Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Nusantara

Pengalaman Mudik Perdana dari Jogja ke Madura: Derita Menahan Kencing Berjam-jam

Faris Al Farisi oleh Faris Al Farisi
14 April 2023
A A
Pengalaman Mudik Perdana dari Jogja ke Madura: Derita Menahan Kencing Berjam-jam

Pengalaman Mudik Perdana dari Jogja ke Madura: Derita Menahan Kencing Berjam-jam (Pixabay.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Perjalanan pulang dari Jogja ke Madura ini penting banget untuk saya bagikan, agar kalian tahu seperti apa membelah Jawa selama lebih dari 8 jam

Mudik adalah momen yang sangat dirindukan para perantau. Terlebih mudiknya menjelang hari raya seperti saat ini. Saya pun termasuk dari salah seorang yang sering merindukan rumah, ditambah setengah bulan lebih Ramadan kali ini dilakukan di tanah rantau, Jogja. Bayangan buka bersama dengan keluarga sering kali membuat saya harus mengelus-elus dada. Meski saya orang Madura yang (sepertinya) ditakdirkan untuk merantau, tetap saja rumah di kampung adalah sebaik-baik tempat untuk ditinggali.

Rindu tak lagi bisa saya tahan, saya putuskan untuk mudik lebih awal dari libur kampus yang sudah ditetapkan kalender akademik. Entah dorongan dari mana, sampai-sampai saya berpikiran bahwa menikmati kolak buatan emmak pas buka puasa lebih penting daripada harus menonton konten dosen di YouTube yang mengatasnamakan pembelajaran. Lah, kalo emang bener pembelajaran kan nggak harus subrek, like, komen, dan share. Astaghfirullah, bulan puasa nggak boleh nyinyirin orang.

Eh, saya nulisnya kan pas udah buka, gapapa nyinyir dikit.

Mudik kali ini, merupakan mudik perdana saya di bulan Ramadan. Dan saya merasa perlu untuk membagikan pengalaman mudik dari Jogja ke Madura ini.

Berangkat dari Janti

Meski terbilang dadakan, saya tetap putuskan untuk pulang. Awalnya saya berencana pulang sendiri, karena kalo pulang bersama kawan-kawan basecamp yang sama-sama dari Madura, masih harus nunggu beberapa hari lagi. Karena saya terbilang orang yang nggak sabaran, saya putuskan nggak pulang bareng. Tapi, teman saya yang bernama Rofiki, memutuskan untuk pulang bareng, karena beberapa matkulnya sudah ada yang online. Tentunya sebelum itu sudah saya iming-imingi enaknya pulang sebelum libur kampus.

Setelah menunggu agak lama di daerah Janti, akhirnya bis Mira jalur ekonomi muncul dengan gagahnya sambil membawa harapan-harapan tentang rumah. Jam 21:13 bis Mira melaju dengan lincah, menyibak jalanan dengan mantap, seakan sadar bahwa dia membawa seorang perantau yang sudah begitu merindukan rumahnya. Jogja pun, sementara saya tinggalkan.

Berhenti di Terminal Tirtonadi, Solo

Setelah membayar karcis sebesar Rp99.000 tarif Jogja-Surabaya, saya melihat ke sekeliling, suasana dalam bis terasa biasa-biasa aja. Karena kebetulan bis Mira ini sedikit sekali penumpang, jadi dalam bis saya nggak menemukan ada hal unik yang bisa dikritisi ataupun dikaji—biar dikira akademisi. Cara tidur penumpang di bis nggak ada yang aneh-aneh, jadinya saya putuskan untuk tidur juga.

Baca Juga:

Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

Eh bentar, kenapa nggak Jogja-Madura langsung aja bisnya? Setau saya sih, nggak ada. Nggak tahu besok-besok. Lagian mampir Surabaya dulu juga nggak apa-apa sih.

Pukul 22:30, bis berhenti di terminal Tirtonadi, Solo. Niatnya mungkin nyari penumpang anyar. Tapi yang naik bis cuma pedagang asongan. Mungkin pas saat ini aja suasana bis sedikit berbeda, tawaran dari pedagang satu dan yang lain sedikit memecah keheningan. Walaupun agak menjengkelkan juga sih, soalnya dagangannya terlalu disodor-sodorkan seakan emang sengaja mau bangunin orang tidur.

Sekitar 20 menitan saya memperagakan gerakan maaf lahir batin, untuk menolak secara halus tawaran pedagang yang silih berganti berdatangan. Akhirnya saya pun terlepas dari kegiatan baru saya itu. Bagi saya menolak dengan cara demikian lebih baik daripada sok cuek, karena saya sadar mereka juga sangat pantas untuk dihargai. Saya tak mau menodai perjalanan melepas rindu Madura saya dengan pikiran-pikiran tak perlu.

Bis jalur ekonomi ke Madura yang mustahil berhenti

Entah pukul dua lewat berapa saya kurang memperhatikan betul, intinya pada waktu itu suasana bis berubah 180 derajat. Suasana yang sebelumnya biasa-biasa aja, kini jadi mencekam. Nggak, bukan karena saya melihat hal-hal mistis, kalo bisa dikatakan sih, lebih horor lagi daripada sekadar melihat Mbk Kunti.

Yap, benar sekali, saya kebelet pipis pas tujuan masih terbilang sangat jauh.

Begini. Bis yang saya tumpangi ini bis ekonomi, jadi, agak mustahil bis ini akan sering berhenti. Biasanya malah hanya berhenti sekali. Jadi, kebelet pipis atau boker jadi jauh lebih mengerikan ketimbang kehilangan pacar. Bisa dibayangkan betapa sengsaranya saya dan betapa tidak bisa menikmati perjalanan mudik ini. Bayangin, menahan kencing perjalanan Jogja-Madura itu nggak ada enak-enaknya.

Parahnya, pas itu saya nggak kepikiran akan kebelet pipis tengah jalan, jadi saya nggak ada inisiatif untuk menyediakan “botol alternatif”. nasib. Jadinya saya nggak bisa berbuat apa-apa selain menahan sekuat tenaga juga memperbanyak doa.

Namun, sebagai lulusan pesantren saya selalu ingat kalo Tuhan itu nggak bakal menimpakan suatu kesulitan melainkan orang itu mampu menghadapinya. Jadi saya mampu-mampuin aja, karena saya merasa yakin—toh, meski dipaksain juga, sih— kalo saya termasuk orang yang dianggap Tuhan mampu. Yah, saat itu saya berusaha menerapkan ajaran orang Jogja, “narimo ing pandum.”

Gila. Belum ada setahun lho saya merantau dari Madura ke Jogja, sudah bisa menerapkan narimo ing pandum. Waktu ngetik ini, langsung kepikiran antrean Gacoan yang panjang. Jogja bangeeet.

Ketika saya sudah benar-benar nggak kuat lagi, di situlah saya makin percaya dengan istilah “Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan”. Di saat saya sudah benar-benar butuh toilet ternyata bis berhenti di Pertamina Dodokan, Tanjungsari, Kec. Taman, Kabupaten Sidoarjo. Bagi saya ini benar-benar keajaiban, karena tak biasanya kan bis berhenti kecuali di terminal dan menaikkan penumpang di pinggir jalan.

Tiba di Terminal Purabaya

Habis dari toilet, bis langsung melaju ke tujuan akhir. Terminal Purabaya. Pukul 03:43 saya sampai di sana. Seperti biasa, yang seakan menjadi ciri khas di Terminal Purabaya ini, para penumpang yang baru turun dari bis langsung disambut laksana tamu spesial. Tentunya disambut dengan pertanyaan “mau ke mana Mas” dan jasa angkut barang.

Nah, untuk jasa angkut barang yang benar-benar nggak ngotak ini akan saya coba tuliskan lain waktu.

Akhirnya, Tanah Madura

Salat subuh selesai, nggak ngebuang waktu lagi langsung saja saya menuju bis jalur Sumenep dengan tarif biasa. Dan yang ngebikin jengkel lagi nih, dalam bis saya nunggu setengah jam lebih, meski sudah tiga pengamen yang ngehibur rasa jengkel saya masih belum lenyap, malah makin jengkel aja. La wong udah buru-buru pengen cepat pulang malah disuruh nunggu lama, ditambah suara pengamennya yang minimalis lagi. Kacau banget dah.

Pukul 05:27 akhirnya bis berangkat juga. Saya memberikan uang Rp65.000 kepada kondektur sebagai tarif Surabaya-Parenduan (tempat saya akan turun nanti). Di perjalanan Surabaya-Madura, saya putuskan untuk melelapkan diri barang sebentar. Tiba di Suramadu, jembatan penghubung ini tetap nggak jauh beda seperti baru pertama kali saya lihat pas SD dulu.

Mungkin bedanya yang sekarang jalan untuk pengendara roda dua jalur Surabaya-Madura sudah rusak dan nggak kepakai. Saya hanya bisa geleng kepala.
Suramadu terlintasi, tibalah saya di tanah kelahiran, Madura. Belum jauh dari Suramadu yang pemandangannya sudah nggak seindah dulu, saya kembali dibuat geleng kepala melihat Taman Suramadu yang terbengkalai. Bayangan berjuta-juta uang telah dikeluarkan demi mendirikan taman itu, eh, pas jadi ternyata nggak sesuai ekspektasi.

Kereta api di Madura, buat siapa?

Namun pemandangan yang terbilang astaghfirullah tadi seketika menghilang, pas mata saya bertabrakan pada sebuah banner dengan foto terpampang jelas Bupati Sumenep, terpacak sepanjang jalan Kabupaten Bangkalan sampai Pamekasan dengan kalimat, “Dukung usaha Achmad Fauzi mengadakan kereta api lagi.”

Waktu membaca hal itu, saya sempat juga sih kepikiran, “Emang kalo ada kereta api, untungnya itu buat siapa?” Tapi, buru-buru saya usir pikiran arogan itu dengan menjawab pertanyaan sendiri, “Ya buat masyarakat Madura lah!”

Terlepas dari itu, selagi tujuannya untuk memajukan Madura, pasti saya dukung. Yang penting bukan buat kemajuan…ehem! Eh, nggak jadi. Lanjutkan usahamu Pak Fauzi!

Itulah lika-liku perjalanan mudik Jogja-Madura. Kenapa saya merasa pengalaman ini penting banget? Sebab, kalian harus tahu perjalanan kami, orang Madura, untuk menjemput mimpi. Harus melalui jalan yang panjang, melelahkan, dan susah untuk pipis. Kalian harus melihat sisi lain kami, orang-orang yang kalian anggap keras di rantau. Kerasnya kami, karena ditempa rindu-rindu dan mimpi hidup yang sedikit lebih baik.

Penulis: Faris Al Farisi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 3 Rahasia Orang Madura Sukses di Perantauan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 14 April 2023 oleh

Tags: JogjamaduraMudikperjalanan
Faris Al Farisi

Faris Al Farisi

Asli orang Madura. Penikmat senyum orang tua.

ArtikelTerkait

ilustrasi kos murah

Pengalaman Saya 7 Tahun Menempati Kos Murah tapi Angker di Jogja

17 Oktober 2021
5 Hal Lumrah di Daerah Lain, tapi Orang Jogja Nggak Bisa Melakukannya Mojok.co

5 Hal Lumrah di Daerah Lain, tapi Orang Jogja Nggak Bisa Melakukannya

16 Agustus 2024
Beda Angkringan dan Hik Itu Apa, sih?

Beda Angkringan dan Hik Itu Apa, sih?

17 Februari 2020
Fakta Buruknya Kondisi Jalanan di Jogja dan Surabaya (Unsplash)

Jalanan Jogja Semakin Parah. Sama Parahnya seperti Kota Surabaya yang Menjadi Kota Paling Macet di Indonesia

11 Januari 2024
Ramainya Jogja Sudah Nggak Masuk Akal, bahkan bagi Orang Luar Kota Sekalipun

Jogja Itu Emang Romantis, tapi buat Pendatang dan Turis Aja

5 Agustus 2025
Mengadu Nasib di Jakarta Itu Berat, Lebih Baik Jangan kalau Belum Siap Mojok.co

Mengadu Nasib di Jakarta Itu Berat, Lebih Baik Jangan kalau Belum Siap

12 November 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

2 Desember 2025
Rekomendasi 8 Drama Korea yang Wajib Ditonton sebelum 2025 Berakhir

Rekomendasi 8 Drama Korea yang Wajib Ditonton sebelum 2025 Berakhir

2 Desember 2025
Angka Pengangguran di Karawang Tinggi dan Menjadi ironi Industri (Unsplash) Malang

Ketika Malang Sudah Menghadirkan TransJatim, Karawang Masih Santai-santai Saja, padahal Transum Adalah Hak Warga!

29 November 2025
Ilustrasi Banjir Malang Naik 500% di 2025 Bukti Busuknya Pemerintah (Unsplash)

Kejadian Banjir Malang Naik 500% di 2025, Bukti Pemerintah Memang Nggak Becus Bekerja

6 Desember 2025
8 Alasan Kebumen Pantas Jadi Kiblat Slow Living di Jawa Tengah (Unsplash)

8 Alasan Kebumen Pantas Jadi Kiblat Slow Living di Jawa Tengah

3 Desember 2025
Nasi Goreng Palembang Nggak Cocok di Lidah Orang Jogja: Hambar!

Nasi Goreng Palembang Nggak Cocok di Lidah Orang Jogja: Hambar!

1 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lagu Sendu dari Tanah Minang: Hancurnya Jalan Lembah Anai dan Jembatan Kembar Menjadi Kehilangan Besar bagi Masyarakat Sumatera Barat
  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.