Mekanisme pembayaran dengan cara COD atau cash on delivery pastinya sudah tidak asing lagi di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia. Wajar saja, perilaku membeli barang secara online telah menjadi pola konsumsi yang umum dilakukan banyak orang, terlebih setelah adanya pembatasan aktivitas warga akibat pandemi. Guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, orang memanfaatkan fasilitas belanja online di beberapa marketplace, khususnya yang menyediakan subsidi ongkos kirim.
Sayangnya, tidak semua pembelanja online mempunyai akun rekening di bank untuk melakukan pembayaran secara transfer maupun top-up dompet digital. Oleh sebab itu, pihak marketplace melakukan inisiatif dengan mencantumkan fitur COD demi melayani segmen pasar tersebut.
Walaupun baru banyak menuai kritik tajam lantaran sejumlah kasus yang viral belakangan ini, sejatinya COD sudah lama dilakukan dalam transaksi jual beli. Jauh sebelum marketplace menyerang, para penjual dan pembeli di media sosial Facebook dan forum jual beli—yang kerap disebut FJB—Kaskus juga menerapkan mekanisme pembayaran tersebut. Tentunya, COD zaman dulu memiliki prosedur dan karakteristik yang berbeda dengan COD saat ini karena ketimpangan teknologi. Namun, tidak sedikit warganet yang berpendapat kalau COD era Kaskus dan Facebook adalah yang terbaik ketimbang sistem yang berjalan sekarang.
Tidak percaya? Rasa-rasanya, menilik dari beberapa berita di dunia maya mengenai perlakuan semena-mena terhadap kurir jasa logistik yang mengantar paket sudah cukup menjadi bukti betapa nyusahinnya mekanisme COD sekarang ini.
Kurir dan seller marketplace banyak yang dirugikan
Beberapa kurir mengeluh kudu bolak-balik melakukan pengantaran karena pihak penerima paket menyatakan tidak ada di rumah sehingga tidak dapat melakukan pembayaran. Mending kalau pada akhirnya tagihan tersebut dilunasi. Sialnya, sering kali ujung-ujungnya pembeli juga menolak membayar sehingga kurir harus putar balik lagi mengembalikan kiriman tersebut ke perusahaan ekspedisi. Apa namanya kalau nggak ngerjain orang?
Tak cukup sampai di situ saja, beberapa kurir yang apes bisa mengalami hal yang lebih buruk lagi. Misalnya, ada pembeli yang nekat membuka paket sebelum melunasi tagihan. Setelah dibuka, pembeli tadi malah seenak jidat menolak membayar nominal yang tertera dengan alasan isi kiriman tidak sesuai dengan apa yang dipesan.
Pada kasus seperti ini, jelas pihak kurir yang dirugikan. Sebab, sesuai SOP jasa ekspedisi, kurir tidak diperkenankan menyerahkan paket sebelum pembeli melunasi invoice yang tercantum. Biasanya jumlahnya adalah harga barang ditambahkan ongkos kirim. Akan tetapi, kalau paket sudah terlanjur terkoyak, mau tak mau kurir wajib menanggung seluruh biaya paket tersebut. Sebab secara prosedur, paket yang telah dibuka tidak dapat diretur ke penjual.
Kurir COD rentan mengalami kekerasan
Selain kerugian secara materi, hal yang lebih brutal juga pernah dialami oleh seorang kurir ekspedisi. Akhir bulan Januari lalu, beredar kabar di internet kalau ada seorang kurir di Banyuasin, Sumatra Selatan, yang ditusuk oleh konsumen. Apa lagi latar belakangnya kalau bukan pihak penerima yang menolak membayar kiriman yang telah dipesan sebelumnya.
Boleh dibilang, sistem COD sekarang ini benar-benar memanjakan konsumen marketplace, tetapi mengesampingkan pihak-pihak lainnya. Bukan hanya kurir dan perusahaan logistik, tetapi juga penjual yang kehilangan opportunity cost. Niatnya mau mempermudah calon pelanggan, malah berujung celaka.
Melihat dari sederet fenomena tersebut, sepertinya tidak berlebihan bila mekanisme COD saat ini sebaiknya ditiadakan saja. Beberapa penjual di marketplace bahkan sudah menonaktifkan fitur COD dari lapak mereka karena paham betul sistem pembayaran tersebut berpeluang merugikan mereka. Prosedur COD saat ini sudah melenceng jauh dari sistem serupa di masa kejayaan forum legendaris Kaskus dan Facebook. Kala itu, COD jauh dari drama dan huru-hara. Semuanya berjalan dengan adem ayem.
COD di era FJB dan Facebook hanya melibatkan dua pihak
Kira-kira kenapa ya COD di era Kaskus dan Facebook dulu bisa sukses? Faktor pertama terkait erat dengan rantai distribusi pengiriman. COD di era keemasan FJB Kaskus dan Facebook hanya melibatkan dua pihak yaitu pembeli dan penjual. Dengan kata lain, transaksi langsung dilakukan oleh pihak pertama dan kedua, tanpa penengah.
Sementara itu, rantai distribusi mekanisme COD di marketplace jauh lebih panjang karena melibatkan beberapa pihak. Di samping pembeli dan penjual, ada platform marketplace, perusahaan jasa ekspedisi, serta kurir yang terlibat dalam prosesnya. Masing-masing pihak pastinya memiliki kepentingan sendiri-sendiri.
Rantai distribusi yang panjang tersebut berpeluang besar menciptakan gesekan konflik antarpihak karena kepentingan serta aturan yang berbeda-beda. Semakin pendek jalur transaksi, semakin kecil kemungkinan problem yang timbul.
Pembeli di era FJB dan Facebook tidak asal check out
Faktor kedua dari keberhasilan COD di zaman FJB dan Facebook adalah karena pembeli saat itu jelas memiliki buying power. Mereka tidak asal check out karena merasa pembelian bisa dibatalkan sewaktu-waktu akibat adanya sistem COD ala marketplace.
Pembeli di FJB dan toko online Facebook dengan penuh kesadaran diri langsung menghubungi pelapak yang bersangkutan. Umumnya, komunikasi antarkeduanya dilakukan melalui pesan singkat lewat ponsel masing-masing guna mencapai kesepakatan waktu dan lokasi bertemu. Semacam kopi darat, gitu.
Di masa yang lalu, opsi COD dipilih pembeli untuk menghindarkan risiko ditipu. Seandainya ada ketidaksesuaian antara deskripsi barang di lapak online dengan realitanya, konsumen bisa langsung protes ketika tatap muka dengan penjual. Dengan kata lain, para konsumen di masa tersebut adalah serious buyer, bukan tipe konsumen nakal seperti kasus COD yang banyak diberitakan sekarang.
Konsumen lapak FJB Kaskus dan Facebook justru merasa diuntungkan dengan transaksi COD, begitu pula dengan penjualnya. Pasalnya, pihak penjual langsung mendapatkan uang ketika bertransaksi saat itu juga tanpa harus menunggu proses yang lama seperti di marketplace sehingga uang bisa cepat diputar untuk modal kembali.
Jadi, apakah kamu setuju sistem COD marketplace sekarang mendingan dihapus saja?
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 3 Perkara yang Bikin Saya Kesal Saat Mengantar Paket COD.