Menjelang lebaran, keluarga saya serasa film Captain America: Civil War. Bapak dan Ibu saya berdebat perkara mau mudik ke mana, Ciamis atau Sragen. Oh, kawan, perdebatan ini tak sepele dan mungkin nggak akan pernah jadi sepele.
Mudik ke mana saja sebenarnya asyik menurut saya. Tak jarang banyak teman yang iri karena saya bisa mudik luar kota setiap tahun. Berkunjung mampir ke kota-kota yang saya lewati dan menikmati masakan khas tiap daerah menjadikan candu. Yah, meski saya sering menyombongkan diri, saya merasa sengsara juga saat melakukan ritual tahunan ini. Karena biasanya pemenang dari perang mau mudik kemana adalah Bapak, yang artinya kami harus ke Ciamis.
Nah, mudik ke Ciamis ini, penuh persoalan.
War tiket tiada akhir
Tidak banyak bus yang punya trayek khusus ke Ciamis, malah tidak ada keknya. Kami harus menggunakan satu-satunya trayek yang ada, yaitu jurusan Tasikmalaya. Persoalan tiket menjadi sebuah masalah utama. Tiket bus mendadak melonjak tinggi harganya saat lebaran. Sudah mahal, terbatas pula.
Saya ingat sekali zaman di mana war tiket belum bisa sambil rebahan. Kami sebagai penumpang harus rajin mendatangi agen bus terdekat. Masalahnya, dari Demak tidak ada agen bus tersebut. Kami harus ke Terminal Terboyo dan membeli secara langsung tiketnya.
Apakah tiket pasti tersedia? Oh, belum tentu. Apesnya, kalau nggak dapat tiket, kami akan mencari alternatif yaitu menggunakan bus ekonomi yang menyedihkan. Sudah kadang tanpa AC, masih suka ngetem, bonus aroma rokok di mana-mana.
Baca halaman selanjutnya
Naik bus kala mudik berarti harus berhadapan dengan musuh umat manusia, Stella jeruk…