Pada 21 Juli 2022 lalu, situs website Sekretariat Kabinet Republik Indonesia memposting sebuah artikel tentang keseriusan pemerintahan dalam mengembangkan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super prioritas (DWSP). Melalui pernyataan Presiden Jokowi, setidaknya ada 3 poin penting yang ingin dijadikan target untuk segera terealisasi di Labuan Bajo.
Yang pertama adalah pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang tujuan realistisnya adalah kunjungan 1 juta wisatawan ke Labuan Bajo. Lalu, yang kedua adalah hal-hal yang mendukung terealisasinya poin pertama, terutama terkait pemeliharaan kawasan Labuan Bajo, yang dalam hal ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintahan pusat, kementerian pariwisata dan pemerintahan daerah, dari mulai gubernur sampai bupati.
Lalu poin ketiga, terkait dengan alternatif tempat wisata untuk wisatawan yang tidak mampu atau tidak bisa mengunjungi Pulau Komodo, tapi ingin melihat komodo. Intinya, karena komodo sebagai salah satu warisan dunia yang sekaligus tujuan wisata itu terdapat di dua tempat (Pulau Komodo dan Pulau Rinca) yang dalam hal ini punya dua alternatif biaya masuk, maka wisatawan boleh memilih salah satu di antaranya, yang tentu saja disesuaikan dengan budget mereka masing-masing.
Sebagai manusia yang (bisa dibilang) pernah sangat jauh dari Jakarta dan peradaban Pulau Jawa yang (katanya) maju itu, membaca rilis resmi dari sekretariat kabinet dengan kualitas seperti itu sungguh membuat saya miris. Apalagi tiga poin penting itu menjadi instruksi presiden secara langsung.
Saya sendiri tidak masalah dengan pembangunan infrastruktur yang memadai di Labuan Bajo. Itu adalah cita-cita banyak daerah dan wilayah di Indonesia yang sekiranya jauh jangkauan pembangunan. Akan lebih baik jika hal yang sama menjadi prioritas di semua daerah di Indonesia timur, walau secara “pasar” tidak memiliki value besar layaknya Labuan Bajo dan terutama Pulau Komodo.
Saya juga tidak mempermasalahkan pernyataan mengenai tanggung jawab bersama pemerintah (dari pusat sampai daerah) terkait pemeliharaan kawasan wisata di Labuan Bajo. Lebih-lebih lagi, saya tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan tiket untuk tempat tertentu di kawasan wisata prioritas. Semua yang dianggap punya nilai penting, boleh banget diberi nilai plus, termasuk harga tiket.
Yang menjadi concern saya dari ketiga hal yang disampaikan Pak Jokowi tersebut adalah keberadaan masyarakat Labuan Bajo ditempatkan. Secara kasat mata kita bisa melihat tiga kebijakan tersebut berorientasi pada wisatawan, kepada pengunjung. Masyarakat Labuan Bajo sendiri seperti menjadi unsur yang tidak dipikirkan. Padahal, ketika kebijakan tersebut nantinya diberlakukan, masyarakat Labuan Bajo lah yang akan langsung menerima dampaknya. Terutama dampak ekologis. Turis dan wisatawan mah, datang ke Labuan Bajo untuk liburan, mentok-mentok juga seminggu doang di sana.
Kebijakan berdasarkan kacamata pembangunan yang Jawa Sentris dan Jakarta Sentris semacam ini seperti sudah menjadi kebiasaan yang (harus) dilakukan pemerintahan pusat, yang sayangnya, sudah terjadi sekian waktu. Padahal, jika kita berkaca secara serius, jenis pembangunan dan rencana pemeliharaan infrastruktur yang selalu berorientasi pedagang (penjual-pembeli) inilah sebenarnya ancaman nyata ketidakmerataan pembangunan.
Kembali ke pokok masalah, pembangunan dan rencana pemeliharaan wisata di Labuan Bajo, terutama di kawasan wisata Pulau Komodo sebenarnya sudah mendapat penolakan dari banyak sekali pihak. Aktivis lingkungan terlebih dahulu sudah menyatakan sikap. Lalu masyarakat sekitar juga ikut bersuara. Bahkan sekelas UNESCO, badan dunia untuk urusan ilmu pengetahuan dan kebudayaan turun tangan. Toh, pemerintah masih tidak bergeming.
Begini, okelah jika sikap aktivis tidak diindahkan oleh pemerintah terkait Labuan Bajo dan Pulau Komodo. Saya sendiri sudah sangat maklum. Bukan apa-apa, suara aktivis ini menjadi semacam suara sumbang bagi pemerintahan, yang kadang tidak sekedar tidak didengar, tapi seringnya malah dibungkam. Juga gregetannya UNESCO yang berharap Pemerintah Indonesia tidak mengubah lanskap ekosistem yang sudah bertahan sejak dulu itu juga boleh saja tidak digubris.
Namun, bicara masyarakat setempat yang menolak tentu harus disikapi dengan bijaksana. Bagaimanapun juga, masyarakat setempat adalah tuan rumah. Dan apa-apa yang dikeluhkan tuan rumah, sebaiknya menjadi konsern pemerintah.
Masyarakat setempat adalah yang paham proses panjang komodo berevolusi menjadi warisan dunia seperti sekarang ini. Hal itu bahkan diturunkan menjadi legenda masyarakat sekitar yang menyebut komodo sebagai buah hati sepasang suami istri (manusia). Pasangan tersebut memiliki anak kembar, satu berwujud manusia, yang lainnya berwujud komodo. Sedikit legenda ini saja. jelas sekali bahwa komodo adalah bagian penting peradaban turun-temurun Pulau Komodo, atau Labuan Bajo secara umum.
Pada akhirnya, saya sendiri menganggap, langkah pemerintah pusat mendikte Labuan Bajo dan Pulau Komodo secara sepihak tanpa memberikan hak suara masyarakat setempat untuk sekadar bertanya tentang nasib mereka ke depan adalah kesalahan fatal.
***
Saya pernah melihat kata-kata ini, yang saya coba lacak sumbernya, dan mengarah pada Alanis Obomsawin, bunyinya seperti ini:
“When the last tree is cut, the last river poisoned, and the last fish dead, we will discover that we can’t eat money.”
Kata-kata ini, sepertinya terlihat amat tak masuk akal. Kita memang tak bisa makan uang, tapi kita bisa beli makan dengan uang. Tapi, beberapa tahun ke depan, coba tanya ke warga Labuan Bajo yang tersingkir karena pembangunan. Raut wajah mereka pasti akan berubah mendengar kata ini.
Penulis: Taufik
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Nggak Bisa Memilih yang Terbaik tapi Komodo Bisa Cegah yang Terburuk Berkuasa