Saat ini saya tengah menempuh pendidikan di salah satu kota di Pulau Jawa yang masih kental dengan budayanya, Solo. Bicara soal mahasiswa dan Solo tentu nggak akan jauh dari yang namanya hik atau yang dikenal juga dengan nama angkringan.
Warung sederhana yang bisa kita jumpai dengan mudah di penjuru Kota Solo ini punya sistem makan yang sangat bersahabat. Orang yang datang bisa mengambil nasi kucing, sate-satean, gorengan, dll. lalu duduk manis dan makan sampai kenyang.
Setelah hidup hampir setahun di Solo, harus saya akui bahwa angkringan adalah solusi terbaik buat mahasiswa yang pengin makan enak meski sedang akhir bulan. Sudah bukan rahasia lagi kalau harga setiap komponen angkringan itu murah dan terjangkau. Bahkan nggak perlu menunggu akhir bulan, kalau pengin makan hemat tiap hari ya tinggal pergi ke angkringan aja.
Sayangnya, meskipun harganya murah, menurut saya angkringan bukan pilihan tepat buat orang-orang yang makannya porsi tukang gali atau lazim disebut portugal. Benarkah begitu?
Porsinya sedikit
Saya pernah makan di angkringan bersama beberapa teman. Fyi, saya termasuk penganut portugal, jadi kalau makan ya porsinya harus banyak. Entah itu lauknya atau nasinya, yang penting banyak.
Waktu itu saya mengambil nasi kucing, tahu bakso, sate usus, dan es teh. Setelah semuanya masuk ke perut, saya sama sekali nggak merasa kenyang. Ya saya paham, apa sih yang diharapkan dari nasi kucing? Saya kira dengan tambahan tahu bakso dan sate usus, rasa lapar bisa hilang, eh ternyata masih saja lapar.
Saya kemudian kepikiran, gimana kalau saat itu saya belok ke rumah makan Padang atau geprek prasmanan? Wah, kenyangnya bisa sampai dua hari tuh. Kalau di antara kalian ada yang mbatin, kenapa nggak ambil lebih banyak saat di angkringan, saya akan menjelaskan di poin selanjutnya.
Harga makanan di angkringan: sedikit-sedikit jadi bukit
Iya, benar, harga makanan di angkringan itu murah. Biar nggak dikira hoaks, nih saya jabarin rincian harga makanan yang saya beli waktu itu: nasi kucing orek tempe Rp4.000, tahu bakso Rp2.500, sate usus Rp2.000, es teh Rp2.500. Inget, harga tiap angkringan beda-beda, tapi saya rasa harganya nggak jauh beda lah. Total yang harus saya bayar saat itu Rp11.000.
Dengan uang segitu, kalau saya bawa ke rumah makan Padang, saya bisa dapat sebungkus nasi pakai lauk telur dadar. Kalau saya ke burjo bisa dapat nasi lele, nasi sarden, atau nasi ayam plus es teh pula. Atau kalau saya ke geprek prasmanan—kebetulan di Solo banyak warung geprek prasmanan—saya bisa dapat ayam geprek dengan nasi sepuasnya. Bawa ke warung pokwe juga malah lebih mantap.
Kalau masih lapar, kenapa nggak ambil nasi kucing yang banyak? Jawabannya: sama aja. Nasi kucing itu porsinya sedikit, kalaupun saya beli lima bungkus, porsinya masih kalah sama porsi nasi di burjo. Harga sate-satean memang murah, tapi kalau diambil dalam jumlah banyak ya nggak bikin kenyang juga karena pada dasarnya itu bukan karbo yang bikin kenyang. Yang ada saya malah tekor kalau mengambil sate-satean terlalu banyak.
Coba bayangkan kalau kita sedang kelaparan banget dan mengambil porsi banyak di angkringan. Saya jamin total semua makanan bisa menyentuh angka Rp20.000.
Kesimpulannya, angkringan memang cocok buat orang-orang yang porsi makannya sedikit langsung kenyang. Atau buat kalian yang mau ngemil cantik, deh. Tapi kalau buat yang makannya portugal kayak saya, angkringan bukan pilihan terbaik. Saya nggak benci angkringan, kok, cuma nggak cocok aja antara porsinya dengan kemampuan perut saya.
Penulis: M. Guntur Rahardjo
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 4 Dosa Tersembunyi Penjual Angkringan yang Tidak Disadari Pelanggan.