Arkeologi merupakan salah satu jurusan yang termasuk dalam rumpun ilmu Humaniora. Jurusan ini biasanya dikelompokan dalam Fakultas Ilmu Budaya di kampus-kampus. Sayangnya, nama jurusan Arkeologi cenderung tidak populer dan sedikit peminatnya di Indonesia. Padahal di luar negeri, jurusan ini cukup populer dengan peluang kerja yang besar, lho.
Faktanya, jurusan Arkeologi di Indonesia merupakan jurusan yang langka. Kenapa bisa begitu? Karena jurusan ini hanya ada di 6 kampus di Indonesia. Bayangkan, Gaes, cuma ada di 6 kampus se-Indonesia raya, lho. Keenam kampus itu adalah Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Halu Oleo, Universitas Jambi, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Udayana.
Lantaran jurusan Arkeologi kurang populer dan tergolong langka di Indonesia, banyak orang Indonesia yang masih kurang paham soal arkeologi. Kadang kalau ngopi bareng teman-teman dari jurusan berbeda, mereka bertanya pada saya, “Arkeologi itu yang mempelajari dinosaurus, ya?” atau “Arkeologi yang belajar batu-batu itu, ya?”
Sebagai mahasiswa teladan yang mengemban amanah UUD ’45, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, saya pun menjelaskan panjang bin lebar mengenai jurusan Arkeologi pada teman-teman saya itu. Saya jelaskan bahwa jurusan Arkeologi itu hanya mempelajari kebudayaan manusia, khususnya kebudayaan material. Jadi, kalau dinosaurus dulu merupakan peliharaan manusia, pasti saya pelajari juga. Tapi nahas, zaman dinosaurus dan zaman manusia itu terpaut jauh sekali sehingga dinosaurus yang besar-besar seperti T-rex, dkk. sudah punah terlebih dahulu dan tidak sempat menjadi hewan peliharaan manusia. Kalau soal manusia berdampingan dengan dinosaurus di film-film sih cuma rekayasa, tidak seperti kenyataannya, Gaes.
Lalu jurusan Arkeologi memang ilmu mempelajari batu. Bukan hanya batu-batu biasa yang dipelajari, namun batu yang merupakan hasil dari kebudayaan manusia. Selain itu, objek kajiannya tidak cuma batu, melainkan logam, kayu, dan bahkan lontar. Ketika kamu menjadi mahasiswa Arkeologi seperti saya, kamu bakal sering jalan-jalan untuk melihat situs tinggalan arkeologi langsung di tempat aslinya sambil melihat gaya seni arca atau makna-makna filosofis yang terpahat pada arca.
Di jurusan ini juga banyak ilmu bantunya, contohnya ilmu geologi, antropologi, dan bahkan yang lebih serunya lagi ilmu psikologi pun bisa jadi ilmu bantu arkeologi. Selain bisa jalan-jalan, di jurusan Arkeologi tidak ada mata kuliah hitung-hitungan yang dibenci banyak orang itu, Gaes.
Selama jadi mahasiswa Arkeologi, saya paling jengkel ketika ada teman yang ujug-ujug bertanya, “Tugu itu umurnya berapa?” atau “Batu itu peninggalan siapa, ya?” Ha, ngapurone, Mas, itu yang Anda tanyakan gapura depan rumah yang agak sedikit lumutan. Mosok jadi tinggalan arkeologi, kan tidak ada nilai pentingnya. Soal batu pun begitu. Mosok batu yang ditemukan di jalanan harus saya identifikasi dulu ini peninggalan siapa? Ya nggak gitu juga konsepnya.
Dan ketika saya menjelaskan pada teman-teman soal asyiknya jurusan Arkeologi, kebanyakan dari mereka terpikat, “Seru juga ya jadi mahasiswa Arkeologi. Bisa jalan-jalan sambil belajar!” Kalau sudah begini dalam hati saya cuma bisa mbatin, “Pasti pengin pindah ke jurusan Arkeologi biar bisa sering jalan-jalan, nih. Alasan klasik mahasiswa kan begitu!”
Penulis: Irfan Maulana Azizy
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Pada Akhirnya Mau Kuliah di Mana pun, Jurusan Apa pun, Habis Lulus, Semua Bisa Nelangsa.