik
Sebagai buruh di industri kreatif, saya tidak bisa lepas dari kopi yang sudah layaknya bahan bakar bagi otak kanan saya. Maka, langkah awal yang saya lakukan untuk merealisasikan niat berdiet plastik adalah membeli tumbler termos guna memotong penggunaan plastik tiap kali membeli kopi di kofisyop.
Langkah kedua, adalah selalu sedia tote bag kecil di dalam ransel atau bagasi motor guna berbelanja di minimarket. Kebetulan pula, saya sedang merintis usaha laundry sepatu bersama saudara saya. Sehingga tote bag yang digunakan mempunyai label dari jenama laundry sepatu tersebut. Itung-itung marketing berjalan, lah, ya.
Dalam pelaksanaannya, dua langkah tersebut dapat dikatakan tidak menemui hambatan berarti. Dampaknya, keseharian saya terasa menjadi lebih ringan dari biasanya. Dan ini betulan. Sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari dosa-dosa, dengan berdiet plastik ini rasa-rasanya saya sudah sedikit mengurangi perbuatan dosa. Entah itu benar atau tidak, hanya Tuhan yang tahu. Namun, jika boleh dikatakan, memang demikianlah yang terasakan.
Langkah berikutnya, adalah melanjutkan kebiasaan saya membawa tumbler untuk air mineral. Jika sebelumnya hanya sebatas mengurangi pengeluaran, kali ini sebagian besar motifnya adalah betul-betul berkaitan dengan keberlangsungan lingkungan tempat saya tinggal. Akan tetapi, justru karena motif itulah yang akhirnya menyulitkan saya sendiri.
Diet plastik, cara mudah mempersulit hidup
Kesulitan itu muncul tiap kali mesti bekerja di lapangan selama berhari-hari. Jika pekerjaannya hanya sehari, sih, persediaan air di tumbler aman-aman saja. Namun, ruwet jadinya apabila harus menginap hingga berhari-hari. Apalagi jika menginapnya di hotel.
Tiadanya stasiun isi ulang air minum di tempat umum menjadi hal yang paling menyulitkan untuk diet plastik ini. Namun, hal tersebut kiranya cukup bisa dimaklum, sebab negeriku tercinta ini, jangankan mereduksi sampah plastik, pada nyatanya justru jadi importir sampah plastik dari negara-negara Barat. Dan, seandainya boleh berburuk sangka: mungkin ketiadaan stasiun isi ulang air minum juga menjadi salah satu kerjasama pemerintah dengan produsen air mineral dalam kemasan agar produknya tetap laris. Entahlah. Bagaimanapun, kondisi itu berhasil memaksa saya untuk membeli air mineral dalam kemasan.
Kemudian, berikut ini pengalaman tersulitnya. Tempo hari, saya bertugas mendokumentasikan sebuah rapat besar suatu lembaga di salah satu hotel bintang lima di bilangan Jakarta Barat. Rapat itu dihadiri sekitar 300 peserta, belum termasuk sekitar 50 kru yang bertugas. Acara itu berlangsung dari pagi hingga malam selama dua hari. Nah, selama acara berlangsung, di setiap meja peserta disediakan satu botol air mineral 550ml beserta gelas kaca. Dan, tiap kali ishoma, botol itu–habis ataupun tidak–diganti dengan botol baru yang masih disegel. Jika dalam satu hari ada tiga kali ishoma, itu artinya ada lebih dari 900 sampah botol plastik dalam sehari. Atau 1800 botol plastik dalam dua hari.
2500 botol plastik dalam dua hari
Belum lagi, adanya dua botol di setiap kamar per malamnya. Jika dua malam itu ada sekitar 175 kamar yang di-booking, artinya ada sekitar 700 sampah botol plastik dari kamar hotel. Dari acara yang digelar dua hari saja, total ada sekitar 2500 sampah plastik yang siap eksis di muka bumi untuk ratusan tahun ke depan–seandainya tidak diolah dengan baik. Maka, tindakan saya untuk membawa tumbler pun layaknya menabur garam di laut. Alias tidak ada gunanya sama sekali, sebab tiada satu pun air galon untuk isi ulang tumbler di setiap sudut ruangan hotel bintang lima itu.
Dan, yang paling menyulitkan adalah: menerima fakta bahwa saya ikut andil dalam menumpuk sampah plastik yang jumlahnya horor itu; sementara saya sedang dalam program berdiet plastik. Kontradiksi antara niat dan perbuatan tersebut, ternyata cukup menguras energi saya.
Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, tampaknya diet plastik tidak dianjurkan bagi siapa saja yang tidak ingin menambah keruwetan hidup. Sebab, apabila saya menjalani hari sebagaimana umumnya orang-orang dalam menggunakan plastik, tampaknya hitung-hitungan soal jumlah botol plastik tadi tidak akan muncul di kepala. Tidak perlu repot-repot membawa tumbler ke mana-mana, tidak akan merasa bersalah jika produktif menghasilkan sampah plastik; dan seterusnya, dan seterusnya. Bahkan, pilihan untuk tak acuh atas isu tersebut tampaknya lebih menjanjikan kesehatan raga saya. Sebab tidak perlu sering-sering merasa prihatin dan khawatir atas kerusakan yang terjadi di tempat saya hidup. Diet plastik hanya mempersulit hidup jika kondisi industri dan sosial masih seperti hari ini.
Penulis: Nanda Naradhipa
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Galon Sekali Pakai, Efektif Tingkatkan Sampah Plastik di Indonesia