Elpiji nonsubsidi kurang laku ketimbang kawan seperjuangannya di divisi seberang, Pertamax, kenapa?
Sebagai perusahaan milik negara, Pertamina juga diberikan tugas khusus untuk menyalurkan bantuan dengan produk-produk yang lebih murah. Tujuannya, tentu agar membantu masyarakat yang tergolong “miskin” agar tetap bisa memenuhi kebutuhannya.
Subsidi dari pemerintah sebenarnya banyak sekali. Biasanya adalah kebutuhan pokok alias primer. Ingat, selain kendaraan listrik ya, nggak tahu itu primer apa bukan. Tapi, yang paling umum diketahui dan dimanfaatkan masyarakat adalah produk bensin dan gas elpiji yang disalurkan oleh Pertamina.
Selain memproduksi bahan bakar yang harganya sudah disesuaikan dengan bahan mentah, Pertamina juga menyalurkan dua produk bersubsidi. Untuk bensin, untuk saat ini yang merupakan produk subsidi adalah Pertalite. Sedangkan elpiji yang bersubsidi adalah elpiji dengan tabung warna hijau isi 3 kg, masyarakat sering menyebutnya tabung melon.
Yang saya ingat, produk bensin bersubsidi lebih dahulu disalurkan dibandingkan produk elpiji. Kala itu, bensin terbagi menjadi dua macam, Premium dan Pertamax. Orang tua saya pada saat itu masih menggunakan tabung elpiji besar berwarna biru.
Selang waktu kemudian, produk elpiji bersubsidi, alias tabung melon tersalurkan kepada masyarakat hingga sekarang. Orang tua saya yang sebelumnya menggunakan tabung besar warna biru, sejak saat itu hingga kini turut menikmati subsidi pemerintah ini. Dan sejak saat itu pula, produk elpiji nonsubsidi nggak laku di kalangan masyarakat.
Dari kacamata awam, saya melihat bahwa setidaknya ada lima alasan yang mendasari mengapa produk elpiji nonsubsidi nggak laku. Atau, paling nggak kalau dibandingkan dengan BBM bersubsidi, penjualannya kalah jauh. Ini alasannya menurut saya.
Daftar Isi
Elpiji subsidi lebih mudah ditemui
Setidaknya untuk saat ini, pembelian elpiji subsidi lebih mudah dibandingkan dengan membeli BBM bersubsidi. Sebenarnya juga baru akhir-akhir ini sih pembelian BBM bersubsidi dipersulit. Itu pun hanya kendaraan roda empat saja. Untuk sepeda motor, masih bisa menikmati sepuasnya.
Pembelian elpiji melon saat ini sangat mudah, dengan catatan nggak sedang langka lho, ya. Kalau langka sih, memang agak ribet. Untuk mendapatkannya, kita hanya perlu mendatangi warung-warung kelontong. Atau, kalau mau lebih murah, ya, datang ke pangkalan resmi. Di sana lah para pemilik warung membeli elpiji bersubsidi untuk dijual lagi.
Nggak semua warung menjual elpiji nonsubsidi. Pun, kalau jual, kita juga nggak tahu sejak kapan tabung itu disimpan. Jangan-jangan sudah sejak penyaluran pertama tabung melon? Yang aman sih, ya, beli di pangkalan resmi. Tapi, di mana? Kalau BBM kan jelas, produk subsidi dan nonsubsidi ada di satu tempat yang sama bernama SPBU. Ya nggak, sih?
Harga elpiji subsidi yang dianggap harga pasar
Sejak awal penyalurannya, harga elpiji bersubsidi yang lebih murah mengubah pikiran masyarakat. Dari yang awalnya memilih menggunakan elpiji nonsubsidi atau minyak tanah sebagai bahan bakar saat memasak, jadi menggunakan tabung melon ini. Sejak saat itu, tabung berwarna hijau itu menjadi favorit bagi semua kalangan.
Mendarah dagingnya elpiji bersubsidi di hati masyarakat membuat produk ini dianggap sebagai harga pasar, alias harga yang sebenar-benarnya. Produk serupa yang harganya di atas harga pasar akan dianggap harga yang nggak wajar, imbas kapitalisme.
Padahal yang terjadi adalah sebaliknya, harga yang lebih tinggi lah yang merupakan harga pasar. Sedangkan yang murah ada campur tangan pemerintah. Kalau nggak ada sepeser pun bantuan dari pemerintah, ya, itu lah harga elpiji nonsubsidi. Alhasil, kalau subsidi dicabut atau diperketat, ya, masyarakat akan protes. Nah, kan, pusing kan jadi pemerintah?
Pengaruh elpiji nonsubsidi terhadap harga pangan
Murahnya elpiji bersubsidi ini memiliki pengaruh terhadap aneka ragam makanan yang dijual oleh UMKM. Bagaimana nggak berpengaruh, rata-rata UMKM saat ini menggunakan tabung melon sebagai bahan bakar kompor mereka. Hal ini sangat memengaruhi harga produk yang mereka jual.
Harga sebutir cilok misalnya, di daerah saya sekarang harga cilok ada di kisaran Rp500 untuk yang original, alias kecil, dan Rp1.500 untuk yang isian hati, keju, atau telur. Harga ini adalah hasil hitungan atas penggunaan tabung gas elpiji bersubsidi sebagai modal, selain bahan baku.
Kalau mereka dipaksa menggunakan tabung elpiji nonsubsidi, yang ada harga cilok akan naik berkali-kali lipat. Tentu hal ini akan berdampak terhadap penurunan angka konsumsi cilok nasional. Itu baru cilok, belum lauk pauk di warteg. Nasi sih nggak harus pakai kompor, bisa pakai magic jar, tapi masak iya ke warteg cuma makan nasi?
Nggak ada spesifikasi lebih yang ditawarkan dari elpiji nonsubsidi
Pada produk BBM, tentu sebagai pelanggan, kita memahami bahwa berbagai macam produk yang dijual di SPBU memiliki spesifikasinya masing-masing. Baik dari segi angka oktan, kadar timbal, pembersih mesin, dan lain sebagainya yang selalu menjadi klaim Pertamina bahwa produk nonsubsidi lebih baik.
Berbeda dengan produk elpiji. Sampai sekarang ini, entah karena kurangnya sosialisasi dari Pertamina, atau karena saya kurang cari-cari informasi, saya nggak tahu apa ada spesifikasi lebih yang ditawarkan elpiji nonsubsidi. Yang saya tahu, hanya berbeda warna dan besar kecilnya tabung. Itu saja. Selebihnya, saya nggak tahu.
Hal ini tentu menambah andil pemikiran masyarakat untuk enggan menggunakan produk nonsubsidi. Kalau saja ada kelebihannya, misal masakan menjadi lebih enak, lebih nggak cepat habis, atau api yang dihasilkan nggak menyebabkan pantat panci gosong, atau kelebihan berguna lainnya, pasti masyarakat akan berbondong-bondong membelinya, sekalipun harganya mahal.
Nggak ada angka kompresi pada kompor
Produk BBM digunakan untuk menghidupkan mesin pada kendaraan. Umumnya, kendaraan bermotor seiring berjalannya waktu semakin berkembang dari masa ke masa. Perkembangan dunia permesinan ini membuat buku panduan yang menyertai pembelian kendaraan selalu berubah-ubah terkait bahan bakar apa yang ideal untuk digunakan.
Acuan yang digunakan oleh buku panduan tersebut adalah angka kompresi mesin yang sangat dipengaruhi oleh angka oktan pada bensin. Beda kompresi mesin, beda pula angka oktan yang dibutuhkan. Oleh karena itu lah produk BBM nonsubsidi tetap laku, khususnya bagi pengguna-pengguna yang peduli dan sayang kepada kendaraan miliknya.
Berbeda dengan kompor yang dapat menjadi analogi kendaraan bagi produk elpiji. Mau pakai elpiji subsidi maupun nonsubsidi, nggak ada perbedaan sama sekali. Nggak ada pengaruhnya terhadap kesehatan kompor jangka panjang, yang ada malah membuat krisis stabilitas ekonomi yang berujung krisis kesejahteraan.
Elpiji nonsubsidi nggak bisa dimungkiri, kalah jauh ketimbang Pertamax. Pemerintah harus mikir keras perkara ini, karena subsidi nggak mungkin berlaku selamanya. Semoga bisa dapat solusi yang terbaik buat semuanya.
Penulis: Muhammad Arif Prayoga
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Dilema Pangkalan Elpiji Pertamina: Ambil Untung Besar Kena Masalah, Ambil Untung Kecil Bangkrut